CHAPTER 14

2 0 0
                                    


Suasana ruang tengah itu dalam sekejap berubah tegang. Raut Albian yang tadinya memancarkan aura kelembutan pada Reva. Kini tampak datar dan dingin. Membuat Reva teringat sosok Ayahnya dua tahun yang lalu. Reva mengarahkan tatapan ke arah lain, kemanapun asal tidak bersitatap dengan Papanya.

"Reva, jawab pertanyaan Papa," titahnya dengan nada tenang. Oh, Tuhan Reva semakin gugup di tempat.

"Revan itu ...." Reva menggigit bibir bawahnya gusar. Pendangan itu ditangkap oleh Albian yang kini tidak memutuskan pandang pada putringa.

"Ya? Siapa dia?" tanyanya yang sudah tak sabar.

"Dia mantan pacar aku, Pa." Setelah menyakinkan diri, Reva memilih untuk jujur. Lagi pula dirinya dan Revan sudah tidak memiliki hubungan apapun. Jadi, berkata jujur juga tidak masalah.

Ia sudah berjanji tidak ingin menyembunyikan apapun pada Ayahnya. Karena, hanya ini satu-satunya cara untuk lebih dekat dengan sosok yang selama ini jauh darinya. Selama tujuh belas tahun hidup. Reva tidak pernah merasakan figur seorang Ayah dalam hidupnya.

Di detik kelima selepas Reva menjawab pertanyaan Albian dengan jujur. Pria paruh baya itu masih setia dalam diamnya. Tanpa sadar kedua bahu Reva bergetar, takut jika Papanya akan memarahinya. Ia masih mengingat jelas saat di Restourant minggu lalu. Papanya terlihat sangat emosi melihat dirinya hampir bertunangan dengan Kenzie. Bahkan pria itu secara terang-terangan menunjukan ketidaksukaan di drpsn keluarga Kenzie. Ia masih ingat jelas, Ayahnya menolak dengan lantang bahwa pertunangan itu tidak akan pernah terjadi.

"Kenapa putus?" Di detik ke sepuluh, Papanya mulai bereaksi. Suaranya terdengar tenang, tapi tidak dengan rautnya yang masih datar.

Lidah Reva mendadak kelu, wajahnya tampak tegang. Ia bingung ingin menjawab seperti apa. Apakah ia harus menceritakan alasan sebenarnya dirinya putus dengan Revan itu karena Mamanya? Apakah jawabannya itu akan menimbulkan masalah baru? Atau justru akan memberikan jalan keluar dari masalahnya yang selama seminggu ini memenuhi pikirannya? Oh, Tuhan Reva sangat dilema.

"Reva," panggil Albian yang melihat wajah tertekan putrinya.

Perempuan itu menoleh dengan tatapan kosong membuat Albian panik seketika.

"Kenapa?" tanyanya mendekat pada putrinya.

Reva menundukan kepalanya. Menatap kelima jarinya yang berada di pangkuan penuh dengan coklat  dan lengket.

"Aku sama Revan pacaran selama dua tahun. Aku cinta sama dia, Pa. Kita saling mencintai selama dua tahun ini. Tapi, bukannya setiap hubungan gak bakal indah kalo gak ada rintangan?" Reva menghentikan ucapannya untuk menarik nafas sejenak.

Albian mendengarkan dengan seksama cerita yang mengalir dari mulut Reva.

"Mama larang aku pacaran sama Revan. Mama gak suka sama Revan hanya karena Revan berandalan. Aku di sini yang salah, memaksakan kehendak buat pertahanin Revan di saat Mama bersikeras nyuruh aku buat putusin Revan. Aku selalu nolak keinginan Mama dan berakhir aku ribut sama Mama, Pa." Kedua mata Reva berkaca-kaca bersamaan dengan kepalan tangan Albian yang berada di atas paha semakin kuat.

"Aku cinta sama Revan, Pa. Makanya selama dua tahun ini aku pertahanin Revan. Meskipun, Mama berkali-kali nyuruh aku berhenti buat pertahanin Revan. Maaf, aku bukan anak yang bisa bahagiain Mama. Aku tetep maksa pacaran sama Revan. Aku lebih mentingin perasaan cinta aku, dibandingkan Mama yang udah lahirin aku. Sampai akhirnya, ancaman terakhir Mama berhasil buat aku nurutin keinginan Mama dan berkahir mutusin Revan...." Reva menggantung ucapannya dengan nafas tercekat.

Membuat Albian menatap Reva dengan raut serius menanti kelanjutan ucapan anak gadisnya.

"Ancaman apa yang diberikan oleh wanita itu?" tanya Albian dengan geraman rendah. Ia sangat tidak sabar, mendengar kelanjutan ucapan putrinya.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang