CHAPTER 11

7 1 0
                                    

Entah sudah ke berapa kalinya ia menghantamkan tinju tangannya ke tembok. Ia terus melakukan itu berulang kali, tanpa memperdulikan punggung tangannya yang mengeluarkan darah. Rahang tegasnya mengeras, menunjukan seberapa marahnya cowok itu sekarang. Ia menjadikan tembok belakang sekolah sebagai samsak kemarahannya. Keringat membanjiri tubuh atletisnya, membuat seragamnya mencetak otot-otot yang berada di dada bidangnya dan perutnya.

Alasan dirinya berada di sini. Meninju tembok belakang sekolah yang tidak bersalah. Yaitu karena pernyataan Kenzie yang berucap lantang bahwa Reva merupakan tunangannya. Ada rasa tidak terima dalam diri Revan. Ada rasa marah, emosi, panas, dan perasaan yang sangat sulit sekali dijelaskan. Yang jelas, Revan sangat tidak terima mendengar keduanya sekarang sudah bertunangan. Ia cemburu, ingin sekali ia marah pada Reva. Kenapa bukan dirinya yang melamar cewek itu? Tapi, ia sadar diri bahwa dirinya dan Reva bukan lagi sepasang kekasih. Status mereka sudah berganti menjadi mantan kekasih. Dan fakta yang menamparnya itu, sungguh menyakitkan. Membuat langkahnya yang tadi ingin menghampiri Kenzie, mengambil alih tubuh Reva yang berada di pelukan Kenzie terpaksa urung karena kesadaran diri bahwa dirinya sudah tidak memiliki hak atas Reva.

Revan menghentikan tinjuannya pada tembok yang entah untuk keberapa kalinya. Tangannya ia letakan di tembok sebagai penahan beban tubuhnya. Matanya terpejam sejenak untuk mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Lalu, kedua mata hitam pekat milik Revan kembali terbuka. Bersamaan dengan tawa menggelegar penuh kemirisan lolos dari bibir Revan. Ia tertawa. Menertawai nasibnya yang sedari dulu tidak pernah baik. Hidupnya sial. Bahkan ia hanya merasakan kebahagiaan saat bersama Reva saja. Dan hanya Reva yang berhasil menarik dirinya dari kegelapan yang merenggut hidupnya. Namun, kini melepaskan Reva saja ia tak mampu. Lalu, bagaiamana dirinya membiarkan Reva bahagia dengan cowok lain? Sungguh, dirinya tak rela. Ia tak sanggup hanya membayangkan Reva tertawa dengan cowok lain. Sedangkan dirinya meratapi nasibnya yang begitu buruk? Meresapi rasa sakit dan kehancuran yang disebabkan oleh cewek yang saat ini kebahagiaannya bersama cowok lain. Ini tidak adil. Makanya ia berniat untuk membalas rasa sakit yang ia rasakan pada Reva. Ia membenci cewek itu, tapi rasa bencinya pada Reva akan kalah dengan rasa cintanya yang selama dua tahun terakhir ia tanamkan pada cewek itu.

Apa yang harus ia lakukan?

"Revan!" Arghi berlari menghampiri Revan diikuti oleh Megan di belakangnya.

"Lo ngapain di sini?" Tatapannya melirik pada punggung tangan cowok itu yang mengeluarkan darah. Matanya terbelalak saat melihat cairan merah menempel pada tembok yang saat ini disandarin oleh Revan.

Tanpa bertanya lagi, ia tahu apa yang baru saja dilakukan oleh Revan.

"Lo gila, Van?!" sentak Megan yang memahami situasi.

"Maksud lo apa, hah? Nyakitin diri lo sendiri kaya gini?" tanya Arghi menatap cowok itu dengan tajam.

Revan menepis tangan Arghi yang berada di pundaknya.

"Bukan urusan lo!" tukas Revan dingin.

"Lo anggap kita apa, sih, Van?" tanya Megan dengan serius.

"Kenapa lo gak pernah cerita kalo lo ada masalah?" Arghi menatap Revan dengan tatapan yang tak kalah serius dengan Megan.

Revan terdiam. Ia tidak begitu mendengarkan ucapan kedua sahabatnya. Kepalanya berdenyut nyeri, bayangan tentang Reva yang digendong Kenzie keluar dari kantin menuju UKS memasuki pikirannya. Perkataan Kenzie saat di kantin tadi seolah mengejek dirinya. Ia bersama dengan Reva hanya sekedar berpacaran sedangkan Kenzie ... Cowok itu mengikat Reva dengan status tunangan. Itu tidak bisa ditandingi oleh dirinya yang kini hanya mantan Reva. Jelas tidak sebanding. Ia yang pertama kali mencintai Reva, menjalin hubungan dengan Reva, dan kini yang mendapati Reva sepenuhnya adalah Kenzie. Ini tidak adil. Dunia tidak pernah adil untuknya. Kapan kebahagiaan berpihak padanya?

Hal yang menjadi alasan satu-satunya dirinya bertahan. Kini, ikutan pergi seperti mereka yang selalu melempari serpihan kaca pada hatinya. Sehingga meninggalkan luka yang kian menganga.

"Sampai kapan lo kaya gini terus, anjing?!" Arghi menarik kerah seragam Revan yang hanya diam bak patung sedari tadi.

"Lo gak pernah mau terbuka sama kita. Padahal udah jelas kalo kita yang selalu ada buat lo. Gue sama Megan emang gak bisa bantu nyembuhin luka lo. Tapi, gue sama Megan bisa jadi rumah buat lo keluarin semua keluh kesah lo sama kita!" Arghi menguatkan cengkeraman pada kerah Revan. Saat tidak mendapati gerakan cowok itu sedikitpun.

"Maaf, tapi cerita hidup gue gak layak buat lo berdua dengar. Itu yang jadi alasan gue gak pernah mau cerita sama lo berdua, man!" ujar Revan pada akhirnya buka suara. Nada suara cowok itu lirih.

Arghi melepaskan cengkeraman pada kerah seragam Revan. Ia menganga mendengar penjelasan cowok itu, termasuk juga Megan yang kini nyaris memukul wajah tampan Revan.

"Lo gila?" teriak Megan yang ingin menerjang Revan sebelum ditahan oleh Arghi.

"Itu alasan lo gak pernah mau cerita ke kita?! Alasan lo terlalu konyol, tolol!" Megan menyentak pegangan tangan Arghi pada lengannya.

"Gue emang tolol! Bisa-bisanya masih bertahan disaat dunia aja gak pernah kasih izin buat gue ngerasain kebahagian lebih lama lagi." Revan menunduk menatap lantai kontor dengan tatapan nanar.

"Gue gak pernah ngerasain kasih sayang orang tua itu kaya gimana? Gue gak pernah tahu rupa nyokap gue seperti apa? Gue gak tau apa yang disebut kebahagiaan. Berkali-kali gue pengen nyerah sama penderitaan hidup gue. Dan berkali-kali juga gue pengen ngakhirin hidup gue. Tapi, semenjak Reva hadir dalam hidup gue. Pemikiran itu hilang. Gue sedikit punya semangat buat jalanin hidup. Gue punya tujuan hidup semenjak Reva masuk ke dalam kehidupan gue. Tujun hidup gue lo berdua tau apa?" Megan dan Arghi yang sedari tadi fokus mendengarkan tidak bisa menjawab pertanyaan Revan meskipun mereka tahu jawabannya.

"Reva. Tujuan gue yaitu Reva. Gue pengen buat dia bahagia. Gue pengen jadi alasan kebahagiaan dia. Reva yang narik gue dari lubang kegelapan yang tercipta karena luka masa lalu gue. Reva yang buat gue ngerasain apa itu kasih sayang? Apa itu dicintai? Semua karena Reva. Reva yang jadi alasan gue bertahan hidup sampai sekarang. Tapi, sekarang Reva udah ninggalin gue. Alasan dia ninggalin gue, karena dia lebih milih tunangan sama Kenzie."

Kedua cowok itu. Masih setia dalam diamnya. Tapi, sedetik kemudian Arghi bersuara membuat Revan yang tadi menunduk kini mengangkat pandangannya ke arah Arghi.

_o0o_

Kenzie berdiri di balik tirai yang menjadi sekat pembatas antara brankar satu dengan brankar lainnya yang berada di UKS. Cowok itu menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah kelima kalinya ia mencoba menghubungi Ibu dari cewek yang saat ini tengah di tangani oleh Dokter yang bertugas menjaga UKS. Namun, kelima kalinya juga panggilan darinya ditolak. Ia menyerah. Tidak ingin mencoba lagi. Ia tidak tahu ingin menghubungi siapa lagi selain Tante Rena.

Kegelisah Kenzie, buyar seketika saat seorang perawat yang tadi memeriksa keadaan Reva memanggil namanya. Kenzie segera menghampirinya, raut gelisahnya berubah menjadi raut penuh kekhawatiran.

"Gimana,  keadaan tunangan saya?" tanya Kenzie tanpa basa-basi lagi.

Perawat wanita yang bertugas untuk menjaga UKS SMA Barawijaya— itu tersenyum.

"Reva baik-baik aja. Panic attack dia sempat kambuh tadi, makanya dia pingsan. Kamu tau Kenzie kalo dia mengidap gangguan anxity disorder?"

Kedua mata Kenzie membelalak sempurna mendengar penuturan perawat tersebut. Ia jelas tidak tahu hal itu. Tante Rena menceritakan semua hal tentang Reva padanya, tapi tidak dengan yang satu ini. Tante Rena sengaja menyembunyikan hal ini padanya atau justru wanita itu tidak tahu tentang hal ini juga.

Melihat raut terkejut Kenzie membuat perawat itu menghela nafas pelan. Sepertinya dugaannya benar, jika Kenzie tidak tahu tentang Reva yang satu ini.

"Kamu beneran gak tau, Kenzie?" tanya perawat itu. Kenzie menggeleng tanpa ragu. Ia benar-benar tidak tahu.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang