CHAPTER 9

12 3 0
                                    

Reva tidak bisa memahami kondisi yang saat ini sedang terjadi. Hampir semua murid yang berpapasan dengannya baik murid seangkatan, kakak kelas maupun adik kelas. Semuanya membuang muka saat dirinya menyapa mereka. Padahal biasanya, ketika dirinya menyapa mereka akan balas menyapa tak kalah ramah. Bahkan, ada juga yang mengajaknya ngobrol hanya sekedar bertanya tentang pelajaran atau hal-hal lainnya. Hari ini berbeda sekali. Belum, lagi tatapan penuu cemoohan dan meremehkan dari para murid lainnya semakin membuat Reva tidak paham. Tatapan cowok-cowok sepanjang koridor membuat Reva tidak nyaman. Apa yang sebenarnya terjadi?

Reva terus melanjutkan langkah kakinya menuju kelas. Bel sekolah lima menit lagi akan berbunyi, ia akan bertanya pada Ara nanti sesampainya di kelas. Jujur, saja suasana hatinya yang pagi tadi cerah kini meredup kembali semenjak perdebatan dengan Revan beberapa menit yang lalu. Sungguh, ia masih tidak menyangka Revan akan mengatakan hal menyakitkan seperti itu padanya. Murahan? Dengan mudahnya kata itu keluar dari mulut Revan hanya karena sebuah foto dirinya yang sedang berpelukan dengan pria paruh baya yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Revan menuduhnya mengencani Om-om seperti cewek-cewek liar yang menjadikan pria hidung belang sebagai alat penghasil duit. Dan sebagai gantinya cewek-cewek liar itu akan melakukan apapun untuk para pria hidung belang itu.

Sungguh, pemikiran Revan terhadapnya begitu kejam. Bukankah, dirinya juga pernah menjadi bagian hidup Revan? Kenapa cowok itu tidak mencari tahu lebih dahulu tentang foto itu. Reva bukan hanya sakit hati atas tuduhan Revan, ia juga kecewa dengan cowok itu.

Ia memasuki kelas dan berjalan menuju bangkunya. Tanpa memperdulikan tatapan teman sekelasnyaa dan bisik-bisik yang membuat dirinya risih. Ia duduk di bangku miliknya, ia melirik sahabatnya yang duduk tepat di sampingnya. Ia merasa aneh saat, Ara hanya diam saat dirinya memasuki kelas. Padahal biasanya cewek itu akan heboh menceritakan hal-hal random padanya seperti kucing miliknya, si Moci kabur ke rumah tetangga atau bercerita tentang cowok-cowok tampan yang biasa nongkrong di dekat komplek rumahnya.

"Ara," panggilnya yang tidak mendapat sahuan dari cewek itu. Jangankan sahutan, cewek itu saja tidak menoleh sama sekali padahal ia yakin Ara mendengarnya karena mereka duduk bersisihan.

"Ara," panggil Reva sekali lagi.

Masih sama. Ara beneran tidak mendengarnya atau hanya pura-pura saja? Jarak mereka begitu dekat, tidak mungkin sahabatnya ini tidak mendengar suaranya.

"Ara, gue mau cerita sama lo." Reva mencoba peruntungan barangkali Ara kali ini mau menolehkan kepalanya untuk mendengarkan ceritanya seperti biasa. "Sem—"

"Selamat pagi semuanya. Sesuai apa yang saya katakan minggu kemaren, hari ini kita ulangan Matematika." Ucapan Reva terpotong saat suara Pak Ikhwan terdengar memasuki kelas.

"Pagi semua, Pak," ucap para murid serempak. Mereka mulai memasuki semua buku paket, buku tulis yang berada di atas meja yang tadi digunakan untuk belajar ke dalam tas. Hanya ada bolpoin saja di atas meja.

Pria muda yang berprofesi sebagai guru itu mulai membagikan lembar kertas ulangan secara acak. Di mana setiap lembar soal itu isinya tidak sama. Semua murid yang berada di kelas tidak bisa menyontek atau menyalin jawaban teman lainnya. Karena, soal yang mereka miliki berbeda dengan soal-soal teman lainnya. Mereka sudah biasa, dan hanya bisa pasrah. Mereka tidak peduli hasilnya seperti apa. Para murid mulai memgerjakam soal dengan tenang. Pak Ikhwan mengawasi mereka sambil berkeliling. Membuat mereka tidak berani bertanya pada teman lainnya tentang rumus bukan jawaban.

Pak Ikhwan bukan guru killer, Pria itu mengajar dengan santai membuat para murid senang dan nyaman. Selain cara mengajarnya yang santai, dan sifatnya yang friendly. Pak Ikhwan juga memiliki kriteria wajah tampan yang idaman. Membuat siswi-siswi antusias jika pelajarannya.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang