CHAPTER 07

5 3 0
                                    

Semua pasang mata yang berada di ruangan tersebut menatap seorang pria gagah dengan setelan formal yang berdiri di depan pintu bersama pria muda di belakangnya. Kenzie melayangkan tatapan penuh tanya pada pria yang wajahnya tidak asing. Ia seperti pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana dan kapan.

Katia bersama Fahri menatap tak percaya pada pria yang sudah lama tidak pernah terlihat lagi batang hidupnya. Dan kini pria itu berdiri dengan gagah sambil menatap Serena dengan tatapan tajam. Langkah pria itu mendekat pada wanita yang kini hanya bisa berdiri dengan kaku di samping Reva yang menatap Albian dengan tatapan berkaca-kaca. Albian melirik putri kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa, dalam hati ia berterimakasih pada Serena karen wanita itu sudah merawat Reva dengan baik.

"Kamu merencanakan pertunangan untuk Reva tanpa sepengetahuan saya, Serena." Tatapan pria itu beralih pada Serena yang baru sadar dari keterkejutannya.

"Kamu ngapain kembali?" Bukannya menjawab Serena malah melayangkan pertanyaan lain.

"Apa lagi selain menemui putri saya Reva," jawab Albian dengan tenang. Matanya menatap lurus wanita di depannya.

Serena tertawa singkat. Ia menahan diri agar tidak mengamuk di sini, mau bagaimanapun ia masih memiliki rasa malu.

"Putri kamu? Menemui Reva?" Dalam sekejap tawa Serena terhenti. Wajahnya mendatar saat menatap Albian. "Sejak kapan? Bukankah hubunganmu dengan Reva sudah berakhir? Dia bukan lagi putrimu, Mas. Tapi, Reva putriku!"

"Serena!" geram Albian tertahan. Tangannya terkepal kuat sampai buku jarinya memutih. Mendengar penuturan wanita itu membuat emosinya seketika naik. Padahal ia sudah berjanji untuk bersikap tenang menghentikan pertunangan Reva. Karena, ia tahu putrinya tidak pernah menyetujui ini.

"Kenapa? Aku benar, kan, Mas?" tantang Serena berani semakin membuat urat-urat pada leher Albian menonjol.

"Jaga ucapan kamu, Serena!" desis Albian rendah.

Sepasang suami istri yang berada di sana saling pandang. Mereka harus pergi dari situasi mengenagkan ini, atau setidaknya menghentikan perdebatan kedua orang yang sama-sama mempertahankan ego masing-masing. Jika, tidak ingin terjadi pertengkaran besar di restorant ini. Tidak masalah acara pertunangan malam ini tidak berjalan sesuai dengan keinginan mereka, setidaknya kedua orang itu melanjutkan pertengakaranyya dilain tempat bukan di sini.

"Mama! Papa! Please, udah!" lirih Reva yang kini menundukan kepalanya dalam. Ini adalah moment yang tidak pernah ia benci dalam hidupnya, ketika Mama dan Papanya bertemu keduanya selalu ribut. Padahal hubungan mereka sudah berakhir, bukankah seharusnya melilih damai saja? Demi dirinya yang mentalnya sudah hancur sedari dini karena terus menyaksikan pertengakaran kedua orang tuanya.

Kenzie tertegun mendengar suara Reva yang menyebut pria asing itu dengan sebutan 'Papa'. Ia memandang pria itu dengan lekat, pantas saja wajahnya tidak asing. Ternyata pria itu merupakan ayah kandung dari Reva. Wajah keduanya memiliki kemiripan yang begitu kental. Berbeda dengan Tante Rena yang hanya menurunkan warna matanya pada Reva serta bulu ata lentiknya saja.

Katia menatap sendu pada Reva. Ia tahu jelas bagaiaman berantakannya hubungan rumah tangga antara Serena dan Albian. Hubungan mereka hancur, dan kehancuran itu berimbas pada Reva yang saat itu masih berusia tiga tahun harus menyaksikan pertengakaran kedua orang tuanya setiap hari. Ia tidak bisa menyelamatkan mental Reva agar tidak hancur menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya setiap hari. Saat itu ia sedang berada di luar kota, ia juga memiliki masalah sendiri. Sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk menolong Reva. Meskipun ia sangat ingin, keadaan sangat mendukungnya.

Albian memejamkan mata, perlahan wajahnya mulai berangsur tenang bersamaan dengkepalan tangannya yang terlepas. Pria paruh baya yang masih gagah di usianya yang sudah memasuki kepala empat itu melangkah mendekati sang putri.

"Reva anak Papa." Tangannya terangkat mengusap pipi Reva dengan lembut.

Reva menegang kaku. Ia kembali merasakan sentuhan Ayahnya. Ia menggeleng tak percaya, dengan air mata yang perlahan meluruh. Buru-buru Albian menghapus air mata yang membasahi pipi cantik putrinya. Ia melirik Serena tajam penuh ancaman, sebelum akhirnya ia menarik lembut tangan Reva untuk mengikutinya keluar dari ruangan yang menyesakan itu.

"Pertunangan ini sampai kapanpun tidak akan pernah terjadi!" tekan Albian sekali lagi. Ia membawa Reva pergi bersamanya meninggalkan Serena yang kini mengejarnya, tapi kedua tangan wanita itu ditahan oleh kedua anak buahnya yang baru saja masuk setelah dirinya keluar.

"Lepasin!" Serena memberontak sekuat tenaga mencoba melepaskan kedua tangannya yang dipegangi oleh kedua orang suruhan mantan suami brengseknya itu. "Reva putriku, Albian!"

Katia menatap tak tega pada Serena yang berteriak dengan kedua tangan yang di tahan. Ia melirik suaminya yang hanya menggeleng, menyuruhnya untuk diam saja tidak perlu ikut campur. Lalu, tatapannya beralih pada Kenzie yang menuntut penjelasaan lewat tatapannya. Ia menghela nafas saat petugas kemanan mulai berdatangan karena mendengar suara keributan.

_o0o_

"Papa," panggil Reva setelah keduanya sudah berada di dalam mobil milik Albian.

"Iya, sayang kenapa?" tanya Albian lembut.

"Papa masih inget sama aku?" Pertanyaan itu membuat Albian menegang kaku. Lidah pria itu mendadak kelu, mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Reva. Detik ini perasaan bersalah langsung menyerang Albian. Semuanya terlambat, Reva pasti sudah membencinya. Ia merutuki dirinya yang bodoh, mengabaiakan Reva hanya karena egonya pada Serena. Ia menyesal sedalam-dalamnya. Namun, penyesalan itu tidak bisa merubah fakta bahwa dirinya merupakan Ayah yang buruk.

Ia menarik nafas dalam mencoba untuk tenang. Sebelum berbicara dengan Reva, ia menyuruh asistennya yang kini duduk di bangku pengemudi untuk menjalankan mobilnya keluar dari Restorant. Albian kembali menatap Reva yang kini menunggu sebuah jawaban darinya. Tatapan gadis itu penuh luka membuat dirinya semakin merasakan penyesalan luar biasa.

"Maafin Papa, Reva. Papa terlalu egois dengan jadiin kamu sebagai pelampiasan. Kamu gak salah apa-apa, Reva. Mama kamu yang salah, maaf ... Maafin Papa yang terlalu jahat sama kamu. Papa bukan Papa yang baik buat kamu, Reva. Papa ... Papa yang buruk buat kamu!"

Tanpa bisa dicegah lagi air mata itu kembali turun. Kali ini lebih deras dari sebelumnya. Cewek yang selalu menebar senyum cerah, secerah matahari di siang hari kini redup. Terganti dengan wajah mendung dipenuhi oleh air mata. Albian segera menarik putrinya ke dalam dekapan hangatnya. Reva dengan ragu membalas pelukan Ayah yang sudah lama tidak ia rasakan ini. Ia mengeratkan pelukan kala rasa nyaman hadir dalam dirinya. Dalam pelukan Albian, ia merasa dilindungi membuat isak tangisnya semakin kencang. Albian masih setia mengusap lembut punggung Reva dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Hatinya sakit, sangat sakit mendengar isakan Reva yang begiti menyayat.

Zico yang menyakaikan lewat kaca tersenyum penuh haru. Setelah sekian lama, ia bisa menyaksikan moment di mana sepasang anak dan ayah itu saling berpelukan melepas rindu dan rasa sakit yang selama ini terpendam.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang