CHAPTER 2

14 8 8
                                    


Kabar tentang putusnya Revan dan Reva langsung menyebar begitu cepat. Entah siapa yang menyebarkannya sampai hampir satu sekolah membicarakan berita panas pagi ini. Bahkan, ketika Reva melewati sekumpulan murid yang membicarakan tentang putusnya hubungan antara dirinya dan Revan. Sekumpulan murid itu tampak tak terganggu dengan kehadirannya yang mendengarkan pembicaraan mereka. Mereka tampak asik, membuat Reva geram seketika.

Jika, tidak mengingat tentang reputasinya sebagai murid teladan. Reva mungkin sudah melabrak kelima siswi yang ia perhatikan lebih detail ternyata itu adik tingkatnya saat ia melihat sebuah lambang kelas dibagian lengannya. Kurang ajar. Berani sekali mereka membicarakannya tepat di depan mukanya ini. Yang dilakukan Reva hanya biaa mengepalkan kedua tangannya sebagai bentuk emosinya pagi ini.

Reva tidak biasanya seemosi ini. Biasanya ketika ada yang membicarakannya secara terang-terangan mengenai hal buruk tentangnya saja ia hanya bisa mengusap dada sabar dan mencoba mengabaikan omongan orang lain. Namun, kini berbeda. Emosinya dari kemaren tidak stabil, ia terus-terusan memikirkan Revan. Sampai dirinya rela melewatkan makan, kewajibannya untuk belajar, dan waktu tidurnya.

Reva mempercepat langkah kakinya menuju kelas. Ia ingin segera sampai di kelas menghindari banyak murid yang kebanyakan menebak-nebak alasan berakhirnya hubungannya dengan Reva. Ada yang lebih kurang ajar lagi, teman seangkatannya hanya beda jurusan dengannya menghadangnya di koridor untuk menanyakan alasan dhubungannya dengan Revan berakhir. Tania namanya. Cewek yang dulu ngejar Revan seperti orang tidak mempunyai urat malu saat dirinya masih awal-awal jadian dengan Revan. Dan kini cewek itu berdiri di depanya seraya tersenyum. Reva muak melihat senyumannya.

"Lo beneran putus sama Revan?" tanya Tania dengan senyuman manis.

"Kenapa?" tanya Reva dengan raut datar. "Lo pasti penasaran, kan? Sama alasan gue putus sama Revan? Iya?"

Tania tertawa dengan gerakan tangan menutup mulut. Reva berdecih dalam hati melihat tingkah sok anggun cewek itu.

"Ya, lo udah tau duluan niat gue," ucap Tania dengan nada kecewa. "Tapi, bagus, sih, jadi gue gak perlu basa-basi sama lo."

Reva menahan rasa muak terhadap musuh terbesarnya ini, semenjak dirinya berpacaran dengan Revan. Karena, dulu dirinya dan Tania merupakan teman yang terbilang dekat. Karena, saat SMP mereka satu sekolah. Cewek itu beeubah memusuhinya hanya seoalh dirinya merebut Revan dari Tania. Hey, saat awal ia dekat dengan Revan, cowok itu tidak memiliki kekasih. Lalu, apa hak Tania memusuhinya dan menuduhnya sudah merebut Revan darinya? Padahal susah jelas, kalo cewek itu bukan kekasih dari Revan.

"Kalo lo mau ambil Revan. Ambil aja gak usah izin ke gue," lanjut Reva semakin membuat Tania tergelak. Namun, gelak tawa Tania terhenti saat mendengar kelanjutan ucapan Reva.

"Gue cuma mau ngingetin satu hal sama lo. Kalo Revan itu bekas gue, silakan ambil bekas dari teman lama lo," lanjut Reva dengan senyum mengejek.

Tangan Tania terkepal. Wajahnya memerah penuh amarah. Sialan sekali cewek itu berani berkata seperti itu padanya.

"Anjing lo, ya, Va! Kalo aja lo gak rebut Revan dari gue. Mungkin gue sama Revan udah bahagia," teriak Tania membuat beberapa murid yang berlalu lalang di koridor memperhatikannya.

"Gue bukan perebut, sialan!" desis Reva menahan emosi. Sialan, sekali Tania memancing emosi Reva yang sedari awal tidak stabil.

"Terus apa? Pelakor?" tantang Tania dengan sengaja.

Plak'

Wajah Tania tertoleh ke samping setelah Reva melayangkan sebuah tamparan pada cewek itu. Rasa panas langsung menjalar ke permukan pipi kirinya. Cewek itu meringis pelan, saat merasakan rasa kebas pada sisi wajahnya.

"Berani banget lo, ya!" Tania mengusap pipinya dengan pelan, matanya berkilat penuh amarah saat menatap wajah Reva yang diliputi emosi.

Tania bersiap mengangkat satu tangannya untuk membalas perlakuan Reva padanya. Ia sudah berancang-ancang menampar Reva dengan keras, sebelum akhirnya sebuah tangan menahan pergelangan tangannya di udara. Ia mendongak menatap terkejut cowok yang lebih tinggi darinya.

"Don't touch her!" Suara cowok itu terdengar tenang. Tapi, mampu mengintimidasi Tania yang seketika menegang di hadapannya.

Reva tak kalah terkejut dari Tania dan beberap murid yang sedari tadi menyaksikan keributan yang dibuat oleh Tania dan dirinya. Cewek itu menatap seorang cowok dengan seragam rapi dan lengkap yang melekat di tubuh atletis itu. Siapapun yang melihat penampilannya yang rapi, dari mulai seragam dan rambutnya yang disisir rapi. Semua orang bisa tahu kalau cowok itu merupakan siswa teladan yang selalu menaati peraturan.

"Kenzie? Lo ngapain di sini?" Setelah pertanyaan itu keluar dari mulutnya, Reva langsung merutuki dirinya yang menanyakan pertanyaan bodoh. Tentu saja jawabannya ingin melerai keributan yang terjadi di koridor yang memisahkan antara gedung selatan dan utara. Di mana kelas IPS dan IPA berada.

Cowok yang menjabat sebagai ketua OSIS SMA Barawijaya. Kehadirannya di sini tentu saja untuk meyelesaikan keributan yang terjadi pagi ini.

"Aku ke sini buat misahin keributan yang aku denger dari murid kelas sepuluh katanya ada keributan di koridor dekat laboratorium, makanya aku ke sini. Gak nyangka aja kalo ternyata yang ribut kamu, Va," jelas Kenzie seketika membuat Reva kikuk. Pasti cowok itu merasa aneh. Karena selama ini Reva tidak pernah mencari keributan atau memulai keributan. Bahkan ketika Tania terang-terangan mengajaknya ribut, ia hanya membalasnya dengan tenang dan tidak terlalu menanggapi Tania. Namun, entah setan apa yang merasukinya pagi ini bisa dengan mudah tersulut emosi seperti ini.

"Maaf, Kenzie. Pasti kamu ninggalin rapat Osis cuma buat dateng ke sini, ya?" ujar Reva tak enak hati. Pasalnya, Kenzi pagi tadi mengatakan akan mengadakan rapat bersama anggota Osis lainnya.

Kenzie menggeleng dengan senyuman. "Rapatnya udah selesai dari lima menit sebelum murid kelas sepuluh laporin ini ke aku."

Banyak yang memperhatikan interaksi Kenzie dan Reva yang menurut mereka aneh. Yang mereka tahu, Reva tidak terlalu dekat dengan ketua Osis itu. Menyapanya di koridor ketika berpapasan saja tidak pernah, namun pagi ini kedua insan itu malah berinteraksi menggunakan kosa kata aku-kamu. Bisik-bisik mulai terdengar, kembali membuat emosi Reva naik ke ubun-ubun saat telinganya menangkap beberapa orang membicarakannya lagi. Sialan sekali! Jika saja bel sekolah tidak berbunyi, ia pasti sudah menghampiri ketiga cewek yang membicarakannya itu secara terang-terangan dengan suara cukup lantang.

Menghela nafas dengan kasar, Reva beranjak meninggalkan koridor melangkah menuju kelasnya saat Kenzie membubarkan kerumunan yang disebab kan oleh dirinya dan Tania. Sebelum ia benar-benar pergi, Reva menyempatkan diri untuk melirik Tania yang menatapnya dengan senyum licik lalu berbalik pergi. Ia menebak pasti cewek itu akan merencanakan hal buruk padanya.

"Reva!" panggil Kenzie seraya mencekal pergelangan tangan cewek itu.

Reva berbalik menatap Kenzie dengan tatapan bertanya.

"Kamu nanti pulang sama siapa, Va?" tanya Kenzie.

"Aku pulang naik Taxi kayanya. Emang kenapa?" jawab Reva dengan pertanyaan di akhir.

"Aku mau ngajakin kamu pulang bareng. Kamu mau gak, Va?" Kenzie menggigit pipi bagian dalamnya. Menatap Reva penuh harap sekaligus cemas, takut cewek itu menolaknya.

Reva berpikir sesaat sebelum menjawab dengan anggukan pelan yang mampu membuat Kenzie menegapkan tubuhnya dengan senyum lebar yang menghiasi wajah tampannya.

Tanpa keduanya sadari. Ada sepasang mata yang menatap keduanya dengan tatapan penuh amarah sekaligus benci. Dengan emosi yang bersarang di dadanya, ia berbalik melangkah meninggalkan dinding yang berada tidak jauh dari koridor tersebut. Sehingga dirinya masih bisa mendengar dengan jelas pembicaraan kedua insan itu.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang