CHAPTER 8

4 2 0
                                    

Reva tidak bisa menahan senyum bahagianya hari ini. Cewek itu kembali melirik Papanya yang sibuk menyetir sesekali mengajaknya berbicara, seperti menanyakan bagaimana dirinya di sekolah, dan dengan siapa dirinya berteman. Pertanyan sederhana tapi mampu membuat dirinya bahagia. Baru kali ini ia merasakan kebahagian yang tidak bisa dijelaskan. Berangkat ke sekolah diantar oleh Papanya dengan pria iu sendiri yang menyetirnya. Padahal yang ia dengan dari Zico, asisten Papanya. Papanya tidak pernah menyetir mobil sendiri seperti yang dilakukannya sekarang. Biasanya Pria itu selalu mengandalkan Zico untuk menjadi supirnya kemanapun dirinya pergi. Tapi, kali ini Papanya rela melalukan hal yang tidak pernah ia lakukan hanya demi dirinya.

"Papa, makasih, ya," ucap Reva dengan senyum bahagia.

Albian menoleh pada Reva sekilas. Lalu, kembali fokus ke depan jalanan raya yang padat.

"Makasih untuk apa?" tanyanya kemudian.

"Untuk semalam dan pagi ini." Kernyitan di dahi Albian muncul. "Yang pertama, Papa udah nyelamatin aku dari pertunangan semalam. Yang kedua, Papa udah mau berjanji buat selalu ada buat aku. Bahkan Papa minta maaf dan nyesel karena udah gak peduliin aku selama ini. Jujur, aku tersentuh banget. Aku gak nyangka kalo Papa bakal dateng ke aku buat ngucapin itu. Selama ini aku gak berani buat berharap sedikitpun kalo suatu saat nanti Papa datang buat nemuin aku, meluk aku sambil minta maaf. Engga, Pa. Aku gak berani, karena apa? Aku takut kecewa. Aku sadar diri hal itu gak bakal pernah terjadi." Senyum Reva berubah sendu.

Nafas Albian tercekat. Kedua tangannya mencengkeram stir untuk melampiaskan emosinya. Ia sangat tertampar mendengar penuturan sang putri yang membuat dirinya semakin sadar. Seburuk apa dirinya sebagai sosok Ayah. Yang seharusnya menjadi cinta pertama untuk anak perempuannya, kini menjadi luka paling dalam untuk anak perempuannya.

"Semenjak Papa milih pisah sama Mama. Aku kehilangan sosok Mama selama satu bulan, dan selama satu bulan itu hidup aku semakin hancur. Papa nenangin aku yang lagi nangisin kepergian Mama cuma satu hari aja, setelah itu Papa pergi. Aku gak pernah ketemu Papa lagi. Sampai akhirnya Mama dateng ngajakin aku pergi buat tinggal sama Mama. Dari situ aku sadar aku benar-benar kehilangan sosok Ayah buat aku." Cengkeraman tangan Albian semakin kuat, ia memelankan laju mobilnya.

"Aku bener-bener seneng denger Papa mau berubah. Papa juga janji bakal selalu ada buat aku mulai sekarang. Makasih banyak, Papa. Aku sayang Papa." Reva tersenyum penuh ketulusan. Ia tidak pernah benci pada kedua orang tuanya. Ia hanya kecewa karena mereka tidak pernah memperdulikannya. Papanya yang selalu mengabaikan dirinya, dan Mamanya yang selalu menginginkan sebuah kesempurnaan pada dirinya.

Albian menepikan mobilnya di pinggir jalan. Pria itu melepaskan sabuk pengamannya, dan mendekat pada Reva dengan kedua mata berkaca-kaca. Ia memeluk putrinya dengan erat. Penyesalan yang selalu menghantuinya selama ini, membawanya pada hari ini. Keputusannya untuk menemui Reva, meminta maaf pada putrinya atas kesalahan yang selama ini ia lakukan dengan sengaja. Semua luka yang ia torehkan pada Reva, akan ia sembuhkan dengan dirinya yang akan selalu berada di sisi gadis itu. Ia berjanji. Ia akan membahagiakan Reva. Ia rela melakukan apapun untuk membuat putrinya selalu bahagia.

"Maaf," bisiknya pelan. Entah sudah berapa banyak ia mengucapkan kata itu pada putrinya.

"Aku belum selesai ngomong, Papa," protes Reva dengan nada merajuk. Membuat Albian yang baru saja melepaskan pelukannya terkekeh sambil menghapus air matanya yang membasahi pipinya.

"Iya, udah. Sekarang, Princess-nya Papa mau ngomong apa?"

Reva kembali tersenyum. "Aku lanjut, ya." Albian mengangguk sambil kembali menjalankan mesin mobil, dan melanjutkan perjalanan ke sekolah Reva yang jaraknya sudah dekat dari jarak dirinya menghentikan mobil.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang