CHAPTER 5

6 4 0
                                    


"Sayang, kamu cantik banget," puji Serena pada Reva yang baru saja membuka pintu kamarnya.

Penampilan Reva malam ini begitu cantik, dengan dress lengan pendek berwarna putih tulang yang memiliki panjang selutut dengan motif glitter yang mengelilingi pingganganya yang ramping. Kaki jenjangnya dibaluti oleh hak tinggi berwarna senada dengan dress- nya. Serta rambut panjangnya dibiarkan tergerai dengan jepitan rambut kupu-kupu yang menghiasi kepalanya. Pernak-pernik lainnya yang terpasang di tubuh Reva, seperti jam tangan, kalung dengan bandul kupu-kupu seperti jepit rambutnya, terus anting perak yang terpasang di kedua telinganya.

Serena tersenyum bangga pada dirinya yang memilih dress tersebut untuk digunakan Reva malam ini. Malam yang selalu ia nantikan sejak dulu, di mana sebentar lagi Reva akan menemukan kebahagiaannya yang nyata.

"Mama gak salah pilih ternyata kamu cocok banget pake dress ini." Serena berjalan memutari putrinya sambil berdecak kagum. Sepertinya malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan. Bukan hanya untuk Reva, tetapi untuk dirinya juga.

"Karena, kamu udah siap sekarang kita langsung berangkat aja. Mama takut jalanan macet dan kita telat datengnya." Serena menarik tangan putrinya yang sejak tadi hanya diam bak patung.

Keduanya menuruni tangga dengan hati-hati, karena menggunakam hak tinggi. Suara ketukan langkah keduanya menggema di rumah besar yang hanya dihuni oleh dua orang dan beberapa pelayan. Sesampainya di teras rumah, sudah mendapati mobil Alphard yang siap mengantarkan keduanya pergi malam ini atas perintah Mamanya. Pak Agus selaku supir membuka pintu mobil di belakang terbuka otomatis. Serena menyuruh Reva masuk terlebih dahulu, gadis itu menurut di susul oleh Serena yang duduk di samping Reva. Mobil itu mulai berjalan keluar dari pekarangan rumah, dalam perjalanan hanya di isi oleh keheningan yang tercipta di antara Serena dan Reva.

Reva masih mempeetahankan diamnya membuat Serena berdecak kesal pada akhirnya.

"Mau sampai kapan kamu diem kaya gini terus?" tanya Serena jengkel.

Reva hannya fokus menatap padatnya jalan raya. Banyak para pengendara yang saling menyalip satu sama lain untuk mempersingkat waktu. Mungkin, memiliki janji dengan keluarganya untuk pulang cepat. Reva menunduk menatap kedua tangannya yang saling menggenggam di atas paha. Sedari ia kecil sampai dirinya beranjak dewasa, baik Mamanya maupun Papanya tidak pernah berjanji untuk pulang lebih awal padanya. Keduanya tidak pernah memperdulikan dirinya yang selalu menunggu kepulangan kedua orang tuanya, sampai kadang tertidur di karpet ruang tamu bersama mainannnya yang berserakan. Dan bangun-bangun sudah berada di kamar, karena ketika dirinya tertidur pengasuhnya menggendongya ke kamar.

"Kamu denger Mama ngomong engga, sih?" Suara Serena kembali terdengar, menarik dirinya dari lamunan masa lalunya.

Reva meliriknya sekilas. Lalu, kembali menatap lurus pada jalanan kota ketika malam yang tampak lebih indah. Cahaya yang berasal dari lampu-lampu jalan, dan beberapa pedagang kaki lima yang berada di pinggiran semakin menerangkan jalan. Saat matanya tanpa sengaja melihat pecel lele, ia teringat Revan yang dulu mengajaknya makan di pinggir jalan saat awal mereka pendekatan. Hatinya semakin sakit mengingat kenangan kebersamaan mereka dulu. Ia tidak menyangka bahwa hubungannya akan berakhir dengan Revan. Ia yang terlalu takut Revan meninggalkannya suatu hari nanti dan memilih bersama cewek lain. Dan sekarang malah dirinya yang menibggalkan Revan dan memilih cowok lain. Meskipun itu atas paksaan dari Mamanya yang menyuruhnya untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan Kenzie. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca membuat Serena geram seketika.

"Kamu mau nangis? Iya?" Serena menarik bahu putrinya agar menghadap padanya. "Nangisin si berandalan itu lagi? Atau nangisin perjodohan ini?"

Reva menatap Serena takut. Di dunia ini yang Reva takutin selain Tuhan, yaitu Mamanya. Wanita itu selalu menekannya untuk menuruti keinginannya, jika dirinya membantah wanita itu akan menghukumnya. Bahkan yang lebih gila lagi, wanita itu akan mengancamnya dengan ancaman yang mampu membuat dirinya tidak bisa berkutik.

"Ma, aku mohon," ucap Reva untuk pertama kalinya mengeluarkan suara dengan lirih.

Nafas Serena memburu karena emosi.

"Kamu mau berhenti gitu aja? Kamu sengaja malu-maluin Mama, iya, Reva?" sentak Serena pada putrinya yang bergetar menahan tangis.

Reva menggeleng berulang kali. Ia menatap Serena penuh permohonan.

"Aku belum siap, Ma. Tolong kasih Reva waktu buat terima perjodohan ini." Nada suaranya penuh permohonan. Berharap Mamanya mau menuruti permohonanya kali ini.

"Enggak, Reva. Selama ini Mama udah ngasih banyak waktu buat kamu terima perjodohan ini. Dan kamu masih berani minta waktu lagi sama Mama?" Wajah Serena mengeras, wanita itu menatap putrinya dengan tajam.

"Asal kamu ingat, Reva. Mama selalu kasih waktu buat kamu, tapi kamu gunain buat pertahanin berandalan itu." Ekspresi Serena saat mengatakan itu tersirat penuh kebencian kala mengingat usaha keras Reva mempertahankan hubungannya dengan berandalan itu. Berkali-kali ia menyuruhnya untuk meninggalkan pemuda bernama Revan itu, dan berakhir pertengakaran yang terjadi.

Reva begitu keras kepala jika menyangkut Revan. Ia masih ingat, pertengkaran besarnya dengan Reva saat dirinya untuk pertama kali menyuruh Reva meninggalkan berandalan itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Reva menentangnya bahkan berteriak di depannya dengan suara lantang demi membela pemuda bernama Revan itu. Ia sangat sakit hati, ia kecewa melihat putrinya melawannya hanya karena seorang berandalan.

Pada akhirnya Reva tidak bisa menahan diri lagi. Air matanya jatuh membasahi pipi cantiknya, sedikit merusak riasan pada wajahnya. Namun, dengan cepat Serena mengeluarkan tisu lalu mengusap air mata Reva dengan lembut.

"Jangan nangis, Reva. Sebentar lagi nyampe, jangan buat Mama malu," ucap Serena penuh penegasan.

_o0o_

Sejak dua jam yang lalu, Revan masih setia berdiri di balkon kamar apartementnya. Yang dilakukan olehnya sedari tadi hanya menatap langit yang ditaburi oleh bintang-bintang. Malam ini langit tampak bersinar dengan indah, meskipun tanpa hadirnya bulan. Dalam kepalanya terus memutar kenangan indah bersama Reva bagai kaset rusak. Membuat perasaan Revan campur aduk, antara senang sekaligus sedih ketika sadar itu hanyalah masa lalu. Sekarang hubungannya dengan Reva sudah berakhir, kisah yang mereka tulis berakhir dengan miris. Reva memutuskan, meninggalkannya dan memilih cowok lain.

Dua jam yang dilakukannya ini bukan hanya sekedar mengenang kebersamaannya dengan Reva dulu. Ia terus menerus merenungi apa kesalahannya sampai membuat Reva memilih mengakhiri semua ini. Semua yang sudah mereka lalu, perjuangan mereka hingga sampai di titik ini sebuah hal yang sia-sia. Untuk apa dulu mereka berjuang? Jika pada akhrinya memilih untuk berpisah?

"Lo mutusin gue, dan lo lebih milih Kenzie, Va. Gue salah apa? Kenapa lo sejahat ini?" Tatapan Revan tertuju pada salah satu bintang yang tampak bersinar lebih terang.

Reva menyukai semua hal tentang langit. Dari keindahan langit di siang hari yang dipenuhi oleh gumpalan awan putih, dan ketika malam langit yang ditaburi oleh bintang-bintang yang bersinar cerah. Reva tidak pernah melewatkan sedikit moment tentang hal indah yang ada di langit. Cewek itu selalu berceloteh riang tentang keindahan langit.

"Karena, gue berandal, ya, Va? Makanya lo ninggalin gue?" Revan memegang dadanya yang terasa nyeri.

Bagi, Revan, Reva bukan sekedar cinta pertamanya. Melainkan cahaya hidupnya yang berhasil menarik dirinya dari lubang kegelapan yang tak ada cahaya sedikitpun. Reva membuat dirinya kembali mempercayai apa artinya kehidupan. Reva yang membuat Revan yang tadinya tak memiliki tujuan hidup. Akhirnya memiliki tujuan hidup yaitu Reva. Revan rela melakukan apapun hanya untuk membuat Reva bahagia. Cintanya pada Reva itu tulus, dan cewek itu menyia-nyiakannya begitu saja.

"Reva lo harus ngerasain rasa sakit yang gua alamin sekarang. Lo gak bisa bahagia disaat gue menderita karena lo," ujar Revan sambil mengepalkan tangannya.

Rasa sakit yang ia rasakan karena Reva. Harus terbalaskan. Reva harus merasakan juga apa yang ia rasakan. Tidak adil rasanya jika hanya Reva saja yang terluka.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang