CHAPTER 1

17 8 0
                                    


Seharian ini yang dilakukan oleh Revan hanya mengurung diri di dalam apartementnya. Entah sudah berapa banyak bungkus rokok yang ia habiskan sedari malam sampai sekarang. Banyaknya putung rokok yang berserakan di meja, serta kaleng bekas soda berserakan di lantai. Menandakan bahwa sosok pemilik apartement tengah kacau kondisinya.

Suara tawa menggema memenuhi apartemen, bukan tawa bahagia atau tawa yang dihasilkan karena suatu jokes atau sejenisnya. Melainkan, tawa pedih yang terdengar begitu menyayat. Semua kacau, ia sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini untuk dijadikan alasan untuk tetap bertahan hidup dikala semua rasa skait dan kehancuran berlomba-lomba untuk menghancurkannya.

"Putus? Gue gak mau putus sama lo Reva!" teriak Revan dengan suara kacau. Cowok itu kembali membuka kaleng soda entah yang keberapa kalinya, ia meminumnya dalam satu tenggakan. Kemudian tertawa lagi.

Siapapun yang melihat kondisi Revan, sudah pasti mengira jika cowok itu gila. Tapi, tidak salah juga karena Revan benar-benar gila setelah kemaren sore Reva memutuskan hubungannya. Hubungannya yang sudah hampir berjalan dua tahun. Seminggu lagi hari jadi hubungan mereka. Ia sudah merencanakan perayaan anniversary hubungannya dengan Reva yang kedua tahun. Mengajak gadis itu ke pantai untuk menikmati senja di sore hari, lalu malamnya makan malam ditemani ombak pantai dan cahaya bulan sebagai penerang.

Namun, harapannya sampai kapanpun tidak akan pernah terjadi. Hubungannya dengan Reva sudah berakhir, tidak ada yang bisa ia harapkan lagi. Minggu depan bukan lagi hari spesial baginya, tapi merupakan hari terburuk untuknya.

"Gue gak nyangka lo sejahat ini, Va," gumam Revan parau.

Di sisi lain, Reva tak kalah hancur dengan Revan. Gadis itu tidak pernah berhenti menangis semenjak kembali dari danau kemaren sore. Ia mengurung diri di dalam kamar sedari kemaren, menolak siapapun yang ingin menemuinya. Ia mengunci pintu kamarnya. Ia tidak peduli Mamanya yang terus-menerus berteriak dari luar kamarnya menyuruhnya untuk makan. Perutnya yang kosong tidak ia pedulikan, saat ini yang ia butuhkan bukan makan melainkan waktu untuk sendiri.

Isak tangis Reva terdengar dari luar kamarnya. Membuat Serena yang sedari tadi berdiri di balik pintu kamar anaknya kembali berteriak memanggil nama Reva.

"Reva! Buka pintunya!"

Reva menulikan pendengarannya, gadis itu tetap pada posisinya yang telungkup di atas kasur dengan isak tangisnya yang tak kunjung berhenti.

"Reva!" teriak Serena membuat kedua pelayan yang berdiri di samping wanita itu reflek menutup kedua telinganya. Suara melengking majikannya sedari tadi berhasil membuat telinganya berdengung, nyaris saja gendang telinga mereka hampir rusak.

"Oke, kamu tetep gak mau buka pintunya. Mama bakal dobrak pintu kamar kamu," ancam Serena yang lagi dan lagi tak dipedulikan Reva.

Lima menit tetap tidak ada respon atau pergerakan dari dalam kamar. Serena menyuruh kedua pelayan yang berdiri di kedua sisinya untuk memanggilkan tukang atau siapaun untuk mendobrak paksa pintu kamar Reva. Tidak lama, kedua pelayan tadi kembali bersama tukang kebun. Ia segera menyuruh untuk mendobrak pintu kamar Reva yang sejak kemaren selalu tertutup.

Pak Tono memasang posisi kuda-kuda untuk mendobrak pintu kamar itu sesuai perintah sang majikan. Serena mundur agar tidak mengganggu Pak Tono. Dalam hitungan ketiga, Pak Tono berhasil mendobrak pintu kamar bercat coklat itu. Membuat sang pemilik kamar terkejut, dan reflek bangkit.

Gadis itu menatap tak percaya pada Mamanya yang berjalan memasuki kamarnya sambil menatapnya tajam. Wanita itu begitu nekat mendobrak pintu kamarnya.

"Bangun, Reva!" Serena menatap putrinya semakin tajam, saat melihat putrinya membuang muka tepat saat dirinya sudah berada didekatnya.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang