CHAPTER 10

3 1 0
                                    

"Lo 'kan yang nyebarin foto itu?" tanya Reva membuat Tania tersadar dari keterkejutannya.

"Bukan gue. Gak usah nuduh, anjing!" elak Tania cepat. Ia menggeleng dengan wajah pucat saat melihat tatapan Reva yang begitu tajam.

"Nuduh?" Mata Reva semakin memicing. "Bukannya lo yang nuduh gue duluan?" Suara Reva terdengar santai, berbeda dengan tatapannya yang menajam penuh ancaman.

"Gue gak nuduh lo!" teriak Tania tanpa sadar. Cewek itu panik, entah apa yang membuatnya panik.

"Santai aja, sih. Kalo lo gak nuduh gue kenapa panik gitu?" Reva menatap Tania dengan senyum miring.

"Gue gak panik, ya!" Lagi dan lagi, Tania mengelak. Padahal sudah jelas dari raut wajahnya menggambarkan jelas kepanikan.

"Oh, ya?" Tatapan Reva begitu mengintimidasi membuat Tania tidak bisa bergerak leluasa. Reva melangkah maju mendekati Tania, seiring dengan tatapan para  murid yang semakin memperhatikan mereka dengan panas. Suasana semakin mencekam, udara disekitar semakin dingin seperti tatapan yang terpancar dari kedua bola mata Reva. "Tapi, lo yang ambil foto itu."

Reva berbisik tepat di telinga Tania. Cewek itu semakin gelapagan. Tangannya mendorong tubuh Reva yang tingginya hampir sama dengannya, membuat cewek itu mundur satu langkah.

Reva mengibas pundaknya yang baru saja disentuh oleh Tania. Membuat cewek itu tersinggung dengan gerakan Reva yang secara tidak langsung jijik oleh sentuhannya.

"Maksud lo apa?" tanya Tania yang kini malah maju mendekati Reva. Membuat cewek itu menatapnya bingung.

"Hah?" tanya Reva tak paham.

"Lo jijik sama gue? Makanya lo sok-sokan ngibasin pundak yang baru aja gue sentuh!" Tania menatap penuh ketidakterimaan pada Reva.

Reva kembali tersenyum saat mengerti apa yang dimaksud oleh musuh bebuyutannya ini.

"Gue emang jijik sama lo. Lo kan' emang semenjijikan itu." Reva terkekeh setelahnya saat melihat ekspresi marah pada wajah Tania.

"Lo sialan!" Tangan Tania reflek terangkat menampar Reva, membuat wajah cewek itu tertoleh ke samping akibat tamparan keras yang baru saja diterimanya.

Kali ini tidak ada yang mencegahnya. Tidak seperti sebelumnya ada, Kenzie yang datang tepat waktu menahan tangan Tania sehingga tamparan itu tidak terjadi. Rasa panas menjalar pada pipi Reva, cewek itu memegangi pipinya yang begitu perih. Shit! Ia mendongak menatap wajah Tania yang kembali menampilkan keangkuhan yang tadi sempat berubah memucat.

Tania tersenyum miring. Ini balasan untuk tamparan Reva tempo lalu, ia puas bisa membalas perbuatan Reva. Ia membalas tamparan Reva dua kali lebih kuat dari tamparan Reva tempo hari yang lalu, sampai jejak telapak tangan tercetak jelas pada pipi cewek itu. Puas, sangat puas. Keadaan kantin semakin memanas. Tatapan seseorang yang duduk dipojokan semakin menajam. Raut wajahnya mengeras, namun ia tetap pada posisinya tidak ada niatan sedikitpun untuk beranjak.

"Boleh juga tamparan lo."

Tania tercengang mendapatkan respon di luar ekspetasinya. Yang ia harapkan Reva akan menangis, atau tidak Reva akan marah seperti sebelumnya. Memang, tidak ada kapok-kapoknya yang namanya Tania. Sudah diperingati untuk tidak mengusik ketenangan Reva, tapi cewek itu mengabaikan sebuah peringatan.

"Tamparan itu gak seberapa buat lo. Cewek murahan kaya lo harus dapetin yang lebih dari tamparan," ujar Tania seraya memberi kode pada Diana untuk melanjutkan rencananya.

"Kurang jelas ucapan gue tadi?" tanya Reva dengan geraman tertahan.

"Oh, yang lo bilang kalo itu bokap lo?" tanya Tania dengan tawa mengejek. "Lo pikir kita semua gak tau. Kalo bokap lo ninggalin nyokap lo buat nikahin wanita lain," lanjutnya dengan nada meremehkan.

Reva mengepalkan tangannya kuat. Sampai kuku panjangnya menancap pada telapak tangannya.

"Omong kosong! Lo gak tau apa-apa tentang keluarga gue, sialan!" Ekspresi Reva kembali berubah. Sorot matanya berkilat tajam penuh peringatan. Ia paling benci ada yang mengusik ketenangannya melalau keluarganya. Ia tidak terima jika ada yang berbicara buruk tentang keluarganya, meskipun itu fakta. Tapi, ia tahu sekarang kalau Papanya tidak pernah menikah dengan wanita lain selain Mamanya. Semalam Papanya menceritakan semuanya agar dirinya tidak lagi salah paham.

"Gue emang gak tau semuanya tentang lo, Reva. Tapi, apa lo lupa? Kalo dulu lo sendiri yang nyeritain tentang keluarga lo ke gue?"

Reva terdiam. Mengingat kembali memory tiga tahun yang lalu, saat dirinya dengan Tania masih menjadi seorang teman mendekati kata sahabat.

"Lo yang bilang ke gue kalo keluarga lo hancur sedari lo kecil. Bahkan, lo cerita tentang bokap lo yang selingkuh makanya nyokap lo minta cerai. Benar, kan?" Tania kembali berucap. Membuat emosi Reva semakin naik ke ubun-ubun.

"Gue emang cerita sama lo, anjing! Tapi, itu dulu saat gue belum tau kebenarannya kaya apa!" Teriak Reva dengan kedua mata berkaca-kaca. Hatinya begitu sakit, ia mengharapkan Ara dan Revan yang duduk di pojokan kantin menghampirinya untuk membantu dirinya yang tengah ribut dengan Tania. "Dan lo gak punya hak buat nyebarin apa yang gue ceritain itu sama lo, Bangsat!"

Melihat Reva yang seperti ini, membuat Tania semakin gencar menghancurkan Reva melalui perkataannya. Sekarang, ia tahu membeberkan tentang keluarga Reva bukan hanya membuat Reva malu. Tapi, membuat Reva hancur dan itu adalah tujuan utamanya. Ia masih tidak terima cowok yang ia suka lebih memilih Reva dibandingkan dirinya. Ia dendam pada Reva, karena cewek itu merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya. Dan mendengar berita tentang berakhirnya hubungan Reva dengan Revan membuat dirinya senang. Bukankah berarti sekarang adalah gilirannya untuk bersama dengan Revan?

"Kenapa? Lo malu sama semua murid yang ada di sini? Gak usah malu lah. Semua orang juga tahu kalo keluarga lo itu hancur." Tania terus berbicara tanpa memikirkan perasaan Reva saat ini. "Dan lo bilang kalo foto lo pelukan sama om-om di dalam mobil itu bokap lo? Lo pikir kita bego?!"

Reva meremas kedua tanganna penuh emosi. Hatinya tercabik-cabik, rasa malunya sudah berada di ubun-ubun. Ia benar-benar ingin berlari dari sini, namun seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat kakinya untuk tetap berada di sini. Menjadi bahan tontonan memalukan di droan puluhan murid yang salah satu dsri merrka merupakan sosok yang dulu pernah berjanji untuk melindunginya dalam kondisi apapun.

"Murah. Murah aja lah gak usah banyak bacot!" teriak siswi lain dengan pedas.

"Cewek murahan kaya lo gak layak ada di sini!"

"Pantes aja kelakuannya kaya gitu kalo bokapnya aja tukang selingkuh!"

"Cewek murahan lo!"

"Nyesel gue percaya sama tampang lo yang sok polos itu! Taunya mah lo lebih dari kata liar!"

Teriakan itu bersahutan membuat Reva reflek menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Sekelebat kenangan buruk yang sudah lama ia kubur dalam-dalam seketika kembali memghantuinya. Ia menggeleng berkali-kali, jantungnya berdegup kian cepat, nafasnya tidak beraturan, kepalanya berputar seiring dengan penglihatannya yang memburam membuat Reva tak kuasa menahan bobot tubuhnya ia terjatuh. Beruntung seseorang datang tepat waktu menahan tubuhnya yang hampir terjatuh ke lantai.

"Maaf, aku datang terlambat, Va," bisik Kenzie menangkap tubuh lemas Reva ke dalam pelukannya.

Reva samar-samar mendengar suara Kenzie, sebelum akhirnya kegelapan merenggut kesadarannya. Reva pingsan di pelukan Kenzie, membuat sorot tenang yang biasanya terpancar dari kedua bola mata coklat pekat itu kini berubah menjadi tajam. Tania yang berdiri di hadapan cowok itu mematung seketika, terkejut melihat tatapan Kenzie yang menatapnya dengan tajam.

"Siapapun yang ganggu Reva, bakal berurusan sama gue!" teriak Kenzie dengan emosi yang bersarang di dadanya. Ia menunduk menatap wajah cantik Reva yang tampak pucat, lalu kembali menyorot semua orang yang ada di kantin dengan tatapan dingin. "Karena, Reva tunangan gue. Tunangan seorang Kenzie Aldiaska!" lanjut Kenzie mengundang tatapan keterkejutan dari semua orang di kantin. Termasuk Revan yang sedari tadi menatap tak berkedip pada Reva yang pingsan di pelukan Kenzie.

REVANO UNTUK REVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang