Dua buah motor berhenti tepat di depan sebuah gerbang bercat hitam. Si gadis turun dari motornya dan mencari kunci indekos, sedangkan seorang pria di motor lainnya hanya mengamati dan memastikan sampai Hari--si gadis--masuk ke dalam.
Hari terdiam setelah berhasil memutar kunci gerbang. Gadis itu ragu, tetapi akhirnya tetap berbalik dan menanyakan kegelisahannya selama ini. "Bang ...."
Abri menaikkan kedua alisnya karena Hari yang tidak langsung masuk ke dalam indekos.
"Em ... emang tadi siapa yang nge-chat, Bang? Sampe Bang Bri keliatan pucet gitu?" tanya Hari. Dadanya jadi berdegup kencang menunggu jawaban pria yang masih setia di motornya tersebut. Hati gadis itu menolak tahu karena kemungkinan akan menyakitkan, tetapi rasa penasaran mengalahkannya.
Abri yang sedikit terkejut dengan pertanyaan Hari, akhirnya tersenyum dan menjawab, "Temen lama, Dek. Gue udah lama banget enggak denger kabar dia, makanya tadi agak syok. Oh, iya, gue lupa ... kita bukannya belum wawancara makanan yang kedua, ya?"
Hari mencoba tetap dalam kesadarannya. Namun, semakin dicoba dan dipikirkan, semakin sedih rasanya. Hari tidak bisa lagi berada di depan Abri saat ini. Gadis itu membalik badannya dan cepat-cepat membuka gerbang. "E ... besok, Bang. Itu besok aja. Kalo Bang Bri bisa. E ... gue ... masuk, ya, Bang."
Melihat Hari yang terburu-buru membuat Abri bingung sendiri. "O-oke. Sampai jumpa, Hari. Langsung tidur, ya ...."
Setelah mengunci gerbang dan masuk ke dalam indekos, air mata Hari justru turun tanpa permisi. Di tempat parkir, gadis itu jadi kesusahan dengan air matanya yang tidak berhenti turun. "Gue kenapa, sih? Udah dianterin pulang, bukannya makasih, malah .... Lagian gue kenapa .... Padahal dari awal udah tahu kalo kita cuma sebatas artis dan fans. Padahal selama ini juga enggak ada apa-apa. Tapi kenapa ... kok gue ...."
**
Seorang pria dengan rambut basahnya mendudukkan diri di samping ranjang. Abri mengambil ponsel dan membiarkannya tetap menyala pada lockscreen. Ibu jarinya menggesek-gesek layar ponsel, tetapi tetap tidak membukanya. Tiba-tiba sebulir air jatuh dari mata sebelah kanannya. Setelahnya, pria itu tertawa, tetapi air matanya justru makin banyak yang jatuh.
Suara ketukan pintu terdengar, disusul seorang pria yang masuk tanpa menunggu si pemilik kamar mengizinkan. "Bang ... lo enggak apa-apa?" Pria itu--Fidan--menyampirkan handuk ke pundak Abri.
"Menurut lo gue harus gimana, Dan?" tanya Abri. Tangannya mengambil handuk dan mulai menggosok rambutnya yang basah. Namun, baru tiga kali gosokan, tangannya berhenti. Air matanya turun lagi tanpa diingin. "Harusnya di sini dia orang jahatnya, Dan. Gue harusnya lupa bahkan benci sama dia. Tapi, kok, gue malah jadi ngerasa br*ngs*k, ya. Gue enggak tahu apa-apa selama ini."
Meskipun belum tahu keseluruhan ceritanya, Fidan hanya mendengarkan Abri yang sepertinya ingin terus berbicara.
"Lo inget, 'kan, Dan? Kita temenan dari SMP sampe kelas 2 SMA. Dia pindah sekolah, tapi enggak ada ngabarin gue sama sekali. Gue ke rumahnya, rumah bibinya, neneknya, gue sampe nyari ke tempat kerja ayahnya. Tapi tetep aja dia kayak pengin ilang sepenuhnya dari gue." Abri mengingat-ingat lagi usahanya untuk mencari teman lamanya tersebut selama ini. Bibi dan nenek teman lama yang ditemuinya tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. "Katanya keluarganya pindah ke pulang Jawa dan sampe akhirnya gue ada di sini sekarang."
Fidan masih diam dan menyimak cerita Abri yang sebenarnya sudah pernah didengarnya. Sejak mengenal Abri, entah sudah berapa banyak kisah Abri yang didengarnya. Namun, Fidan tetap mendengar dan menunggu cerita tersebut sampai pada pesan yang baru saja diterima Abri.
"Gue udah enggak ada harapan, Dan. Di pulau segede ini, gimana gue bisa nemuin dia? Gue udah mutusin buat berhenti. Gue enggak mau lagi. Gue bakal benci sama dia kalo dia dateng lagi. Tapi ...." Abri sudah tidak menangis lagi. Pria itu tertawa lagi dengan kepala bersandar di kasur dan handuk yang menutupi wajahnya. "Gue masih aja kayak gini, Dan. Bohong kalo gue lupa. Hape gue aja fotonya masih dia. Dan alasan dia ilang selama ini ...."
Abri tidak melanjutkan ucapannya, tetapi tangannya menyodorkan ponsel ke arah Fidan. Fidan yang paham langsung membuka aplikasi perpesanan dan membaca pesan dari kontak bernama "Gue pengin lupain nomorlu jirrr". Fidan sempat melirik ke arah Abri. Bukannya langsung memblokir atau menghapus nomor teman lama yang katanya ingin dilupakannya tersebut, Abri justru tetap menyimpannya--dengan nama tersebut.
"Jangan ketawa sama namanya. Iya, gue emang enggak hapus nomornya," jelas Abri tiba-tiba meskipun Fidan tidak mengatakan apa-apa.
Tanpa menanggapi Abri, Fidan membuka dan membaca isi pesan dari nomor tersebut.
Halo, Bri.
Maaf, Bri, lama banget enggak ngabarin.
Kalau aja Bri udah enggak save nomor gue. Ini Brina.
Gue enggak tahu chat ini bakal nyampe enggak, tapi kayaknya bener, ya, nomor Bri masih tetep sama?
Gue lagi sakit, Bri.
Oke, gue akuin ini cuma tameng biar Bri mau dengerin gue.
Tapi beneran.
Gue sakit, waktu itu dan mungkin sampai sekarang dan selamanya.
Butuh waktu buat gue bisa nerima diri gue sendiri.
Kalo Bri masih mau dengerin cerita gue, biar gantian gue yang dateng ke tempat Bri.
Maaf, Bri.**
Huhu semoga masih betah di cerita ini😭
😭Terima kasih sudah mampir😭
Maafin Abri agak kasar omongannya😞🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Recall 24/7 [Tamat]
RomanceHari adalah seorang mahasiswi gizi semester 4 yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang seniornya di kampus. Namun, bagi sang senior, Hari hanyalah salah satu dari sekian orang yang menikmati musiknya. Hal inilah yang membuat Hari semak...