Sudah seminggu berlalu sejak kejadian di Malioboro saat itu. Hari mengatur jadwal-jadwal Sight dengan berdiskusi secara daring sesuai permintaan Sahir. Lagipula jadwal manggung Sight kosong hingga penampilan di kampus Hari sekitar satu bulan lagi. Selain itu, Hari tetap aktif di media sosial Sight sehingga penggemar Sight tidak merasa kehilangan.
Di siang yang cukup terik, Hari melangkahkan kakinya ke minimarket di perempatan jalan. Tiba-tiba hatinya menginginkan es krim. Namun, ketika hendak masuk matanya justru menangkap seorang pria yang tidak asing baginya sedang duduk sendirian di bangku depan minimarket tersebut.
Hari sedikit melongok ke arah si pria membuat pria itu tersentak. Hari tersenyum. "Halo, Bang!" Mata Hari melihat ke sekeliling kalau-kalau ada orang lain yang menemani pria tersebut.
Si pria turut tersenyum dengan tangan menggeser barang-barangnya untuk mempersilakan Hari duduk di hadapannya. "Gue sendirian, Dek."
Hari mendudukkan diri. Gadis itu bingung harus apa. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin ditanyakannya, terutama mengenai Sight. Namun, ia takut salah bicara.
"Gimana persiapan manggung di kampus kita, Dek?" tanya si pria.
Hari mengangguk sembari menjawab, "Aman, Bang. Karena besok penampil utamanya Sight, jadi emang banyak Bang yang bakal ditampilin. Kemarin udah didiskusiin durasi penampilannya sama kebutuhan Sight yang perlu disediain panitia. Alat-alatnya juga udah ditanyain. Ya ... persiapannya hampir selesai, kok, Bang. Tinggal nanti nunggu tanggal cek alat aja paling."
Si pria mengangguk paham sekaligus kagum dengan kerja keras Hari. Namun, suasana kembali hening. Pria itu jadi tertawa menyadari Hari yang tidak seperti biasanya. "Apa, Hari? Kalau mau tau sesuatu, tanya aja ...."
Hari menyengir. Ia memandang sendu. "Bang Bri ... gimana sama Bang Sahir?"
Abri justru terkejut karena pertanyaan Hari yang tidak diduganya. Pria itu tersenyum lagi. "Kami bikin khawatir, ya?" Abri tertawa. "Kemarin kami semua udah ketemu, kok. Kami udah latihan beberapa lagu juga."
Lega benar-benar memenuhi Hari. Perasaan cemas dan khawatirnya selama seminggu ini langsung enyah karena ucapan Abri tersebut. Gadis itu tidak bisa menyembunyikan perasan bahagianya.
Abri lagi-lagi tertawa. "Kami enggak ngambek sampe-sampe ngelupain kewajiban manggung, kok. Tapi, Dek ...." Abri menatap tepat ke mata Hari. "Menurut Hari gimana? Sebagai fansnya mungkin ... maunya Sight gimana?"
Hari terdiam beberapa saat. Tatapannya kembali sendu. Selain khawatir anggota Sight bertengkar, Hari juga sangat mengkhawatirkan nasib Sight selanjutnya. "Em .... Kalau sebagai fans ... jelaslah gue maunya Sight tetep ada, Bang. Gue pengin dukung Sight terus, Bang. Tapi di sisi lain ... gue juga tahu kisah di baliknya, Bang."
Abri jadi serius mendengarkan Hari mengungkapkan pendapatnya. Pria itu menunggu kelanjutan ucapan Hari tanpa berniat menyelanya.
"Sebagai fans yang tahu itu ... gue mau dukung apa pun keputusan Sight, Bang. Gue rasa abang-abang juga boleh punya impian lain. Bang Sahir dapet kesempatan sebesar itu ... mungkin juga memang sudah keinginan lama Bang Sahir(?) Pasti sulit juga, sih, Bang. Bukan artinya Bang Sahir ngebuang Sight gitu aja. Mungkin Bang Sahir mau wujudin impiannya yang lain.
"Gue juga disadarin ucapan Daarun kemarin. Sekitar setahun lagi, Bang Dan sama Bang Bri juga udah lulus. Enggak nutup kemungkinan kalian juga mau nyoba nyari pekerjaan sesuai jurusan, Bang. Jujur kalo boleh minta, gue penginnya Sight tetep ada, sih, Bang." Hari menyengir. "Apa pun profesi kalian nanti, gue harap kalian tetep bagian dari Sight. Entah itu setahun, dua tahun, lima tahun lagi ... gue harap sesekali Sight bisa manggung dan ngeluarin lagu baru lagi. Tapi apa pun itu, Bang ... gue bakal tetep dukung Sight."
Abri tersenyum mendengarkan Hari. Pria itu merasa tersentuh dengan ketulusan Hari sebagai penggemar Sight. "Di antara kami semua ... Fidan yang paling semangat soal Sight. Dia tetep kuliah, ngerjain tugas, ikut ujian, semuanya ... tapi dia bilang mau jadiin Sight profesi. Dia paling semangat buat nama Sight terkenal, karena itu juga dia sampe semarah itu kemarin."
Hari jadi melemaskan pundaknya mendengar hal tersebut. Semuanya jadi serasa serba salah. Sahir ingin mewujudkan impian lainnya, sedangkan Fidan menjadikan Sight sebagai impiannya.
Abri tertawa. "Dari tadi lo ekspresinya berubah-ubah terus, Ri. Enggak apa-apa, Ri. Ucapan lo tadi udah bikin gue seneng dan bikin gue ngerasa ... kayaknya tetep ada solusi, deh, meskipun mungkin emang bakal susah. Lagian ada satu hal yang kami semua sama-sama pengin, kok. Sama kayak lo, kami penginnya Sight tetep ada. Kami berlima. Ya ... lagi-lagi gue juga enggak tahu kedepannya bakal gimana, sih."
Hari mengubah ekspresinya lagi jadi tersenyum. Gadis itu mengangguk semangat. "Yang penting kita coba dulu aja sekarang, Bang. Besok, ya, besok. Kalo gitu ... gue mau fokus sama tugas gue sebagai manajer Sight, Bang. Apa aja keputusan Sight nantinya ... gue bakal tetep ... selalu dukung Sight, Bang!"
Abri tertawa lagi. Pria itu menggeser sekotak susu coklat dan roti ke hadapan Hari. "Masih dingin, nih, Ri."
Gadis itu dengan senang hati langsung mengambil susu kotak dan meminumnya. Perasaannya lega karena tahu Sight akan baik-baik. Meskipun masih ada kemungkinan terburuk Sight bakal bubar, Hari merasa semuanya tetap akan baik-baik saja. Hari memilih percaya dengan Sahir, Treesna, Abri, Fidan, dan Daarun yang akan mengambil keputusan. Gadis itu hanya perlu fokus untuk selalu mendukung Sight, salah satunya dengan menyukseskan penampilan panggung Sight di kampusnya nanti--yang semoga bukan yang terakhir.
Bang Bri ... makasih. Gue jadi inget waktu kita belanja bareng dulu, Bang. Kalo ... gue enggak naksir Bang Bri, enggak ngikutin Bang Bri, enggak ketemu Bang Bri waktu belanja ... gue enggak akan kenal sedekat ini sama Sight. Tapi nyatanya takdir bilang gini, 'kan? Gue percaya ... takdir buat Sight juga udah ada dan tertulis indah. Gimana pun nanti ... gue dukung Bang Bri dan Sight!
**
😭😭
Semoga tidak berbelit
Huhuh
Terima kasih sudah mampir
💛💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Recall 24/7 [Tamat]
Любовные романыHari adalah seorang mahasiswi gizi semester 4 yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang seniornya di kampus. Namun, bagi sang senior, Hari hanyalah salah satu dari sekian orang yang menikmati musiknya. Hal inilah yang membuat Hari semak...