Setelah pembicaraannya dengan Gista, Hari jadi lebih mendekat ke Abri. Gadis itu bertekad untuk berjuang menunjukkan perasaannya kepada Abri. Entah bagaimana pun jadinya nanti, setidaknya gadis itu tidak menyesal karena telah berusaha.
"Bang Bri! Ini es jeruk buat Bang Bri. Btw, Bang Bri lebih suka es jeruk manis atau yang tanpa gula?" Sebagai manajer Sight, Hari tentu membelikan es jeruk untuk semua orang. Namun, ia meletakkan milik yang lainnya di atas meja dan mengantar hanya milik Abri. Gadis itu juga menanyakan hal-hal random.
Abri tampak berpikir. "Dikit aja, sih, gulanya. Biar enggak terlalu manis dan enggak keaseman juga." Abri meneguk es jeruknya dan mulai memasukkan benda-benda miliknya, termasuk bass ke dalam tas.
Hari memilih mengambilkan kipas kecil yang biasanya digunakan Daarun. Gadis itu mengarahkan kipas ke Abri yang sedang sibuk beres-beres. "Bang, biasanya kalo abis manggung gini ngapain, Bang?"
Abri tidak langsung menjawab, tetapi bersenandung seolah sedang memikirkan jawaban. Setelah selesai dengan barang-barangnya dan mendudukkan diri, baru pria itu menatap Hari. "Tiduran udah pasti. Makan banyak, tapi itu tiap hari juga gitu, sih. Ah, iya, gue juga sering ngeliat video penampilan Sight. Sambil istirahat gitu, sekalian ngevaluasi kurangnya di mana."
Hari mengangguk paham. "Ah ... gitu, ya, Bang. Kok Abang pegang bass, Bang? Bukannya Bang Bri juga bisa gitar?"
"Itu gimana, ya .... Gue emang suka gitar, tapi waktu pertama kali mutusin gabung Bang Sahir, mereka udah sama-sama pegang gitar. Bang Sahir sama Mas Tris enggak usah diraguin lagi kemampuan gitarnya. Jadilah ... gue ngalah dan nyoba bass. Lagian dulu gue pernah juga megang bass, jadinya enggak begitu kaget," jelas Abri panjang membuat Hari kembali mengangguk-angguk mengerti.
"Eh, gimana, sih, Bang awal mula Sight?" Hari jadi benar-benar penasaran, sedangkan Abri mulai heran karena tidak biasanya Hari terus bertanya seperti ini--terlebih hanya padanya.
Abri meneguk es jeruknya hingga memakan es batu kecil membuat Hari menunggu penasaran. "Gue sama Fidan emang sekampus, 'kan. Kami sering main-main musik biasa, kadang cover lagu. Terus ketemu Bang Sahir sama Mas Tris di Malioboro."
Mendengar percakapan tersebut membuat Daarun tertarik. Pemuda itu mendekat, mengambil kipas di tangan Hari, dan turut berkomentar. "Mau tahu enggak, Kak, gimana gue bisa gabung?" Melihat Hari terkejut dan langsung melihat ke arahnya membuat Daarun melanjutkan kalimatnya. "Waktu itu pulang sekolah. Gue berhenti buat dengerin mereka di malioboro. Enggak tahu kenapa, waktu penonton lain udah pada pergi, ganti-ganti gitu, gue tetep ada di sana. Sampe akhirnya Bang Dan nyamperin. SKSD banget Bang Dan."
Fidan yang mendengar itu jadi memprotes. "Heh! Lu, ya, Run, yang SKSD sama gue. Orang gue niatnya mau ngusir juga."
Hari tertawa mendengar perdebatan tersebut sampai ketika suasana sudah tenang, Daarun berbisik, "Gitulah, Kak, Bang Dan emang enggak pernah mau ngaku. Beruntung banget enggak, sih, Kak? Di antara penonton lain, gue yang disamperin mereka."
Hari tersenyum lagi. Di setiap ceritanya, Daarun selalu mengatakan dirinya beruntung. Padahal di sisi lain Sight juga beruntung bisa memiliki Daarun.
"Kenapa, Ri? Jadi nostalgia gini," tanya Abri.
Hari terkejut. "Eh? E-enggak, Bang. Penasaran aja sebagai Insight."
Semua anggota Sight jadi bernostagia awal pertemuan mereka. Hari senang bisa mendapat cerita mahal ini secara gratis. Sementara itu, Sahir terlihat lebih diam dari biasanya, seperti sedang memikirkan sesuatu.
**
"Bang Bri!"
Sight sudah mengemasi barang dan bersiap untuk pulang. Sight menggunakan mobil bak saat ini karena harus membawa drum dan keyboard. Hari ikut menaikkan barang-barang ke atas mobil. Setelah semua barang naik, Hari memberanikan diri mengungkapkan maksudnya.
"Bang. Tadi, 'kan, gue ikut sama mobil buat ngarahin jalan karena tadi berangkatnya duluan. Nah, sekarang, 'kan, kita pulang bareng jadinya enggak perlu arah lagi. Lagian sopirnya udah apal, kok," jelas Hari tidak langsung pada intinya. Perlu keberanian besar untuknya melanjutkan kalimat. "Kalo ... kalo gue ikut Bang Bri boleh enggak?"
"Oh? Boleh, boleh," jawab Abri enteng. Pria itu berjalan ke arah sopir untuk mengatakan kalau Hari ikut dengan motor. "Yok, Dek!"
Sight memang hanya membawa tiga motor saat berangkat tadi. Sahir dengan Daarun, Treesna dengan Fidan, dan Abri sendirian. Karena itulah Hari memberanikan diri agar bisa memiliki waktu lebih banyak dengan Abri.
"Pegangan, Ri!" Tepat setelah mengatakan itu, motor Abri mulai melaju mengikuti yang lainnya.
Hari berpegangan pada jaket Abri. Jantungnya berdegup kencang, pandangannya terus memperhatikan bagian belakang Abri, telinganya menangkap suara Abri yang bersenandung. Aroma Abri tercium jelas membuat Hari gugup tidak keruan.
"Btw, Dek. Kemarin hasil wawancaranya gimana? Apa namanya itu?" Abri memulai percakapan.
Hari masih diam, kesulitan mencerna pertanyaan Abri. Terlebih untuk mengingat hasil wawancara tersebut dalam situasi seperti ini sulit untuk dilakukan. "E ...." Pandangan Hari masih fokus pada punggung Abri yang ternyata cukup lebar untuk dijadikan sandaran.
"Hari?"
Satu tangan Hari menutup matanya sendiri. Sadar, Hari, sadar. "Iya, Bang Bri? Ah, iya, itu ... SQFFQ, Bang." Kali ini Hari menatap ke arah spion yang menampilkan sedikit helm Abri.
"Terus ...?" pancing Abri karena Hari belum menjawab semua pertanyaannya.
Hari berpikir cukup lama. "Iya, Bang. Itu, 'kan, berdasarkan kebiasaan makan, ya. Setelah aku hitung ... makan Bang Bri emang agak kelebihan, Bang." Hari tertawa kecil. "Tapi, kok, waktu dihitung IMT Bang Bri tetep normal, ya? Atau karena Bang Bri sering olahraga juga, ya?"
"Mungkin gitu, ya. Tapi gue emang sering ngerasa naik, sih, Dek. Cuma, ya, mungkin karena olaraga, kuliah sering di lapangan, ngeband, stres juga kali." Pria itu tertawa. "Kalo diterusin gitu, entar lama-lama gue jadi gendut, ya?"
Hari ikut tertawa. Kegugupannya sedikit hilang karena Abri yang mengajaknya berbicara. "Mungkin, Bang. Tapi asal Bang Bri masih sering olahraga, banyak aktivitas ... stres juga ...." Hari tertawa lagi. "Enggak, deh, Bang. Stresnya jangan."
Obrolan keduanya terus mengalir sepanjang jalan. Degup jantung Hari tetap sama cepatnya, terlebih ketika kejadian seperti mengerem dadakan terjadi. Sebelum sampai ke Markas Sight, Hari mengambil ponselnya dan diam-diam memfoto momen saat ini. Ia tersenyum.
Gue tahu, sih, Bang, usahaku pasti sia-sia ... tapi gue seneng bisa sedeket ini sama Bang Bri. Makasih, Bang Bri ....
**
😞😞😞
Btw, di cerita ini Abri bisa bawa motor ya dan punya SIM juga eh wkwkwwkwkwk😶🤣
![](https://img.wattpad.com/cover/367739741-288-k977642.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Recall 24/7 [Tamat]
Любовные романыHari adalah seorang mahasiswi gizi semester 4 yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang seniornya di kampus. Namun, bagi sang senior, Hari hanyalah salah satu dari sekian orang yang menikmati musiknya. Hal inilah yang membuat Hari semak...