31. Selesai?

55 20 2
                                    

Lima orang pria dan tiga perempuan kini duduk lesehan. Semuanya terlihat kelelahan sehingga hanya duduk dalam diam menikmati keramaian Malioboro. Alat musik yang sebelumnya digunakan masih tergeletak di tempat, belum sempat dibereskan. Satu dehaman kecil Sahir dalam suasana tenang tersebut membuat semua orang melihat ke arahnya.

"Gini ...." Sahir terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya membuat semua orang semakin menanti penasaran.

"Lanjut, Hir," celetuk Treesna. Namun, bukannya menghadap Sahir, pria itu justru mengalihkan pandangannya ke arah lain sembari meminum es jeruknya. Treesna terlihat gugup entah sebab apa.

Sahir menghela napas kasar. Ia membenarkan posisi duduknya. Matanya melirik ke masing-masing anggota Sight. Mulutnya kadang terbuka, tetapi tertutup lagi. Terlihat sekali Sahir sedang bingung harus melanjutkan kalimatnya atau tidak.

"Kenapa, sih, Bang?" tanya Daarun sudah tidak sabar.

Pandangan Sahir tiba-tiba berubah sendu. Pria itu dengan lirih mengucap kata keduanya, "Sight ...."

Abri dan Fidan sudah mengerutkan alis menunggu kelanjutan Sahir.

Masih dengan memalingkan wajah, Treesna menyerobot Sahir karena terlalu lama mengungkapkan maksudnya. "Sahir direkomendasiin buat beasiswa S2 dari profesornya. Gue juga diterima kerja di tempat yang lebih layak dan gajinya juga lebih tinggi dari yang sekarang."

Terdapat jeda sebentar sebelum semua orang mencerna maksud ucapan Treesna. Fidan lebih dulu berekspresi terkejut. "Oh! Bagus, dong, Mas, Bang!"

Daarun dan Hari bertepuk tangan dengan wajah sama terkejutnya. Gista dan Shabrina juga turut tersenyum senang. "Keren Bang Sahir! Selamat juga Mas Tris!"

Sementara itu, Abri belum menunjukkan ekspresi sama seperti yang lainnya. Pria itu justru terlihat ikut gugup sama seperti Sahir dan Treesna. "Di ... mana, Bang, Mas?"

Pertanyaan Abri membuat semua orang turut penasaran. Namun, melihat Treesna yang tetap diam dan Sahir yang semakin sendu membuat semua orang jadi membuat asumsinya sendiri. Fidan yang sebelumnya terlihat senang, kini mengerutkan kedua alis dengan pandangan mata sedikit bergetar takut kalau dugaannya benar.

Sahir berdeham lagi dan mengembuskan napas berat. Kali ini pria itu terlihat lebih yakin dari sebelumnya. "Maafin kalo egois, ya. Keputusan ini berat banget sebenernya. Kayaknya ... Sight ...."

"Enggak, Bang!" potong Fidan tidak ingin lagi mendengar kelanjutan ucapan Sahir.

Treesna jadi menghadap ke arah Fidan. "Dan, dengerin dulu sampe selesai."

"Maaf, Dan, Bri, Run. Gue udah mikirin ini berkali-kali, nanya sana-sini. Maaf baru bisa bilang sekarang ke kalian. Kayaknya Sight enggak bisa lanjut dulu." Sebelum Fidan memprotes lagi, Sahir lebih dulu meletakkan tangannya di paha Fidan dan melanjutkan ucapannya. "Gue direkomendasiin lanjut kuliah di Jepang. Mas Tris keterima kerja di Semarang. Ini mungkin kedengeran alesan aja. Tapi, Bri, Dan ... kalian juga bentar lagi mulai PKL, 'kan?"

Fidan terlihat berbeda dari biasanya. Wajah yang biasanya terlihat lembut itu kini bersungut-sungut marah. Namun, pria itu masih berusaha untuk menahan amarahnya. "Enggak, Bang. Kami bisa aja kok, Bang. Seenggaknya sebulan sekali manggung, atau tiga bulan, setengah tahun ... yang penting ...." Fidan terlihat jengkel sendiri. "Gue enggak bisa diajak diskusi sekarang, Bang."

Semua orang menatap kepergian Fidan yang entah ke mana. Ketika Gista akan berdiri untuk mengikutinya, Treesna menahan Gista. "Diemin dulu aja, Gis. Fidan butuh sendiri."

Tanpa dimau, Hari dan Daarun justru menitikkan air mata. Sahir beralih ke arah Abri yang semenjak tadi diam. "Bri ... menurut lo gimana?"

Butuh beberapa saat sampai Abri menjawab pertanyaan Sahir. Pria itu sedikit tersenyum. "Bang Sahir mesti gini. Mikirin semua masalah sendiri dan ini emang keputusan finalnya, 'kan? Percuma juga, Bang, kami ngasih pendapat." Sorot kekecewaan tampak di mata Abri. Di sampingnya, Shabrina memegang lengan Abri untuk meredakan sedikit amarah pria itu. Namun, sama seperti Fidan, Abri juga memilih pergi.

Sisanya kembali hening. Hanya terdengar Hari dan Daarun yang berusaha menahan air matanya, tapi beberapa kali terdengar terisak. Gista dan Shabrina hanya menunduk. Treesna menundukkan kepalanya dengan tangan di atas kedua kaki yang ditekuk mengangkang. Sementara itu, Sahir menutup matanya dan berulang kali mengembuskan napas berat. Terlihat sekali Sahir sama beratnya seperti anggota lain untuk menerima--membuat--keputusan tersebut.

"Bang ...." Daarun yang masih terisak jadi kesulitan untuk mengucapkan keinginannya. "Bener ... kata Bang Fidan. Kita, 'kan, tetep bisa main musik sesekali .... Kuliah S2 dua tahun, ya, Bang ...."

Daarun menyadari sendiri keinginannya yang memang sulit terwujud.

"Tetep aja, Bang .... Bisa, kok abis lulus." Lagi-lagi Daarun mengoreksi ucapannya sendiri yang justru membuatnya semakin terisak. "Bang Sahir pasti mau nyari kerja yang sesuai juga, ya .... Setahun lagi Bang Dan sama Bang Bri juga lulus, ya ... pasti bakal nyari kerja juga."

Hari jadi semakin terisak mendengar Daarun, terlebih suara pemuda itu yang bergetar. Hari menatap ke arah Daarun.

"Kak ...." Daarun jadi merengek ke arah Hari.

Gadis itu tidak bisa menenangkan karena sama terkejutnya. Hari hanya menunduk dan meletakkan satu tangannya di lutut Daarun.

Sore itu semuanya jadi sibuk dengan pikirannya masing-masing. Fidan dan Abri kembali ketika sudah semakin sore, tetapi semuanya tetap diam. Motor melaju bersama. Abri lebih dulu mengantarkan Shabrina ke penginapan, begitupun Fidan mengantarkan Gista ke indekosnya. Sesampainya di Markas Sight, Hari pamit untuk pulang. Sebelum pulang, Sahir menghampirinya.

"Hari .... Maaf, ya. E ... buat persiapan manggung dan lain-lainnya kita bicarain di chat dulu. Sementara Hari enggak usah ke sini dulu enggak apa-apa. Nanti gue kabarin lagi. Hari hati-hati, ya ...."

Hari berharap Sight bisa menyelesaikan masalahnya bersama. Namun, ketika gadis itu dalam perjalanan pulang, ia justru melihat Abri dan Fidan juga pergi dengan motornya masing-masing. Rupanya kedua pria itu butuh waktu lebih lama untuk menyendiri. Hari jadi menitikkan air mata lagi, tetapi harus cepat-cepat ia usap karena mobil di belakang sudah mengklakson motornya yang memelan. Hari mempercepat laju motornya dengan harapan baik--dipaksa--memenuhi kepalanya.

Semuanya bakal baik-baik saja. Semuanya baik-baik aja ....

***
😞😞😞
Bismillah dikit lagi tamat huhuh
Terima kasih sudah mampir
💛💛

Love Recall 24/7 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang