10. Daarun Salah, Semua Susah

66 17 0
                                    

Daarun duduk bersila di antara kakak-kakaknya seolah sedang disidang. Pemuda itu cengar-cengir menyadari kesalahannya. Sahir tampak fokus melihat jadwal di ponsel Daarun, sedangkan yang lainnya was-was menunggu Sahir membuka mulutnya.

Sahir menghela nafas yang membuat semua tubuh menegakkan badan. Pria yang memiliki beban sebagai pemimpin grup band tersebut memiliki wibawa--sekaligus temperamen--yang membuat semua anggota respek. "Jadi, ketiga jadwal itu jam 1 semuanya, Run? Yang pertama, ada jadwal pengecekan alat sama tempat manggung di festival ... Solo?"

Daarun lagi-lagi nyengir untuk menjawab Sahir, sedangkan Sahir menahan untuk tidak kesal.

"Acara kedua, ketemu Yutuber Citra buat bahas projek kolab? Ketiga ...." Sahir melirik ke arah Daarun yang tersenyum makin lebar. "Acara ulang tahun anak 7 tahun? Ini perlu manggung semua, Run?"

Daarun tampak berpikir, "Nanti ... nanti   coba gue rundingin dulu sama pihak sana, Bang."

Kali ini Sahir mengembuskan nafas lebih banyak dari sebelumnya. "Oke. Mas Tris sama Daarun ke Solo gimana? Mas Tris yang bisa ngebut soalnya. Eh, tapi tetep hati-hati, Mas."

Treesna mengangguk, sedangkan Daarun jadi tersenyum lebar karena solusi dari permasalahan yang disebabkannya sudah ditemukan.

"Gue sama Abri ke Mbak Citra aja, ya. Soalnya dari kemarin gue yang kontakan sama Mbak Citra. Fidan ... Hari mau ikut enggak?" Kali ini tatapan Sahir mengarah ke Hari yang jadi menaikkan kedua alisnya. Gadis itu tidak pernah menyangka namanya akan disebut dalam situasi tersebut.

Hari menunjuk dirinya sendiri kembali mengonfirmasi, "Gue, Bang?"

"Iya, nanti sama Fidan kalau mau. Tenang aja, nanti biar Fidan mainin piano di sana, Hari bantuin jaga adek-adeknya. Gimana?" Sahir menatap Hari penuh harap.

Sementara itu, Fidan jadi tertawa sendiri. "Kok gue, sih, Bang, yang ke ultah bocil? Tukeranlah, Bang, sama Daarun."

"Enggak, Bang. Udah, udah paling cocok Bang Fidan ngurus anak-anak." Daarun ikut tertawa seolah melupakan kesalahan sebelumnya.

"B-boleh, Kak. Kalau bisa bantu, boleh banget." Hari akhirnya mengeluarkan persetujuannya membuat Sahir langsung berdiri dan menepuk pahanya.

"Oke, oke. Ayo, semuanya berangkat! Enggak ada protes lagi, Dan. Hari udah setuju, tuh! Gue pake motor yang biru, ya. Ayo, Bri!" Sahir segera mengambil jaket dari kamar untuk bergegas pergi karena jarak tempuh sekitar 45 menit.

Fidan masih tertawa dan mencari keadilan. Namun, semua orang hanya turut tertawa dan bergegas menuju tugasnya masing-masing. "Wah, parah, parah! Gue beneran ini? Mana acaranya ngapain aja enggak tahu lag--"

"Ini, Bang." Daarun memotong ucapan Fidan dengan memberikannya selembar kertas berisi susunan acara dan lagu yang ingin dinyanyikan.

Semua orang siap dengan pakaian dan barang yang perlu dibawanya. Sahir dan Treesna sudah di luar untuk memanaskan motor, Daarun dan Abri masih bergegas memakai sepatu, sedangkan Fidan masih tertawa sambil memandangi kertas di tangannya.

"Kak, gimana, Kak?" Hari mendekat ke arah Fidan untuk menanyakan tugasnya.

Fidan melirik Hari dan tersenyum lebar. "Ya, udah, ayo! Bentar, ya. Gue ambil mik sama piano kecil dulu." Fidan masuk ke kamar untuk mengambil sebuah mikrofon dengan baterai dan piano berukuran kecil. Piano tersebut bisa dibawa dengan dua tangan sehingga mudah dibawa meskipun hanya menggunakan motor.

Hari menunggu hingga Fidan keluar membawa barang-barangnya. Melihat Fidan terlihat kesusahan, Hari inisiatif untuk membantu. Keduanya keluar dan mendekat ke arah motor yang tersisa.

"Kabar baiknya, jarak kita paling deket. Bisa paling cepet pulang ini." Fidan melihat ke arah Hari sembari merapikan piano untuk diletakkan di motor bagian depan. Pemuda itu melanjutkan kalimatnya ketika Hari terlihat mengangguk. "Kabar buruknya, kita ngelawan bocil ... dan kemungkian emaknya."

"Nanti gue bisa bantu enggak, ya, Kak?" tanya Hari mulai risau.

"Bisa ... asal sabar." Fidan tertawa lagi, kemudian naik ke atas motornya. "Paling nanti yang pertama kita bakal diomel karena cuma dateng berdua, padahal janjian berlima."

Hari ikut naik ke atas boncengan motor dan mengenakan helm yang dipinjamkan Fidan. "Kedua, Kak?"

"Kedua, nanti bakal banyak bocil tantrum sampe-sampe suara kita enggak kedengaran. Nyanyi aja jadi kayak percuma." Fidan masih melanjutkan imajinasinya sembari melajukan motor. "Ini kita mampir ke toko hadiah dulu, ya. Kita beli beberapa perlengkapan buat mendukung penampilan."

"Oke, Kak." Hari mulai gugup. Tiba-tiba diajak ikut acara seperti membuat Hari bingung harus berbuat apa. Gadis itu juga gugup karena hanya berdua dengan Fidan. Kalo aja gue kebagian sama Kak Bri ..., tapi enggak apa-apa. Gue pengin berguna buat Sight.

"Ketiga ...." Rupanya Fidan masih belum menyelesaikan imajinasinya. "Lagu yang dipesan sama yang dimainin nanti bisa banget beda. Apalagi banyak anak yang bakal ikutan request. Bakal banyak juga yang kepengin megang piano."

Hari mencoba tertawa kecil untuk menanggapi ucapan Fidan. "Biasanya emang sesusah itu, ya, Kak?"

"Tapi tetep ada serunya, kok." Dari kaca spion, Hari menangkap Fidan yang jadi tersenyum. "Adek-adeknya mau tantrum gimana atau gimanapun, tetep aja lucu. Tingkahnya ada aja. Apalagi kalau mereka udah ketawa-ketawa, ikut nyanyi bareng, manggil kita 'kakak' ... itu bikin seneng banget, sih. Lihat aja, deh, nanti. Yakin, deh, lucu."

Hari ikut tersenyum memerhatikan Fidan dari kaca spion. Gadis itu mengira Fidan benar-benar menentang dan tidak mau pergi, nyatanya pria itu memiliki sisi lain yang disembunyikannya. Kak Fidan yang lucu!

Love Recall 24/7 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang