23. Gagal Fokus

65 19 1
                                    

Sesuai janji, sepulang dari kampus, Hari langsung datang ke Markas Sight. Pemandangan pertama yang dilihatnya ketika dipersilakan masuk adalah anggota Sight yang tidur di lantai ruang depan--kecuali Sahir di sofa--dengan dua buah kipas menyala. Mereka jadi terlihat seperti ikan asin yang dijemur.

"Bang ... kok tidur semua, sih? Kecapekan, ya, Bang?" tanya Hari ke Abri yang sudah mendudukkan diri.

"Ngantuk, Kak. Gue abis disuruh keliling lapangan tadi di sekolah," jawab Daarun.

Treesna menguap. "Capek banget gue. Biasanya kerja gitu-gitu aja, tadi tiba-tiba numpuk. Ya, salah gue juga, sih. Udah tahu mau manggung, tapi kerjaan ditumpuk."

Sahir yang biasanya tenang, kali ini terlihat gelisah. Pria itu berulang kali mengecek ponsel, tidur membelakangi, dan mengacak rambutnya sendiri. Begitu terus berulang. Laptop di depannya yang menyala membuat Hari tahu tanpa perlu dijelaskan.

"Biasa, anak semester akhir nungguin chat dosen," celetuk Abri seolah membaca pikiran Hari. "Fidan jangan ditanya. Tiap hari dia gitu, rebahan sambil main game."

"Lo, Bang? Bang Bri enggak kecapekan?" tanya Hari menyadari kantong mata Abri yang terlihat lelah dan lebih hitam dari biasanya. Ditambah sedikit bengkak membuat Hari menerka kalau pria itu habis menangis semalam.

"Gue? Aman, kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Abri. Pria itu langsung menyiapkan tempat untuk pengambilan video wawancara kali ini. Hari di belakangnya mencoba membantu.

Hari merasa kurang bersemangat saat ini. Gadis itu masih kepikiran mengenai teman lama Abri. Sekarang pun gadis itu menangkap gerak-gerik Abri yang terlihat gelisah. Pria itu memang tidak terus-terusan melihat ponsel. Namun, ketika ponselnya menyala, sorot mata Abri sesaat berubah. Mungkin karena gambar di layar ponselnya atau justru hal lain yang dilihatnya. Matanya sedikit berkaca dan embusan nafasnya terdengar berat. Tidak hanya itu, pria itu juga sesekali melirik ke arah pintu seolah menunggu seseorang datang.

"Bang Bri ... enggak apa-apa?" tanya Hari memastikan sebelum wawancara benar-benar dimulai. Gadis itu sendiri sebenarnya juga tidak baik-baik saja. Namun, tenggat waktu pengumpulan tugas yang sebentar lagi membuatnya tidak bisa menunda wawancara ini.

Abri tersenyum ke arah Hari dan mengangguk. "Aman. Mulai aja enggak apa-apa, Dek." Pria itu membuat seolah semuanya baik-baik saja dan seperti biasanya. Namun, Hari tetap merasa tidak nyaman.

"Oke, kita mulai, ya, Bang." Hari tersenyum ke arah kamera dan memulai wawancaranya. "Selamat sore, Kak. Perkenalkan, saya Hari, mahasiswa gizi semester 4. Ini dengan Kak Abri, ya. Kak Abri apa kabar?"

Wawancara dimulai dengan salam dan perkenalan. Semua berjalan lancar, kecuali Abri yang akan melirik ke arah pintu setiap kali pintu bergerak karena angin. Setidaknya hal itu dilakukan Abri sebanyak lima kali selama pengambilan video. Terkadang waktu Hari sedang berbicara atau ketika Abri sedang menjawab pertanyaan dan hal tersebut membuat Abri beberapa kali kehilangan fokusnya.

"Wawancara sudah selesai, ya, Kak. Untuk selanjutnya hasil nanti akan saya hubungi Kak Abri lagi. Terim ... a kasih, Kak." Suara Hari makin lirih karena di penutupan tersebut, fokus Abri teralih lagi ke arah pintu.

Kali ini bukan angin, melainkan pengantar makanan. "Run, ambilin, Run," perintah Sahir.

Tanpa penolakan sedikit pun, Daarun seperti terhipnotis dan beranjak untuk mengambil makanan yang sebelumnya dipesan oleh Sahir. Abri yang masih melihat ke arah pintu jadi tersenyum kecil dengan sorot mata yang lagi-lagi terlihat sedih. Abri menoleh ke Hari dan tersenyum. Namun, Hari membalasnya dengan tidak bersemangat.

"Gimana, Hari? Kayaknya tadi banyak yang salah, ya? Mau ada yang diulang?" tanya Abri. Pria itu mencoba bersikap seperti biasanya.

"Udah cukup, Bang. Nanti biar gue edit, Bang." Gadis itu cepat-cepat beranjak dan mulai membereskan ponsel yang semenjak tadi merekam. Hari tidak paham dengan perasaannya sendiri. Ia jadi merasa kesal karena semenjak tadi Abri memerhatikan hal lain--teman lama, pikir Hari--ketika sedang bersamanya. Keberadaan Hari seolah langsung lenyap hanya karena sebuah pesan. Hari jadi sedih sendiri memikirkan hal tersebut.

Abri tidak sempat membantu Hari membereskan peralatan. Pria itu hanya mengekor karena Hari yang bergerak begitu cepat.

"Hari! Bri! Ayo, makan dulu! Syukuran kita abis manggung kemarin. Syukuran nama baru Insight juga biar berkah," kata Sahir. Pria yang sebelumnya terlihat lesu itu sudah duduk sejajar dengan yang lainnya di lantai dan mulai menyiapkan makan siang hari ini.

Kesal Hari sedikit reda melihat keadaan di depannya saat ini. Hari mulai terbiasa makan dengan Sight. Gadis itu juga jadi paham peran setiap orang setiap kali waktu makan tiba. Daarun akan mengambil semua peralatan dan makanan. Sahir yang paling sigap mengambilkan nasi untuk semua orang, bahkan hingga mengambilkan lauk. Sight memang terbiasa masak nasi sendiri dan membeli lauk. Katanya lebih hemat, terlebih ada Abri yang tidak cukup hanya makan satu porsi nasi. Selanjutnya Treesna dan Fidan yang paling berisik setiap waktu makan, seperti menanyakan menu dan berkomentar apa pun. Abri berperan menjawab semua ocehan tersebut. Hari mendudukkan diri. Gadis itu semakin nyaman bersama Sight.

"Ayam! Banyak banget, Bang! Emang uang udah turun, Bang?" tanya Fidan.

Sahir tersenyum bangga, kemudian dagunya menunjuk ke arah Hari. "Tuh! Berkat manajer baru kita, uangnya bisa cepet diproses."

Hari tersenyum malu. Gadis itu memang sudah disibukkan dengan pesan dari penyelenggara acara festival kemarin mengenai negosiasi biaya penampilan Sight. "'Kan, lo juga, Bang, yang ngambil keputusan cepet tadi pagi. Gue cuma perantara. Lagian, Bang, gue masih ngerasa bersalah soal penampilan Sight di bank itu."

Sahir menghentikan aktivitasnya menyendok nasi dan beralih menatap Hari. Pria itu tampak terkejut karena sebelumnya berniat untuk menyembunyikan masalah tersebut.

Hari tersenyum. "Gue udah tahu, kok, Bang. Maaf, ya, Bang. Maaf juga Mas Tris, Bang Bri, Bang Dan, Daarun."

"Eh, emang ada apa, Bang?" Daarun bergantian melihat Hari dan Sahir kebingungan.

Sahir melanjutkan aktivitasnya tanpa menjawab. Pria itu justru mengalihkan pembicaraan. "Udah, nih, makan aja, Run. Udah, ayo makan aja! Hari makan yang banyak juga."

Perasaan Hari menghangat. Ia jadi tahu kalau Sahir memang seperti ini. Sebagai pemimpin, pria itu merasa bertanggung jawab atas semua hal dan jarang sekali melibatkan anggotanya ketika ada masalah. Ini memang tidak baik, tetapi mungkin memang seperti itu cara Sahir melindungi Sight.

"Btw, Bang, bio Insta kita masih alamat sini, 'kan?" tanya Abri ketika semuanya sedang menikmati makanan.

Dengan mulut penuh makanan, Daarun menjawab, "Masih, kok, Bang."

Abri mengangguk dan bergumam, "Okelah. Harusnya tahu, sih, kalau gitu."

Di sampingnya, Hari mampu menangkap gumaman tersebut. Rupanya memang itu alasan Abri berulang kali melihat ke arah pintu. Hari menghela nafas berat.

**

Jujur, gue kaget dan gatau harus bereaksi gimana.
Gue gatau harus seneng atau kesel.
Tapi kalo emang lo mau ngejelasin semuanya, gue mau dengerin.
Gue harap lo tahu kemana harus nyari gue, Brin.

**
😔😔😔
Maafkan kalo ceritanya kemana2 jadi gagal fokus eh huhuh
😔😔😔
Bingung sendiri sama alur cerita ini, tapi semoga tetep bisa dinikmati huhuh
😔😔😔
Makasih banyak sudah mampir

Love Recall 24/7 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang