SEPERTI yang Arash katakan, ia tidak pernah punya pengalaman dalam mendekati perempuan. Selalu pihak perempuan yang mendekati Arash terlebih dahulu, mereka bertanya nama, bertukar nomor sebelum kemudian bertukar desah. Arash, tidak pernah repot-repot memikirkan cara bagaimana agar ia bisa dekat dengan perempuan ini atau itu. Bukannya tidak gentle, Arah hanya merasa…, “kenapa gue harus effort buat dapetin perempuan sedangkan dengan diam pun gue udah bisa dapat perempuan yang paling cantik sekali pun?” Arash belum menemukan seseorang yang membuatnya ingin berusaha, seseorang yang membuat Arash merasa dia perlu mengeluarkan effort untuk mendapatkan perempuan tersebut. Seorang perempuan yang Arash anggap worth it untuk mendapatkan effort-nya. Seseorang yang layak untuk Arash usahakan.
Bertemu dengan Helza, bukan rencananya. Tertarik pada perempuan itu pun, bukan keinginannya. Helza memiliki daya tarik yang kuat, ada sesuatu yang perempuan itu punya sementara yang lain tidak. Sesuatu yang bahkan membuat Arash ditarik rasa penasaran begitu ia melihat dan mencium harum perempuan itu. Untuk pertama kalinya, tanpa ia sadari, Arash had to make an effort to be noticed. Dan itu karena Helza.
“Mam, I met with Helza and she asked if you were still looking to adopt a Husky?” tanya Arash begitu ia sampai di rumah dan menemukan Mama Erren tengah asik menonton drama India di kanal lokal.
“Suuureeee.” Wanita itu berdiri heboh dan segera menghampiri Arash. “Mama minat banget buat adopt Husky.”
“She asked your number.”
“Truss? Enggak kamu kasih, Rash? Dia enggak ada hubungi Mama, kok,” seldirik Mama Erren. “Kamu jangan ketus-ketus gitu, sih, sama Helza.” Terakhir kali mereka bertemu, Mama Erren sangat sadar bahwa Arash tidak bersikap baik pada perempuan itu. “Kalo kamunya ketus gitu mah dia nanti enggak mau main ke sini ah!”
“Aku enggak ketus,” bantah Arash. “Aku baru mau kasih nomor Mama ke dia sekarang.” Cowok itu berdehem. “Tadi hapeku habis baterai. By the way aku setuju buat adopt Husky tapi ada syaratnya.”
“IH! Syarat apaan? Mama enggak perlu izin kamu kok!” tolak Mama Erren, kok, ya, beli anjing harus izin anak segala. Kayak mau beli suami baru aja.
Arash mendelik. “Aku sendiri yang pilih Husky nya, Mama diem aja di rumah. Aku takut Mama salah pilih Husky, nanti malah kayak dia.” Arash menunjuk Merlyn. “Gede-gede bloon.”
Mama Erren hendak menyanggah tetapi kemudian diam karena Arash sudah lebih dulu naik ke tangga. “Oke, kamu yang pilih Husky nya ke sana. Ditemani Helza, tapi janji kamu enggak ketusin dia?”
Arash mengangguk tanpa menoleh. “Enggak ketusin, janji.” Cowok itu masuk ke dalam kamar, sambil bersiul Arash membersihkan dirinya.
Hilang sudah kantuk yang ia rasakan di sekolah tadi, alih-alih ngantuk, Arash malah merasa segar. Bahkan setelah selesai mandi, Arash turun kembali ke bawah, ia bermain dengan Merlyn dan juga anak-anaknya—yang di mana, hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sikap Arash membuat Mama Erren curiga, wanita itu memicing mata. Sepertinya kini ia mulai tahu, alasan Arash bersikap seperti itu. “Rash, sini. Temenin Mama nonton India.”
“Sorry?” Arash tidak tuli, ia hanya memastikan saja. benarkaj barusan Mamanya mengajaknya menonton India? Hey, yang benar saja!
“Sini temenin Mama nonton India!” ulang Mama Erren.
“Aku enggak tertarik, India itu lebai. Selera Mama nyari tontonan itu aneh,” ucap Arash sebal.
Mama Erren mendengus. “Aneh gimana, sih. Orang Helza dan Maminya juga seneng, kok, nonton India,” ucapnya diam-diam melirik Arash. “Emang seaneh itu ya nonton India di mata anak muda? Apalagi di mata remaja cowok? Kalo iya, berarti kasian Helza, dia mungkin enggak akan dapet cowok yang satu frekuensi. Pas ketemu di petshop, tuh, dia ada bilang, pengen punya pacar yang sama-sama suka nonton drama India. Wah, kasihan dia.”