“CERITAIN ke gue, kenapa bisa lo dianter Arash ke sini?” todong Aruna begitu mereka duduk di salah satu meja caffe. Sebenarnya, sudah sejak tadi Aruna merongrong Helza dengan pertanyaan yang sama, tetapi karena Helza ingin fokus berburu makeup, jadi ia abaikan. Sekarang, tidak ada lagi alasan bagi Helza untuk menghindari pertanyaan itu. “Za serius, kok bisa?!”
“Atas permintaan nyokapnya, gue disuruh temenin Arash buat—"
“Wait, wait, wait.” Aruna melotot. "Nyokapnya?! Nyokap Arash maksud lo?”
“Ya iya, ini kita lagi ngomongin Arash kan?” Helza jarang sekali mendelik, tetapi jika berhadapan dengan Dara dan Aruna, mata Helza bisa jadi juling karena terlalu sering mendelik atau berputar. “Lanjut, lo jangan nyela dulu, atau lo gue jual ke gigolo,” ancamnya berhasil membuat Aruna bungkam.
Sesingkat mungkin, Helza menceritakan pertemuannya dengan Tante Erren di pet shop sampai ditahap ia dan Arash yang kini berteman.
“Za, gue tahu lo orangnya peka dan pintar. Lo enggak mungkin enggak ngeh kan kalo Arash suka sama lo?” tanya Aruna setelah cerita Helza usai.
Bohong jika Helza tidak menyadari sinyal-sinyal Arash kepadanya. Helza terlalu berpengalaman untuk tidak menyadari bahwa Arash tertarik kepadanya. Hanya tertarik, tidak suka seperti yang Aruna sebutkan
Banyak cowok yang mendekati Helza karena tertarik. Tertarik mengajaknya tidur, bagaimana Helza tahu? karena mata cowok itu hanya tertuju pada dada dan bokongnya saja, bahkan di pertemuan pertama mereka. Kadang, beberapa cowok secara terang-terangan menyeret Helza ke kamar, meski berujung ke IGD karena Helza menendang pusaka mereka. Arash, sedikit berbeda. Mata cowok itu selalu tertuju ada mata Helza dan bibirnya, at least, cowok itu konsisten sampai hari ini. Dan hal itu yang membuat Helza tidak keberatan berteman dengan Arash.
“Nggaklah, dia nggak suka gue, dia punya Auris,” bantah Helza. Perempuan itu menyeruput vanila latte yang ia pesan, sementara Aruna mulai melahap croissan yang sejak tadi ia incar.
Aruna mendesis gemas. “Percaya sama gue, dia suka sama lo. enggak mungkin dia nonton India sama nyokap lo secara tiba-tiba, dia pasti udah prepare sebelum jemput lo. Seniat itu dia deketin lo, Za. Dan kata lo tadi, Arash sama Auris cuma pura-pura tunangan. Gas aja, sih bego. Kapan lagi lo dapet cowok ganteng, wangi, bule, tinggi, kaya lagi. Dan yang penting, dia sekarang jadi Bollywod till die kayak nyokap lo, yakin deh, nyokap lo enggak akan ngelepasin Arash. Beliau mungkin udah bersiap sebar undangan sekarang.”
Helza memutar bola mata mendengar ucapan Aruna. “Stop bahas Arash, Na. gue sama dia cuma temenan.”
Aruna menjentikkan jari. “Justru itu, Za. Sebelumnya lo enggak pernah mau temenan sama cowok, dan sekarang, lo dengan mudah berteman sama Arash. Gue tau, ada sesuatu perbedaan antara Arash sama cowok lainnya. Atau mungkin perasaan lo aja yang rada khusus buat Arash. Kayaknya, dia bisa, deh, Za, dijadikan percobaan selanjutnya. Siapa tahu lo bisa sembuh kalo sama dia.” Aruna tersenyum menyebalkan.
“Arash beda, Na. Meskipun aroma bajingannya bisa terendus, entah kenapa gue punya feeling kalo dia enggak sama seperti cowok lain, dia enggak bisa dijadiin percobaan, gue enggak akan tega, deh.”
“Arash beda karena dia beneran suka sama lo, jangan denial ya bitch!” seru Aruna ketika Helza hendak membantah. “Kenapa lo enggak tega jadiin dia kelinci percobaan kayak cowok-cowok sebelumnya, itu karena lo juga suka sama dia, Za. Makanya lo enggak tega. Lo bakal ngerasa bersalah kalo misal masih gagal setelah nyoba sama Arash,” kata Aruna. “Arash tuh baik gak sih? Eh pasti baik sih, I mean, dia emang sependiem itu ya?”