Haii, lama tidak update di sini.
Apa kabar?
Oh ya, sebelum baca bab ini, aku sarankan baca bab 15 lebih dulu supaya enggak lupa jalan ceritanya, ya^^
Sorry for typos and happy reading luv
***
“ARASH, mama baru aja selesai telepon orangtuanya Auris.” Arash baru saja duduk di meja makan untuk menyantap sarapannya ketika Mama Erren berujar seperti itu. Arash tahu arah pembicaraan ini, tetapi memilih tetap bungkam agar Mamanya melanjutkan pembicaraan. “Mama ajak mereka buat ketemu Sabtu malam nanti untuk bicarakan pembatalan perjodohan kamu dengan Auris.”
Arash terkejut meski wajahnya tetap tenang, ia pikir, perjodohannya dengan Auris akan tetap berlanjut, mengingat Mamanya yang beberapa bulan terakhir selalu mencekoknya untuk menerima perjodohan itu.
“Dibatalin?”
“Terus, kamu maunya gimana? Mau tetap dijodohin sama Auris padahal kamu cinta banget sama Helza?”
Kali ini, Arash tidak lagi menahan rasa terkejutnya. Itu jelas terlihat dari mata birunya yang membulat.“Aku apa? Cinta sama siapa?”
Mama Erren berdecak. “Sama Helza. HEL-ZA. Udahlah gak usah pura-pura, atau menyangkal perasaan kamu sama Helza. Mama lihat dengan mata kepala mama sendiri, gimana kamu ngebet sama dia.” Kurang lebih delapan belas tahun mengurus Arash, tentu Mama Erren tahu ketika anaknya tertarik pada sesuatu. Arash anak yang cenderung jarang mengatakan apa yang ia mau, tetapi Mama Erren hafal betul, jika Arash menatap sesuatu atau seseorang lebih dari lima detik, atau bahkan berperilaku menyimpang—seperti menonton drama India—itu sudah jelas membuktikan bahwa anaknya benar-benar tertarik pada Helza.
“Kamu ini, kalau memang enggak suka sama Auris, kenapa enggak nolak aja, sih, Rash? Mama kan cuma berniat menjodohkan, tetapi kalau kamu enggak suka atau kamu sukanya sama cewek lain, mama enggak akan lanjutkan perjodohan ini.”
Arash berdeham, lalu menjelaskan tentang fakta bahwa sebenarnya ia dan Auris hanya berpura-pura menerima perjodohan agar baik Mama Erren atau Mama Auris tidak lagi berisik dan mendesak mereka untuk bertemu.
“Astaga, Mama jadi kayak ibu-ibu jahat yang maksa anaknya buat nikah tanpa cinta, deh.” Mama Erren cemberut. “Jadi..., harusnya enggak akan ada masalah, dong, ya, kalau Sabtu nanti kita bicarain pembatalan perjodohan kalian?”
Arash mengangguk. Tentu saja tidak akan ada masalah, ia dan Auris hanya berpura-pura saja. Tidak akan ada drama di mana Auris akan menangis dan memohon agar perjodohan mereka dilanjutkan. Auris terlalu sibuk mengurus Henky.
“Mama lega banget, ternyata kamu suka sama cewek.”
Arash mengangkat sebelah alisnya.“Maksud Mama?”
“Yah sebenarnya Mama sempet mikir kalo kamu itu suka sama sesama jenis. Habis kamu enggak pernah tuh bawa cewek ke rumah, padahal mama gak pernah larang kamu pacaran.” Meski tinggal di Indonesia, gaya hidup Arash dan keluarga tetap condong ke barat. Mama Erren tahu, anaknya sudah dewasa, dan Mama Erren yakin Arash bisa bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Jadi, Mama Erren membebaskan gaya hidup Arash, dengan catatan, tidak menyentuh narkoba dan membunuh orang. “Mama sampai bertanya-tanya, apa enggak ada cewek yang bikin kamu tertarik, atau cewek yang enggak tertarik sama kamu karena kamu kayak kanebo kering?”
Arash mendengus pelan, Mamanya tidak tahu saja bahwa ada belasan cangkang kondom yang pernah Arash sobek. Meski tidak pernah membawa perempuan ke rumah, bukan berarti Arash tidak berurusan dengan perempuan.
“Syukurlah sekarang kamu suka sama Helza, meskipun kayaknya Helza enggak suka kamu.” Ugh, kata-kata yang tepat jika Mama Erren ingin melukai harga diri Arash. “Selain nonton India, usaha apa lagi yang udah kamu kerahkan buat dapet perhatian Helza?”