JIKA dalam kondisi biasanya, Arash sudah pasti akan menyeret perempuan yang kini berciuman dengannya ke sebuah kamar. Tidak peduli perempuan itu mabuk atau tidak, tidak peduli perempuan itu mengizinkan atau tidak, ketika mereka melemparkan diri pada Arash, itu artinya mereka sudah mengerti bahwa mereka akan Arash tiduri.
Kali ini, sedikit berbeda. Tidak, sejak awal, Helza memang selalu jadi pengecualian dari kebiasaan-kebiasaan Arash. Contohnya seperti sekarang, alih-alih membawanya ke kamar dan menidurinya seperti yang Arash inginkan sejak pertama melihat Helza, Arash malah berhenti tepat setelah ia meninggalkan jejak basah yang segera menjadi merah di leher Helza.
Silakan tepuk tangan untuk Arash yang bisa mengendalikan diri padahal adik kecilnya sudah berontak minta dikeluarkan. Kalau Alex tahu bahwa Arash bisa berhenti di saat sedang nafsu-nafsunya, mungkin saja Alex akan membuat nasi kuning untuk syukuran.
“Enough.” Arash menangkup wajah Helza yang memerah dengan tangannya yang besar. Aneh, bagaimana bisa wajah kecil Helza tampak begitu cocok dalam rangkuman tangannya. Arash menyukai ini. “Gue anter lo pulang.”
Helza menggeleng. “Bawa gue ke mana pun, asal jangan pulang ke rumah.”
Tidak mungkin membawa Helza ke rumah Arash dalam kondisi mabuk dan penuh cupang, Mama Erren pasti akan syok.
Arash menurunkan Helza dari pangkuannya, ditidurkannya perempuan itu di atas sofa dengan posisi nyaman. “Tunggu di sini, gue pinjem apartemen Alex.”
Setelah memastikan Helza berbaring nyaman, Arash segera keluar mencari Alex. Tidak sulit menemukan cowok itu, di mana ada tempat perempuan berkerumun, sudah pasti di situ ada Alex.
Berhasil mengantongi kartu akses apartemen, Arash kembali ke ruangan Alex. Begitu masuk, Arash terkejut sampai bola matanya nyaris keluar, Arash berlari menuju Helza selagi membuka jaketnya.
“Kenapa lo buka baju?!” hanya tersisa bra dan panties, dress Helza sudah berhasil dilepas. Sungguh, meski ingin menelanjangi Helza, namun Arash tidak mau kalau begini caranya.
Helza mengintip Arash dari matanya yang semakin sayu. “Gerah.” Ia terkekeh melihat Arash yang tampak panik menutup tubuhnya dengan jaket.
Tidak cukup besar untuk menutupi seluruh tubuh Helza dengan jaketnya, Arash lalu meraih selimut yang terlipat di ujung sofa. Terlalu lama jika harus membantu perempuan itu memakai dress, Arash tidak bisa janji bisa menahan diri lebih lama lagi. Jadi menggulung perempuan itu secepatnya adalah keputusan terbaik.
“Gue bisa gila!” Arash mendudukkan Helza, hendak menutup tubuhnya dengan kain selimut ketika matanya tidak sengaja melihat goresan-goresan luka juga beberapa bagian kulit yang terkelupas di bagian lengan, dada, juga perut Helza.
Apa yang sudah perempuan itu lakukan? Mengapa badannya penuh luka? Siapa yang melakukannya?
Pertanyaan itu berkecamuk di kepala selagi Arash meneruskan apa yang ia kerjakan, selesai menggulung Helza serapat mungkin, hingga terlihat seperti kepompong raksasa, Arash membopong perempuan itu keluar melalui jalan evakuasi.
***
“Ssshhh.” Helza mendesis perih dalam tidurnya ketika Arash mengoleskan obat merah pada beberapa bagian tubuhnya yang terluka, tadi, Arash sempat menyeka badan Helza dengan air hangat dan antiseptic. Namun, melihat luka Helza yang cukup dalam, Arash akhirnya memutuskan untuk mengobati seadanya saja.
“Aaaww, perih,” rintih Helza lagi. Tangan Arash berhenti, beralih mengusap kening Helza agar perempuan itu kembali tidur. Setelah mata Helza tertutup, Arash kembali mengolesi kulit putihnya dengan pelan dan hati-hati, namun hal sama terulang kembali. Helza meringis dan sesekali terbangun saat cutton bud yang Arash gunakan menyentuh lukanya, dan Arash harus menenangkan Helza sampai perempuan itu kembali menutup mata. Terus begitu sampai akhirnya Arash selesai mengobati lukanya.