Karena lumayan banyak pembaca lain yang gak bisa buka bab 18, jadi aku update ulang di laman baru.
Kalo pakai laman baru masih enggak bisa dibuka juga, sabar aja ya, mungkin Wattpad lagi down.
***
KARENA mama Erren sedang ke luar untuk membeli stok makanan Merlyn, Arash jadi tidak kesulitan untuk membawa dua anjing kecil yang gendut untuk ia masukan ke dalam pet cargo. Selagi mempersiapkan anjing yang hendak ia bawa, tidak henti-hentinya Arash mengumpat diri sendiri atau sikap impulsifnya yang mencium Helza.
Apakah Arash menyesal?
Tentu tidak. Yang benar saja. Justru, karena sudah mencicipi sedikit, kini Arash menginginkan lebih. Meski tahu bahwa Helza mungkin kini sedang marah padanya, Arash tidak menyesal. Hanya saja ia sedikit cemas, apakah Helza akan menjauhinya?
Kini, Helza sedang di kamar Arash setelah ia menyuruh perempuan itu untuk berganti pakaian. Ada setelan training yang pernah Arash beli melalui online. Karena salah ukuran, sepertinya itu akan cukup jika Helza yang memakainya.
Selesai menyimpan pet cargo di mobil, Arash masuk ke dalam rumah. Hendak naik ke kamar ketika ternyata Helza sudah lebih dulu keluar dan kini sedang menuruni tangga.
Perempuan itu menatap Arash lalu sedikit menyeringai. Mungkin, melihat Arash yang berdiri menunggunya dengan wajah cemas menjadi hiburan untuk Helza.
Berdehem, Arash hendak meminta maaf karena sudah mencium perempuan tanpa izin. Baru saja mulutnya terbuka, Helza sudah lebih dulu melengos pergi seraya berkata. “Yuk berangkat, sebelum si Dara tantrum.”
Arash terdiam menatap Helza yang tenang-tenang saja. Perempuan itu tidak marah, tapi tidak senang juga. Helza bersikap biasa tapi ada sesuatu yang beda.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan kemudian diam. Arash melirik Helza yang tengah sibuk dengan ponselnya. Sesekali perempuan itu terkekeh saat mengetik sebuah pesan.
Helza mengabaikan Arash seperti mereka tidak pernah berciuman saja.
Tidak mau diabaikan lebih lama, Arash akhirnya berbicara. “Hubungan gue sama Auris, enggak seperti yang lo pikirkan, as you know, gue sama dia cuma pura-pura.”
Helza mengangguk. “Gue tahu.”
“Lo tahu, tapi kenapa lo nolak gue dan bilang kalo lo enggak mau ciuman sama orang yang punya tunangan. I mean–“
“Gue nolak ciuman sama lo karena gue juga baru ingat, gue punya cowok. Enggak seharusnya gue bercanda kayak tadi. Sorry, ya,” sela Helza.
“Bercanda?” beo Arash tidak menyembunyikan kekecewaannya.
“Lo tahu kan, gue cuma bercanda pas ngegoda lo tadi. Gue enggak nyangka lo beneran bakal cium gue.” Helza meringis saat ia menatap Arash. “We’re friends, and friends don’t kiss.”
“But we did.” Arash mencengkeram erat kemudi.
“Forget it.” Helza tersenyum tenang seperti tadi. “Why should we argue over a meaningless kiss?”
Arash tidak lagi mendebat, ia fokus mengemudi sementara Helza berkutat dengan ponselnya.
Ya, benar, lupakan saja ciuman yang tidak ada artinya itu. Arash bahkan tidak kesulitan melupakan malam-malam panas yang pernah ia lewati dengan banyak perempuan.
Lalu mengapa sekarang ia merasa tersinggung ketika Helza menyuruhnya untuk melupakan ciuman mereka?
Mengapa rasanya Arash tidak terima?