Bab 22

1.7K 157 5
                                    

mohon bantuannya ya guys, jangan dibawa ke real life ini hanya cerita fantasi.

.

.

Karena dua hari berturut-turut makan makanan pedas, perut Grisea akhirnya mules. Ayam geprek yang dibelinya bersama Shilla tidak begitu berefek sebetulnya tapi tadi malam  Grisea membeli seblak level dewa.

Terhitung sudah enam kali dia bolak-balik kamar mandi dan rasa mules di perutnya belum menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda. Grisea pun keluar rumah, berniat membeli obat. Dia sudah minta dibelikan oleh Mamanya namun beliau tidak kunjung kembali karena sekalian mengantar Dinantara ke taman kanak-kanak. Sepertinya ngerumpi dulu dengan ibu-ibu lain yang sama-sama mengantarkan anak mereka.

Salah satu hal yang Grisea sesali dalam hidup adalah dia tidak bisa naik motor atau bahkan mobil. Dulu pernah diajari naik motor tapi jatuh dan sejak saat itu dia trauma untuk belajar mengendarainya lagi. Di saat-saat genting seperti ini, dia tidak bisa mengandalkan tukang ojek karena akan lama menunggu.

Alhasil Grisea nekat jalan kaki ke rumah Bu RW. Ingin minta diantar oleh Fariz yang saat ini sedang melakukan sesi peregangan di depan gerbang.

"Napa lo? Belum makan sejak kemarin?" Fariz  bertanya begitu sebab Grisea memegangi perutnya dengan wajah meringis.

"Perut gue sakit abis makan seblak."

"Sok banget sih, udah tahu nggak kuat makan pedes."

"Ketimbang ngehujat gue, mending lo beliin gue obat, Yan. Gue udah nggak kuat."

Fariz menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jujur aja motor gue nggak ada bensinnya, Gri."

Cobaan hidup memang ada-ada saja.  Grisea akhirnya berjalan kembali dan hendak pergi ke apotek di luar area komplek mereka. Ingin meminta bantuan Tian atau Akas tapi dua cowok itu sedang melakukan sesi pendekatan dengan alam alias naik gunung bersama anak pencinta alam lainnya. Semoga perutnya bisa diajak kompromi. Kan tidak lucu kalau mendadak Grisea ingin buang air besar di jalan.

Si kampret Fariz tiba-tiba melambaikan tangan kepada Devan yang keluar rumah dengan mengayuh sepedanya.

"Si kecil makin aktif aja ya, Bun."

Bukan Fariz namanya kalau tidak berceletuk sesuka hati.

"Semangat gowesnya, Mas. Fariz doa'in semoga cepat pulih sperti sedia kala, tapi lebih Fariz doa'in kalo Mas Devan batuin Gri."

Grisea memutar badannya karna ucapan temannya tersebut dan beradu pandang dengan Devan sejenak sebelum laki-laki itu kembali memandangi Fariz.

"Gri kenapa?"

"Mencret," seloroh Fariz enteng dan membuatnya terkena lemparan sandal tepat mengenai punggung. grisea pelakunya.

"Congor lo bisa dikondisiin nggak, Rizz?!"

Grisea malu.

"Emang bener, kan? Minta tolong beliin obat, Mas. Kasihan tuh masa mau jalan sampai apotek depan komplek. Apa nggak keburu cepirit di tengah jalan."

Sebenarnya bisa saja Fariz yang berlari menuju ke apotek sekalian olahraga tapi memang dasarnya dia tidak mau membantu temannya yang sedang kesusahan.

"FARIZZ?!"

"Gue lagi bantuin lo, anjir! Makasih kek!"

Devan pun mengayuh sepedanya kembali hingga sejajar dengan Grisea. "Pulang gih. Nanti saya anterin obatnya ke rumah kamu."

"Nggak usah."

"Yakin sanggup jalan dan beli sendiri?" Sebelah alis Devan terangkat. "Kalau nggak mau dibantu juga nggak papa sih. Saya nggak maksa. Kan katanya kamu nggak suka dipaksa atau disuruh."

Mas Duda (DelGre)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang