Bab 44

804 108 8
                                    

mohon bantuannya ya guys jangan dibawa ke real life ini hanya cerita fantasi.

.

.

Keesokan harinya Devan tidak membalas sama sekali segala pesan yang Vano kirimkan padanya. Dia juga mengacuhkan sang asisten pribadi sekaligus sepupunya itu saat di kantor. Devan benar-benar menganggapnya seperti sebuah manusia transparan yang tidak terlihat.

Tapi bukan Vano namanya jika dia tidak terus merecoki sang sepupu. Vano terus membuntutinya bahkan menahan Devan yang hendak keluar dari ruang meeting.

"Minggir."

Vano merentangkan kedua tangannya membelakangi pintu.

"Jawab dulu, semalem gue ngapain aja? Gue nggak ngelakuin hal aneh, kan? Gue nggak bikin masalah, kan? Dan ...kenapa gue nelpon Leya?"

tanya Vano yang melirih di akhir kalimat. Apalagi saat menyebut nama mantan istri Devan.

Devan menonjolkan lidahnya ke pipi bagian kanan lalu memutar bola matanya sinis.

"Besok-besok lagi jangan minta gue buat nemenin lo! Badan gue dinodai abis-abisan sama lo!"

"Maksudnya?!"

"Lo beneran nggak inget?"

"Kalau inget, gue nggak bakalan nanya!"

Sejujurnya Devan malas mengatakannya tapi dia perlu mencurahkan segenap emosi yang sudah ditahannya sejak semalam. "Lo grepe-grepe badan gue dan yang lebih parah lagi lo cium pipi gue, VAN! PIPI GUE!"

"Lo masih suka cewek, kan ?"

"Pertanyaannya harus gitu banget?!" Vano mendelik. "Masihlah. Ya...ya sori deh. Gue kan mabuk. Mana sadar."

"Maaf lo itu nggak bikin badan gue jadi suci lagi?!"

"Terus mau gimana??? Mau gue beliin kembang tujuh rupa buat lo mandi???"

Vano lantas mengurut dahinya. Kepalanya masih sedikit terasa pening dan jika saja Devan membalas segala pesannya tadi pagi, pasti dia akan memilih tidak berangkat kerja.

"Nggak usah," jawab Devan dengan nada merajuk seperti seorang pacar yang baru saja dikecewakan.

"Soal...Leya?"

"Lo sendiri yang nelpon dia"

"Gue nggak sadar sama sekali sumpah."

"Ya kan lo teler, BEGO!"

"Maksudnya gue nggak ada niatan mau gimana-gimana."

Sebelah alis Devan terangkat. "Mau gimana-gimana juga bukan urusan gue, Van."

"Tapi-" Vano hendak membahas soal ucapan Janitra yang berkata jika Leya sampai ikut membawanya masuk ke dalam rumah. Sayangnya Devan segera menghentikan ucapannya.

"Bukan urusan gue,” ujar Devan sekali lagi.

Badan Vano lantas menepi bersamaan dengan Devan yang mendesaknya untuk mundur lalu membuka pintu dan keluar dari sana. Dia benar-benar tidak ingin mendengar apa-apa sama sekali.

Pertemuannya dengan Leya tadi malam terus menghantui pikirannya. Itu adalah kali pertama mereka bertemu selepas perceraian. Dan tadinya Devan selalu berpikir jika rasanya pasti akan sangat menyesakkan untuk melihat wajah itu kembali. Tapi ternyata tidak.

Perasaannya terlalu campur aduk untuk dijelaskan tapi yang pasti dadanya tidak terasa sesak. Mungkin benar kata Pamungkas, if you love somebody, gotta set them free.

Langkahnya kemudian terhenti karena teringat sesuatu. Devan menolehkan kepala. "Lo udah boongin gue soal tips buaya lo itu. Awas aja lo."

Vano meringis. Dia pikir Devan akan mengalami mental breakdown sebab kebodohannya dalam menghubungi Leya semalam. Namun nyatanya tidak. Devan terlihat santai-santai saja. Dia bahkan malah membahas soal tips yang Vano janjikan padanya tentang cara mendekati Grisea.

Mas Duda (DelGre)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang