Prolog

11.9K 230 9
                                    

Jakarta, Indonesia
2018


Pukul tiga sore, seorang pria berusia paruh abad terlihat keluar dari Mercedes Benz S-Class berwarna hitam yang dikendarai oleh supir. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat menuju konter reseptionis di salah satu rumah sakit besar di Jakarta Selatan—yang kebetulan dekat dengan kediamannya dan meninggalkan anak-anaknya yang sedang bersiap untuk pergi makan malam. "Saya mencari pasien yang dirawat di suite room. Apakah saya bisa mendapatkan nomor kamar perawatannya?"

Mata perawat tersebut tak berkedip saat melihat pria yang berbicara dengannya dan langsung mengalihkan pandangan ke layar komputernya. "Baik, Pak. Siapa nama pasiennya?"

Lelaki itu langsung meminta kertas dan menuliskan nama pasien yang dimaksud dengan cepat, lalu menyerahkan kertas itu pada perawat. "Hiram Soerjapranata."

Setelah mendapatkan instruksi dari perawat, pria itu berjalan hingga ia sampai di suite room. Matanya menangkap pemandangan seorang pria yang duduk dari ranjang rumah sakit dan langsung tersenyum begitu melihat kedatangan temannya.

"Hai Remus! Aku kira kamu bercanda saat kamu mengatakan kamu berada di Jakarta. Kirana sedang mengajak Anindya makan siang di PIM dan membelikan titipanku juga." ucap Hiram saat ia menyadari teman dekatnya itu datang dan berdiri terpatung dari dekat pintu. "Remus, aku tidak bisa menghampirimu."

Remus Wiradikarta pun tidak sadar bahwa ia sudah melihat temannya dalam kondisi yang tidak seperti biasanya. Ia langsung melangkahkan kakinya untuk mendekati lelaki tersebut. "Oh, ya. Maaf."

Hiram Soerjapranata sudah menjalani hidupnya dengan baik. Anak tunggal dari seorang ayah yang berprofesi sebagai dokter bedah terbaik di Indonesia, bahkan Asia Tenggara—yang menempuh pendidikan di Amerika Serikat dan mendapatkan pengakuan dari Presiden Indonesia, dan juga, ibu yang belajar arsitektur sembari menekuni hobi membuat pakaian. Latar belakang orang tua yang menarik tersebut membuat Hiram memilih untuk kuliah arsitektur dan perencanaan kota, lalu menjadi arsitek sembari mengelola kekayaan keluarganya. Setelah selesai studi, Hiram menikah dengan teman kecilnya, Kirana Hadiwiryono, seorang arsitek lanskap dari keluarga ningrat dan salah satu putri dari pria yang beberapa kali menjabat sebagai menteri di kabinet.

Sementara Hiram bertemu Remus, yang saat itu menjadi putra dari keluarga diplomat yang belajar Hubungan Internasional, saat mereka melanjutkan studi di Oxford dan berujung menjadi teman yang sangat dekat. Saking dekatnya, Hiram hanya memikirkan Remus saat kondisinya tak lagi berada dalam kondisi prima dan mengundangnya untuk datang ke suite room, tempat Hiram menjalani perawatan, hanya untuk memberikan sebuah pengumuman. 

"Aku akan meninggal."

"Aku tidak diundang untuk mendengarkan kata-katamu itu."

"Sungguh, Remus. Aku akan meninggal."

"Kenapa kamu mengatakan dengan seyakin itu?"

"Kankerku sudah stadium empat, Remus. Hanya Kirana dan, sekarang, kau yang tahu."

"Berarti Anindya tidak tahu?"

Kedua lelaki itu langsung bertukar pandang saat Remus menanyakan putri tunggalnya Hiram. Giandra Euphrasia Anindyaswari Soerjapranata—sebenarnya nama panggilannya adalah Giandra, namun orang tuanya, dengan penuh kasih dan melihatnya sebagai penyempurna, memanggilnya Anindya. Hiram merasakan bahwa hatinya memikirkan apa yang akan terjadi pada Kirana dan putrinya setelah ia meninggal dan Hiram sudah memikirkan itu dalam waktu lama. Pengobatannya di Singapura beberapa tahun sebelumnya memang berhasil, namun ia tak memprediksi bahwa Hiram kembali dikunjungi oleh teman lama. 

Nama teman lamanya adalah kanker paru-paru. 

"Anindya hanya tahu kalau ayahnya di rumah sakit karena terjatuh di garasi dan aku sudah berjanji padanya untuk mengantarkannya ke ITB di Mei nanti!" ucap Hiram dengan perasaan senang. "Lumayan aku masih bisa hidup setahun lagi."

"Kamu pikir setahun itu cukup?" Remus kembali mempertanyakan perkataan temannya dan melotot. "Jangan berobat di Indonesia, Hiram. Temui ayahmu di Singapura, berobat ke Jerman, atau apalah ... pokoknya kamu harus memperpanjang durasi hidupmu."

"Kalaupun aku pergi lebih dahulu, setidaknya Anindya akan cepat mengerti."

"Apa kamu tidak mau melihat putrimu lulus? Mendapatkan pekerjaan pertamanya? hingga memperkenalkan pacarnya yang baik padamu?"

"Remus, aku percaya Anindya akan memiliki hidup yang sangaaaaaat baik. Aku tidak akan membiarkan putriku memiliki pacar yang jelek rupa dan jelek sifat—jika sampai terjadi, aku akan mengentayangi cowok jelek itu."

Ia melihat Hiram tertawa kecil, namun Remus sendiri heran karena melihat temannya ini mengatakan hal yang positif, bahkan saat hidupnya merasakan kemalangan yang besar. 

"Bahkan kamu masih berpikiran sepositif ini saat membicarakan putrimu," ucap Remus dengan perasaan pasrah dan nada lirihnya, "sementara aku akan kehilangan teman lagi."

"Aku tidak pernah salah menilaimu sejak pertama kali bertemu di Oxford." Hiram mengatakannya sembari menaikkan sedikit ujung bibirnya. Jemarinya langsung mengambil buku catatan yang tergeletak di atas meja samping ranjang rumah sakit dan juga kacamata khasnya. "Well, aku akan memberitahu sesuatu, tapi aku punya permintaan untukmu."

TBC

nas's notes: hi, I'm back! 

Published on June 17th, 2024

The InheritanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang