Chapter 1 : Pertanyaan

83 4 0
                                    

"HAAA!!!"

Suara pasukan bergemuruh memenuhi udara, menggetarkan bumi di bawah kaki kami seperti gempa yang tak berkesudahan.

Aku menunggang kuda dengan gagah berani, memacu binatang itu secepat mungkin, merasakan angin yang menyayat wajahku. Dengan pedang tajam di tangan, kutebas setiap musuh yang mendekat tanpa belas kasihan, seolah-olah setiap tebasan adalah tarian kematian.

Namun, keberanian itu membuatku lengah, dan dalam sekejap mata, seseorang berhasil menjatuhkanku dari pelana, menyeretku dari puncak kemenangan ke dasar tanah. Kini ia berada di atasku, tatapan matanya penuh dendam dan kemarahan, siap menghabisiku dengan satu tebasan tajam.
.
.
.
.
.
.

Hari itu, di padang rumput yang luas dan hijau, suara derap ratusan kuda dan langkah ribuan prajurit memecah kesunyian pagi, seperti irama peperangan yang telah lama dinantikan. Mereka bergerak bersama, mengenakan zirah besi yang berkilauan di bawah sinar matahari, menuju medan pertempuran dengan semangat yang membara.

Aku mengendarai kuda Arabian dengan bulu putih yang menawan, berjalan dengan anggun di antara para prajurit lainnya, merasa bangga dengan tungganganku. Meski tidak sekuat kuda perang pada umumnya, kuda Arabian ini terkenal akan kecepatannya yang luar biasa, itulah mengapa aku memilihnya sebagai tungganganku dalam pertempuran ini.

Setibanya di medan pertempuran, pasukan kami berhenti, berhadapan dengan musuh yang sudah siap siaga dengan wajah penuh tekad. Kutatap wajah-wajah mereka satu per satu, mencari tanda semangat atau keberanian, tetapi yang kulihat hanyalah ketakutan dan keputusasaan yang menghantui setiap langkah mereka. Mereka adalah pasukan dari kerajaan kecil Dondonov, sebagian besar petani yang dipaksa berperang, dan hanya sedikit dari mereka yang benar-benar terlatih, apalagi yang menguasai sihir.

Sebaliknya, kami adalah pasukan dari kerajaan elit Gatarta, sebuah kekuatan yang tidak bisa diremehkan dan dihormati oleh banyak kerajaan.

Komandan dari kedua belah pihak maju ke depan untuk melakukan negosiasi, berharap bisa menyelesaikan konflik tanpa pertumpahan darah yang sia-sia. Namun, musuh menolak menyerah begitu saja, dan komandan kami, Dyrus, kembali dengan wajah tegang dan penuh kekecewaan.

"Negosiasi gagal. Semuanya bersiap untuk menyerang!" perintahnya tegas, menghunus pedangnya tinggi-tinggi sebagai tanda kesiapan.

Para ksatria mengeluarkan pedang mereka, pemanah menyiapkan busur dan anak panah, serta penyihir bersiap dengan mantra-mantra mereka yang mematikan. Kami bersiap untuk pertempuran besar ini, merasakan keheningan yang mencekam menyelimuti medan perang sejenak sebelum akhirnya...

"SERANG!!" teriak komandan Dyrus dengan suara yang menggelegar.

"HAAA!!!" teriak seluruh pasukan serempak, semangat membara di dalam dada yang siap meledak.

Pertempuran dimulai dengan keganasan yang tak terbendung. Pasukan kami bergerak maju, menerjang musuh dengan kekuatan penuh dan determinasi yang tak tergoyahkan. Suara benturan pedang, dentingan anak panah, dan jeritan kesakitan menggema di udara, menciptakan simfoni kekacauan yang memekakkan telinga. Aku menyerang dengan brutal, menebas siapa saja yang mendekat dengan penuh amarah.

"Penyihir! SERANG!!"

-Splash!! -Boom!!

Sihir melesat dari tangan penyihir kami, menghancurkan barisan musuh, memudahkan kami para ksatria untuk menyerbu lebih dalam dan membuat kekacauan semakin menjadi-jadi. Aku mengambil kesempatan itu, menyerang tanpa henti, dengan setiap tebasan menjadi lebih ganas dari yang sebelumnya.

-Swishh

Pedangku menebas musuh demi musuh, darah mengalir seperti sungai di medan perang. Kuda putihku menderu, membawaku melaju di tengah medan perang yang dipenuhi mayat. Setiap ayunan pedangku mengakhiri nyawa, dan aku merasakan adrenalin mengalir deras di setiap detik.

Namun, di tengah euforia itu, aku lengah. Seseorang berhasil menjatuhkanku dari kuda dengan kekuatan yang mengejutkan.

Aku terjatuh ke tanah dengan keras, ia menindihku dengan wajah penuh amarah yang membara. Ia mengangkat pedangnya, siap menikam jantungku dengan kebencian yang mendalam.

Dengan cepat, aku mengayunkan pedangku, berhasil menjatuhkan pedangnya dengan sekali tebas. Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga, membalikkan posisi kami. Saat aku hendak menusuknya, ia mengeluarkan belati kecil, bersiap bertahan dengan sisa kekuatannya.

"Huh?" Aku tertegun, melihat belati kecil itu di tangannya.

"Apa yang akan kau lakukan dengan benda kecil itu?" tanyaku, penasaran dengan keberaniannya.

Ia tersenyum getir, terengah-engah dan penuh determinasi. "Untuk melindungi tanahku, keluargaku, dan orang-orang yang kusayangi. Dengan kata lain... KEBAHAGIAANKU!!"

Ia menyerangku dengan belati kecil itu. Aku berhasil menghindar dengan lincah dan mendaratkan pedangku tepat di dadanya, menusuknya dengan kekuatan penuh.

"AGGH!!" teriaknya dengan penuh rasa sakit.

Darah memuncrat dari mulutnya, tubuhnya gemetar dan kehilangan kekuatan. Ia terdiam sejenak, kemudian terkulai lemas di atas tanah. Aku telah membunuhnya, namun ada sesuatu yang aneh yang kurasakan.

"Lho?.."

Meski telah menang, aku merasakan keanehan yang mendalam. Musuh ini berbeda dari yang lainnya. Ia membuatku berpikir, merenung, bertanya pada diriku sendiri...

'Apa yang aku lakukan di sini? Di tengah kekacauan dan darah yang tak kunjung surut, mengapa aku terjebak dalam pertempuran ini? Mengapa aku harus merenggut nyawa orang-orang yang bahkan tak pernah kukenal?'

Pertanyaan itu menggema di kepalaku tanpa henti. Aku teringat kata-katanya yang penuh makna. Dan tiba-tiba, aku menyadari jawaban dari semua pertanyaanku...

"KITA MENANG!!" teriak seorang prajurit dengan penuh kegembiraan.

"Huh?.." Aku terkejut dan tersadar dari lamunanku.

Pertempuran selesai dalam sekejap, seperti mimpi buruk yang berlalu dengan cepat. Beberapa orang bersorak gembira, yang lain biasa saja, dan beberapa tampak tidak puas dengan kemenangan yang begitu mudah dan singkat. Sedangkan aku, masih terdiam dan merenung dalam keheningan.

"Haah.. membosankan sekali.., ya kan Triviat?" suara yang familiar memanggilku. Callan Fredrick, sahabatku, mendekat dengan senyuman lebar.

"Eh- ya.." jawabku tanpa semangat, masih tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"Lho? Ada apa denganmu? Apa kau sedang sakit?" Ia bertanya, khawatir dengan kondisiku.

"Tidak, aku baik-baik saja." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.

Aku menghela napas panjang, menatap pedangku yang berlumuran darah dengan tatapan kosong, dan mencoba untuk merenung lebih dalam. Berapa banyak nyawa yang sudah kubunuh dengan pedang ini? Aku kembali bertanya pada diriku sendiri...

 Berapa banyak nyawa yang sudah kubunuh dengan pedang ini? Aku kembali bertanya pada diriku sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengapa aku melakukan semua ini..?

Jawabannya ternyata sangatlah sederhana, namun begitu menyesakkan.

Aku hanya ingin "bahagia."

"Hm? Kau mengatakan sesuatu?" Callan bertanya dengan rasa penasaran.

"Eh, tidak.., bukan apa-apa." Aku tak sengaja menggumamkan isi pikiranku, namun aku memilih untuk diam saat Callan bertanya, karena merasa tak ada gunanya menjelaskan.

Aku mencabut pedangku dari tubuh musuh, mengayunkannya untuk membersihkan darah yang menempel, lalu bersama Callan dan pasukan, kami meninggalkan medan pertempuran yang kini sunyi. Pertanyaan dan renungan itu tetap menghantuiku, mengiringi langkahku yang berat dan penuh keraguan.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang