Chapter 17 : Kekuatanmu Adalah Hadiah, Bukan Kutukan

6 3 0
                                    

Langit sudah mulai beranjak jingga saat aku menuruni bukit, jalan setapak berbatu di depanku terlihat semakin samar. Angin berhembus sejuk, membawa aroma hutan pinus di kejauhan. Aku berusaha fokus pada langkah kakiku, namun di tengah kesunyian itu, terdengar suara roda kereta kuda berderit dari arah depan.

Dari kejauhan, aku melihat sebuah kereta kuda berhenti di tengah jalan. Dua sosok di dalamnya terlihat sedang berdiskusi sengit dengan seseorang yang lebih kecil, yang tampaknya seorang anak perempuan. Aku mempercepat langkahku, dan sebelum aku bisa mencapai mereka, kereta itu melaju pergi, meninggalkan anak kecil tersebut sendirian di tengah jalan.

Anak itu berdiri diam, memandang kereta yang semakin menjauh dengan mata yang penuh kebingungan. Aku menghampirinya, mencoba memahami situasinya.

"Hei, kau baik-baik saja?" tanyaku dengan lembut, berusaha tidak membuatnya takut.

Anak itu menoleh, sepertinya baru menyadari keberadaanku. Matanya yang besar penuh dengan air mata yang ia coba tahan. "Mereka... mereka meninggalkanku," bisiknya, suaranya gemetar.

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "Siapa mereka? Orang tuamu?"

Dia mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Aku berjongkok agar bisa menatapnya di mata. "Kenapa mereka meninggalkanmu di sini? Apa yang terjadi?"

"Mengapa mereka meninggalkanmu di sini?" tanyaku dalam hati, rasa gelisah merayap dalam pikiranku.

Tanpa banyak berpikir, aku mulai berlari. Kakiku menghentak tanah dengan cepat, tubuhku mengejar bayangan kereta yang masih tampak di ujung jalan. Debu yang beterbangan menjadi saksi keputusanku-aku tidak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja. Saat aku semakin dekat, aku bisa melihat punggung pengemudi kereta, cambuknya masih diayunkan dengan santai seakan tidak ada yang salah.

Dengan teriakan nyaring, aku melompat ke belakang kereta dan segera memanjatnya. "Berhenti!" suaraku penuh desakan, dan pengemudi itu segera menghentikan keretanya, menoleh dengan ekspresi kaget.

Di dalam kereta, sepasang suami istri menatapku dengan wajah penuh kejutan. Sang wanita mencengkeram gaunnya erat-erat, sementara sang pria memandangku dengan tatapan keras. "Apa yang kau lakukan?!" bentak pria itu.

"Apa yang kupikirkan?" balasku tajam. "Apa yang kalian pikirkan meninggalkan anak kecil di tengah jalan seperti itu?!"

Sang wanita hanya memalingkan wajahnya, tidak peduli dengan ucapanku. Tapi pria itu tidak bisa menahan amarahnya. "Dia bukan urusan kami lagi!" katanya dingin, suaranya penuh kebencian. "Anak itu tidak diinginkan. Kami sudah cukup menderita karena kehadirannya."

Aku tertegun. "Tidak diinginkan? Bagaimana mungkin seorang anak bisa tidak diinginkan oleh orang tuanya sendiri?"

Sang wanita akhirnya angkat bicara, nadanya pelan tapi jelas penuh kebencian. "Dia... dia membawa bencana. Setiap tempat yang dia singgahi, selalu ada masalah. Kami sudah berusaha, tapi dia terlalu... berbeda."

"Berbeda?" Aku hampir tak bisa mempercayai kata-kata itu. "Dia anak kalian! Kalian punya tanggung jawab!"

"Kami sudah memutuskan," kata sang pria tegas. "Lebih baik dia hidup sendirian daripada terus menghancurkan hidup kami."

Aku merasakan kemarahan memuncak di dadaku, tetapi aku tahu tidak ada gunanya memaksa mereka. Mereka telah membuat keputusan kejam itu. Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku melompat turun dari kereta, membiarkan mereka pergi dengan hati yang sekeras batu.

Kembali ke jalan, aku melihat gadis itu masih berdiri di tempat yang sama. Angin mengibaskan rambutnya yang kusut, namun matanya tetap menatap lurus ke depan. Tanpa menunggu lama, aku berjalan mendekatinya.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang