Chapter 2 : Kebingungan

43 3 0
                                    

"Aku hanya ingin bahagia"

Setelah berhasil menaklukkan kerajaan Dondonov, pasukan kami merayakan kemenangan dengan sebuah pesta meriah di markas yang terletak dekat dengan kerajaan yang baru kami taklukkan.

Semua orang larut dalam suasana pesta, bergembira dengan bir yang melimpah dan tawa yang menggema di udara. Namun, di tengah hiruk-pikuk tersebut, aku memilih untuk duduk di sudut tenda, gelasku penuh dengan minuman yang belum tersentuh. Aku tidak ingin mabuk; aku ingin menjaga pikiranku tetap jernih. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiranku sejak peperangan tadi, dan aku merasa perlu merenung untuk menemukan jawabannya.

Aku tengah memikirkan konsep kebahagiaan. Mengapa manusia dan semua makhluk hidup merasa perlu meraih kebahagiaan? Setiap tindakan dan usaha kita sepertinya bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, tetapi mengapa hal ini begitu penting? Apa sebenarnya esensi dari kebahagiaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar dalam pikiranku, mendorongku untuk mencari jawaban yang lebih dalam.

Ketika aku sedang tenggelam dalam renungan ini, tiba-tiba Callan dan salah satu temannya datang menghampiriku dengan langkah goyang, tanda bahwa mereka telah mabuk.

"Yo Triviat!.. Lho? Gelasmu masih penuh.. apa kau tidak meminumnya?" tanya Callan dengan nada yang agak menjengkelkan namun tetap penuh perhatian.

Aku berdiam sejenak, menoleh kepadanya dan menjawab, "Kenapa... aku harus meminumnya?" Aku bertanya dengan nada penasaran, mencoba memahami alasan di balik kebiasaan ini.

"Kau bertanya kenapa?" Callan tertawa, kemudian merangkulku dengan ceria. "Karena ini sangat enak dan menyenangkan!!" jawabnya dengan penuh semangat, seolah-olah kebahagiaan itu terletak pada setiap tegukan bir.

"Oh, jadi apakah kau bahagia sekarang?" Aku kembali bertanya, ingin tahu bagaimana kebahagiaan diukur oleh orang lain.

"Ya! Tentu saja!" jawabnya dengan suara penuh keyakinan.

"Oh, kalau begitu bolehkah aku bertanya satu hal lagi?" tanyaku, berusaha menggali lebih dalam.

"Hm... apa itu?"

"Kenapa... kita harus bahagia?"

"Ha?" Callan terlihat bingung, begitu pula temannya. "Ha?"

Mereka berdua kemudian tertawa bersama, gelak tawa yang menggema memenuhi ruangan. "Hahahaha!! Hahahaha!!" Mereka berdua tertawa serempak, seolah pertanyaanku adalah hal yang sangat konyol.

"Apa kau bodoh? Ya, tentu saja karena sengsara itu tidak enak!!" Callan menjelaskan dengan nada merendahkan, mungkin merasa bahwa pertanyaanku terlalu sederhana untuk dijawab.

"Ah... hm... iya ya, kau benar... Ee... Kalau begitu, kau mau birku?" tanyaku sambil bangkit dari tempat duduk.

"Ehh... aa terima kasih... Tapi ke mana kau akan pergi?" Callan bertanya, melihatku hendak meninggalkan mereka.

"Mencari air putih..." jawabku singkat, lalu aku melangkah pergi meninggalkan mereka.

"Hah... dasar aneh," gumam Callan dengan nada sedikit kesal.

Aku berjalan menuju tenda dapur, berusaha mencari segelas air putih untuk menyegarkan tenggorokan. Di dalam tenda, banyak kotak-kotak dan bahan makanan berserakan. Aku mencari kesana kemari, tetapi tidak menemukan apa yang kuinginkan. Aku mulai merasa kebingungan, hingga akhirnya seseorang mendekatiku.

"Permisi, tuan, apakah Anda mencari sesuatu?" Suara lembut seorang pria tua terdengar di telingaku.

Aku menoleh dan melihat seorang pria tua yang mengenakan pakaian koki kerajaan. "Saya sedang mencari air putih. Apakah Anda tahu di mana saya bisa menemukannya?" tanyaku dengan nada penasaran.

"Ah, jadi itu... Baiklah, saya akan mengambilkan untuk Anda," jawabnya dengan ramah, mulai mencari segelas air untukku.

"Ini," katanya sambil menyerahkan gelas berisi air dengan senyum tulus.

"Terima kasih..." ucapku sebelum akhirnya meminum air tersebut dengan rasa syukur.

"Sama-sama. Saya juga senang bisa membantu Anda," balasnya dengan tulus.

"Oh iya, ngomong-ngomong, apakah Anda tidak ikut minum bersama yang lain?" Ia bertanya, penasaran dengan pilihanku.

"Tidak, tidak malam ini. Akhir-akhir ini, aku sedang memikirkan sesuatu, jadi aku ingin menjaga pikiranku tetap waras," jawabku sambil meneguk air putihku.

Tiba-tiba, aku merasa dorongan untuk menceritakan apa yang kurasakan. Aku bertanya-tanya apakah dia mungkin memiliki jawaban atau pandangan tentang masalahku. Aku berdiam sejenak, menghela napas, lalu memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Anu... jika tidak keberatan, maukah Anda mendengar ceritaku?" Aku ingin mendengar pendapatnya.

"Ah, ya... tentu, dengan senang hati saya akan mendengarkannya," jawabnya dengan lembut dan penuh perhatian.

Aku mulai menceritakan semua kejadian yang menimpaku, perasaan dan pikiran yang menghantuiku. Ia mendengarkan dengan seksama, dan aku merasa nyaman saat berbicara dengannya.

"Hm... Jadi, intinya Anda sedang memikirkan konsep kebahagiaan, ya?" Ia menyimpulkan dari apa yang telah kuceritakan.

"Ya, kurang lebih begitu... haha," aku tertawa kecil. "Aku ini aneh ya, memikirkan hal konyol seperti itu?"

"Tidak, menurut saya itu cukup menarik mengingat banyak orang yang tidak memikirkan hal itu," ia meyakinkanku dengan lembut.

"Hm... Sebenarnya aku hanya bingung mengenai proses meraih kebahagiaan. Maksudku, adakah cara yang lebih baik untuk meraih kebahagiaan selain dengan berperang dan membunuh orang lain?"

Aku merasa bahwa membunuh untuk meraih kebahagiaan bukanlah hal yang baik, dan aku penasaran apakah ada cara lain yang bisa kulakukan.

"Ada, tentu saja. Akan tetapi, masing-masing orang memiliki cara yang berbeda-beda, dan saya yakin Anda pun akan menemukan cara Anda sendiri," ujarnya dengan penuh keyakinan.

"Jadi begitu..." aku menghela napas, sedikit merasa lebih tenang.

"Tapi yah... Sejak kecil aku dibesarkan dengan pedang. Aku seorang yatim piatu yang diadopsi dari panti asuhan oleh kerajaan dan dilatih hingga menjadi seperti ini. Dan... aku tidak merasa akan menemukan jalan lain," ungkapku dengan ekspresi wajah yang sedikit murung.

"Jangan sedih begitu. Apapun yang Anda pilih, saya akan mendoakan yang terbaik untuk Anda," katanya dengan nada penuh semangat, berusaha menghiburku.

"Hm... Terima kasih," aku sedikit tersenyum, merasa lebih bersemangat setelah mendengar kata-katanya.

Aku segera bangkit dari tempat dudukku dan bersiap untuk meninggalkan tenda, namun ketika sudah melangkah beberapa jarak, aku teringat sesuatu.

"Oh ya, namamu?" aku bertanya sambil menoleh ke arahnya.

"Namaku Asch, Asch Rodebrant, tuan. Senang berkenalan dengan Anda," jawabnya sambil tersenyum.

"Aku Triviat Shtatar. Senang juga bisa berkenalan denganmu. Hmm, kalau begitu... sampai jumpa," ujarku sebelum akhirnya keluar dari tenda dan pergi meninggalkannya.

Hari ini benar-benar melelahkan. Aku telah menguras banyak tenaga, terutama dalam pikiranku. Aku merenung tentang banyak hal, namun tak satu pun memberikan petunjuk yang jelas.

Akhirnya, aku memutuskan untuk beristirahat, tetapi siapa sangka, saat beristirahat itulah aku menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang selama ini kupikirkan.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang