Chapter 4 : Jawaban

25 3 2
                                    

"HAH!!"

Aku terbangun dari tidurku.

Napasku terengah-engah, dahiku penuh dengan keringat dingin. Meski sudah bangun dari mimpi dan berada di dunia nyata, perasaan aneh itu masih menguasai diriku, menyelubungi pikiranku dalam kabut ketakutan yang samar. Aku mencoba menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dengan alunan ritmis udara yang masuk dan keluar dari paru-paruku.

Perlahan, mataku terarah ke jendela yang memancarkan cahaya mentari pagi yang keemasan, menyebar ke seluruh kamar seperti selimut hangat. Di luar, kicauan burung yang merdu dan suara dedaunan yang tertiup angin menciptakan simfoni alami yang sedikit menenangkan hati yang gelisah, seakan membisikkan janji kedamaian yang tak terucapkan.

Mengusap keringat dari dahiku, aku memandang telapak tanganku yang basah. Peperangan, wanita, kafe, dan jurang kegelapan—gambar-gambar itu masih terekam jelas dalam benakku, seperti jejak mimpi yang enggan pudar. Apa maksud dari semua itu? Aku merenungi makna mimpi yang baru saja kualami, mencoba menggali arti di balik bayangan-bayangan yang menghantui tidurku.

Kesengsaraan, kedamaian, kebingungan—semua itu berputar di pikiranku tanpa jawaban yang jelas, hanya menyisakan rasa penasaran yang semakin mendalam, mengikis ketenangan yang kuharapkan.

"Dong..!!"

"Huh?" Aku terjaga dari lamunanku, lonceng kerajaan berbunyi nyaring, membelah keheningan pagi dengan iramanya yang tegas. Saatnya berkumpul di meja makan untuk sarapan sebelum latihan.

Dengan cepat, aku merapikan tempat tidur, membersihkan diri, dan mengenakan seragam. Setiap gerakanku otomatis, diwarnai oleh rutinitas yang sudah terpatri dalam keseharianku sebagai seorang prajurit. Lalu aku keluar kamar, bergabung dengan prajurit lainnya, meski pikiranku masih terbungkus kabut mimpi yang belum hilang sepenuhnya.

Di ruang makan, kerumunan prajurit tengah mengantri untuk sarapan, suara-suara percakapan mereka menjadi latar belakang kebingunganku yang terus berlanjut. Antrian panjang untuk sarapan tidak membantu menghilangkan kebingunganku, malah membuat pikiranku semakin terfokus pada mimpi aneh itu.

Setelah mengambil jatah sarapan, aku duduk di meja yang sedikit terpencil dan mulai makan perlahan, setiap suapan terasa hambar di lidahku, mencerminkan kurangnya semangat yang kurasakan pagi ini.

"Selamat pagi, orang aneh," suara yang tak asing menyapaku, membuyarkan lamunanku. Callan, membawa makanan dan minuman, duduk di hadapanku dengan senyuman yang selalu berhasil menyuntikkan sedikit keceriaan.

"Selamat pagi," jawabku dengan nada rendah, hampir tak terdengar.

"Beneran, kamu ini kenapa sih?" Ia mempertanyakan sikapku yang tak biasa, matanya menyelidik penuh perhatian.

"Apa maksudmu?" Aku melahap makananku, mencoba menghindari percakapan lebih lanjut. Namun, tatapan Callan tak kunjung beralih.

"Biasanya kau berbicara dengan nada yang lebih tinggi dan ekspresi wajahmu berbeda. Sekarang kau terlihat seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu," ujarnya, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Aku menghentikan makanku sejenak, memandang wajahnya yang bersungguh-sungguh. "Haha, kau menyadarinya?"

"Tentu saja! Kau pikir sudah berapa lama kita berteman?" Callan adalah satu-satunya prajurit sekaligus teman dekatku. Aku sering disegani oleh prajurit lain karena kekuatanku, membuatku tak memiliki banyak teman. Hanya dia yang ingin berteman dekat denganku, dan ia selalu mampu melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.

"Iya ya," aku melanjutkan makananku, mencoba mengabaikan perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Tapi Callan terus menatapku, seolah menungguku untuk berbicara.

"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku meyakinkannya, meski dalam hati aku tahu kata-kata itu tak sepenuhnya benar.

"Memendam masalahmu sendiri itu tak baik, lho," Callan terus mendesak, suaranya lembut namun tegas, menunjukkan kepedulian yang tulus.

"Hah," aku menghela napas panjang, merasakan beban di pundakku yang tak kunjung hilang. Akhirnya, aku memutuskan untuk berbicara, meski hanya sedikit. "Aku masih bingung. Saat sudah mendapatkan jawabannya, aku akan memberitahumu."

"Baiklah, kalau kau tak ingin memberitahuku sekarang," Callan memalingkan wajah, kembali menyantap makanannya dengan tenang, meski aku tahu ia masih mengkhawatirkanku.

"Kalau begitu aku duluan," ujarku sembari bangkit dari tempat duduk, merasa sedikit lega telah berbicara, meski hanya sepenggal.

Aku tahu dia hanya mencoba membantuku merasa lebih baik, tapi aku belum siap berbicara lebih lanjut. Setelah sarapan, aku berjalan menuju aula latihan.

Sebagai salah satu kapten di militer kerajaan, tugasku adalah melatih prajurit berpangkat lebih rendah yang kemampuannya masih perlu diasah. Aula latihan sudah mulai ramai dengan prajurit yang bersemangat memulai hari.

"Selamat pagi, Kapten!" Seorang prajurit laki-laki menyapaku dengan hormat, matanya berbinar penuh semangat.

"Selamat pagi," balasku dengan anggukan. "Yang lainnya sudah berkumpul?"

"Iya, semua sudah menunggu," jawabnya tegas.

"Baiklah, ambil pedang kalian. Kita akan mulai latihannya," perintahku, suaraku tegas dan penuh wibawa.

Setelah persiapan selesai, latihan dimulai. Aku mencontohkan beberapa gerakan dasar, mengayunkan pedang dengan keahlian yang sudah terasah selama bertahun-tahun. Mereka mengikutiku, mencoba meniru setiap gerakan dengan sebaik mungkin.

"Kiri," -swishh- "Kanan," -swoshh- "Atas," -swishh- "Bertahan," -shing!

Aku mencoba menikmati latihan, mendalami setiap gerakan dengan konsentrasi penuh. Bunyi ayunan pedang yang beradu dengan udara cukup untuk membuatku berhenti berpikir sejenak, merasakan ketenangan dalam ritme latihan. Namun, ada sesuatu yang mengganggu di sudut pikiranku.

"Ayunkan lebih kuat!" perintahku setelah melihat ayunan pedang mereka yang lemah, suaraku menggelegar di antara deretan prajurit muda.

Mereka berusaha sekuat tenaga, tapi aku masih merasa ayunan mereka kurang kuat. Emosiku mulai naik melihat kemampuan mereka yang tampak tidak berkembang.

"Tch! Apa kalian tak mendengarku? Sudah kubilang, ayunkan lebih kuat!!" suaraku meninggi, mencerminkan ketidakpuasan yang mendidih di dalam diriku.

-SWISHH!!

Semua terdiam, suasana mendadak tegang. Aku menunjukkan ayunan pedang dengan kekuatan maksimal, membuat udara berdesir keras. Murid-murid terlihat ketakutan, mata mereka melebar saat menatapku.

"Maaf, Kapten, tapi kami rasa, kami belum memiliki kekuatan sekuat Kapten untuk mengayunkan pedang seperti itu," ujar seorang prajurit mendatangiku dengan ekspresi bersalah, suaranya gemetar.

"Hah, iya, aku tahu. Ini bukan salah kalian," aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kemarahan yang menggelegak. "Kalian sekarang latihan sparing saja, aku akan mengawasi."

Aku duduk di pojokan, menenangkan diri sambil memperhatikan mereka berlatih. Pikiran dan perasaan masih bergejolak, mengusik ketenangan hatiku.

"Ada apa denganku?" Aku bertanya pada diri sendiri, mencoba mencari jawaban di balik kebingunganku. Apa yang salah? Apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar bingung, merasa terjebak dalam lingkaran tak berujung.

Melihat prajurit berlatih sparing, aku memperhatikan seorang prajurit berhasil menjatuhkan lawan. Mereka yang lebih unggul mengalahkan lawannya dengan mudah, menunjukkan kemampuan yang sudah terasah.

Tiba-tiba, aku melihat sesuatu yang membuatku tercengang.

"Kau hebat sekali," ucap seorang prajurit yang kalah, suaranya penuh kekaguman.

"Tidak, ini bukan apa-apa. Kau tak apa?" Ia mengulurkan tangan membantu lawannya berdiri, senyum tulus menghiasi wajahnya.

Mataku terbuka lebar, pikiran dan perasaan yang membanjiri diriku hilang seketika. Aku merasa lega, menemukan jawaban dari pertanyaanku.

'Itukah kebahagiaan yang baik?'

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang