Chapter 9 : Goblin & Elf

6 3 0
                                    

Sudah beberapa hari sejak aku memulai perjalanan ini, dan perlahan aku mulai terbiasa menjalani hidup sebagai seorang pengembara sekaligus seorang petualang.

Hari ini, aku masih berada di sebuah hutan dengan cuaca mendung yang tampaknya akan segera menurunkan hujan. Aku terus berjalan, menikmati kesunyian dan ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tengah hutan seperti ini. Setiap langkahku membawa suara gemerisik daun di bawah kaki, dan sesekali terdengar suara burung atau binatang kecil yang berlalu lalang.

Saat aku menjelajah lebih dalam, pandanganku tertuju pada sebuah pohon murbei yang berbuah lebat, berdiri tegak di tengah hutan, seolah menyambutku dengan tangan terbuka.

Aku mendekat, merasakan angin dingin menyentuh wajahku, lalu dengan hati-hati memetik beberapa buah murbei dari pohonnya. Buah-buah itu tampak segar dan menggiurkan, dengan warna ungu yang pekat.

Aku melepas topengku, mencicipi buah-buah itu satu per satu. Rasanya manis, segar, dan entah bagaimana membuatku merasa lebih hidup. Setiap gigitan memberikan rasa kenyang yang sederhana namun memuaskan. Mungkin, ini adalah salah satu keistimewaan menjadi seorang pengembara; menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil di tengah alam liar.

Aku memutuskan untuk mengumpulkan lebih banyak murbei, menjejalkan buah-buah itu ke dalam kantongku hingga penuh. Dengan tangan penuh buah dan perut yang sedikit kenyang, aku melanjutkan perjalanan, berharap menemukan petualangan baru di depan.

Namun, saat berhasil melewati semak-semak yang lebat, aku tiba-tiba berhadapan dengan seekor goblin. Makhluk ini terlihat mengerikan, dengan tubuh kurus dan mata yang penuh kebencian.

Goblin, makhluk tingkat rendah yang dikenal sebagai ras perusak, biasanya menyerang manusia dan bahkan memakan mereka. Mereka dikenal karena kekejaman dan kebodohannya, sering bertindak tanpa berpikir panjang. Biasanya, goblin hidup berkelompok, bergerak bersama dalam kawanan untuk menyerang dengan lebih efektif.

Tapi goblin yang satu ini berbeda; tubuhnya kurus kering, dan hanya membawa sebatang kayu sebagai senjatanya. Ia menatapku dengan tatapan waspada, terdiam sejenak seolah sedang menimbang-nimbang langkah berikutnya. Kebingungan menyergap pikiranku—mengapa goblin ini sendirian di tengah hutan yang luas ini? Apakah ia tersesat atau diasingkan oleh kawanannya?

Tiba-tiba, tanpa peringatan, goblin itu berteriak dan berlari ke arahku, bermaksud menyerang. Dengan santai, aku menghindari serangan goblin itu hanya dengan bergeser sedikit dari posisiku. Goblin itu terhuyung-huyung, lalu mencoba menyerang lagi dengan lebih bersemangat. Namun, aku kembali menghindar dengan mudah, seolah-olah aku sedang bermain-main dengannya.

Aku tidak berniat untuk bertarung; bagiku, pertarungan dengan makhluk lemah seperti ini hanya membuang-buang waktu. Akhirnya, ketika goblin itu berusaha menyerang lagi, aku mendorongnya hingga terjatuh. Ia tergeletak di tanah, terdiam sejenak, mungkin karena terkejut dengan kekuatanku yang tak terduga. Melihatnya seperti itu, aku merasa iba.

"Aku tak ingin bertarung denganmu. Oh iya, ngomong-ngomong, apa kau lapar?" tanyaku sambil menyodorkan beberapa buah murbei. Goblin itu menatap buah-buah itu dengan bingung, seolah tidak mengerti niat baikku. Ia hanya berdiri di sana, kaku dan tak bergerak, matanya berkedip-kedip seperti sedang berusaha memproses situasi.

Aku bisa melihat keraguan dalam tatapannya, mungkin ia belum pernah bertemu manusia yang menawarkan makanan alih-alih pertarungan. Namun, sebelum sempat merespon, goblin itu kembali berteriak dan berusaha menyerangku lagi. Aku hanya bisa menghela napas panjang, bingung dengan tingkah anehnya yang tak terduga.

Saat goblin itu hampir menyentuhku, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dari balik pepohonan dan tepat mengenai goblin itu. Goblin itu terjatuh dan menjerit kesakitan, anak panah menancap di tubuhnya dengan akurat. Tidak butuh waktu lama hingga goblin itu akhirnya tewas, tubuhnya terkulai lemas di tanah.

Terkejut, aku menoleh ke arah asal anak panah tersebut, penasaran siapa yang menembakkannya. Dari balik pepohonan, muncullah seorang gadis berambut panjang berwarna putih, mengenakan pakaian petualang. Langkahnya ringan dan anggun, matanya hijau yang bersinar dalam kegelapan hutan. Telinganya memanjang ke samping, menandakan bahwa ia adalah seorang elf. Dengan sekali lihat, aku tahu bahwa gadis itu adalah sosok yang luar biasa.

Aku tahu bahwa gadis di hadapanku adalah seorang elf. Rambut peraknya berkilau di bawah sinar matahari yang memudar, memberikan kesan magis yang sulit diabaikan. Mata hijau zamrudnya menatapku dengan kekhawatiran yang tulus, sementara telinga runcingnya sedikit bergerak mengikuti setiap suara di sekitar.

Ada sesuatu tentang kehadirannya yang membuat suasana menjadi lebih tenang, meskipun kami baru saja menghadapi goblin yang ganas. Ia mengambil langkah perlahan ke arahku, dan suaranya yang lembut namun tegas memecah keheningan.

"Apa kau terluka?" tanyanya, suaranya penuh perhatian. Aku bisa merasakan ketulusan di balik pertanyaannya, yang membuatku merasa lebih tenang.

"Tidak, aku baik-baik saja," jawabku singkat, mencoba menenangkan kekhawatirannya. Dia tampak terkejut melihat penampilanku yang serba hitam dengan jubah panjang dan topeng yang menutupi sebagian besar wajahku. Keterkejutan itu jelas terlihat di matanya yang membesar.

"Jangan-jangan kau seorang petualang? Maaf, aku tak sengaja mengambil buruanmu," ujarnya sambil menundukkan kepala sedikit, menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Aku bisa melihat bahwa ia benar-benar merasa bersalah karena mungkin merasa telah merusak rencanaku.

Aku tersenyum di balik topengku, meskipun ia tidak bisa melihatnya. "Tidak, aku tidak sedang berburu. Aku hanya kebetulan bertemu goblin ini tadi. Aku mencoba menyapanya, tapi sepertinya goblin itu memang tidak bisa diajak bicara baik-baik," kataku, menahan tawa kecil. Menatap goblin yang sudah mati di depanku, aku merasa sedikit lega bahwa bahaya itu telah berlalu.

"Begitu ya? Ya, sepertinya mereka memang seperti itu," ujarnya dengan nada setuju, ikut menatap mayat goblin yang tergeletak di tanah. Kami berdua kemudian terdiam. Angin pagi berhembus pelan, membawa aroma hutan yang segar. Suasana menjadi hening seketika, hanya ditemani oleh suara burung yang berkicau di kejauhan. Aku merasa waktu berhenti sejenak, memberi ruang untuk merenung dan merasakan kedamaian.

Setelah beberapa saat, aku merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Namun, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di pikiranku. "Oh ya, namamu?" tanyaku akhirnya, memecah keheningan yang mulai terasa canggung.

"E-eh, namaku Mila," jawabnya, sedikit terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. Wajahnya memerah sedikit, mungkin karena malu atau kaget.

"Mila, ya? Aku Triviat. Senang berkenalan denganmu. Kalau begitu, sampai jumpa," kataku sambil mengangkat tanganku, bersiap untuk pergi. Aku merasa percakapan kami sudah cukup dan aku harus melanjutkan perjalananku. Namun tiba-tiba, ia berseru, mencoba menghentikanku.

"Tunggu!" serunya, membuatku berhenti dan menoleh kembali ke arahnya. Aku menunggu apa yang ingin ia katakan. Ia tampak ragu-ragu, bibirnya sedikit bergetar, tetapi akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lagi.

"Apa kau... orang yang kuat?" tanyanya dengan nada yang penuh harap. Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak, memikirkan maksud di balik pertanyaannya.

"Memangnya kenapa?" jawabku akhirnya, penasaran dengan alasannya. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa ada masalah besar yang ia hadapi.

"Desa kami sedang diserang. Aku ditugaskan oleh ketua desa untuk mencari bantuan, tetapi guild petualang terlalu jauh dan biayanya terlalu mahal. Jadi, kalau berkenan, aku ingin meminta bantuanmu," katanya memohon dengan suara penuh kekhawatiran.

Aku bisa melihat ketulusan dan desperation di matanya. Aku sempat bingung, memikirkan situasi yang ia hadapi. Pertanyaan berikutnya keluar dari mulutku hampir tanpa pikir.

"Memangnya apa yang menyerang desamu?" tanyaku penasaran, mencoba memahami besarnya ancaman yang dihadapi desa elf ini.

Ia tampak ragu lagi sebelum akhirnya menjawab, "Yang menyerang desaku... adalah Giant." Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan rasa takut yang menggema di hati.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang