Chapter 20 : Arvandor & Roti

7 2 0
                                    

Perjalanan menuju kota Arvandor tidaklah mudah. Jalanan berbatu dan berdebu mengular melewati bukit-bukit hijau, hutan yang lebat, serta dataran terbuka yang terpanggang matahari. Sudah beberapa hari aku melakukan perjalanan, dan meskipun tubuhku terasa lelah, pikiranku terus dipenuhi rasa penasaran. Arvandor, kota yang sering dibicarakan orang, terletak di pusat peradaban, tempat di mana kemajuan dan kemegahan hidup berdampingan. Dan aku, seorang petualang bertopeng, melangkah menuju kota itu dengan satu harapan—mungkin di sana aku bisa menemukan jawaban atas pencarianku, atau setidaknya, menemukan tujuan baru.

Saat akhirnya aku melihat gerbang kota dari kejauhan, aku berhenti sejenak. Matahari yang perlahan tenggelam di cakrawala memberikan warna keemasan pada kota yang berdiri megah di depan mataku. Menara-menara tinggi dan bangunan yang menjulang seolah mengisyaratkan kebesaran kota ini. Namun, aku tidak sepenuhnya terpesona oleh keindahannya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, perasaan bahwa kemegahan ini mungkin menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam.

Aku melangkah lebih dekat, dan saat aku masuk melalui gerbang, aku langsung dihadapkan pada pemandangan yang luar biasa. Arvandor benar-benar kota yang sibuk, penuh dengan kehidupan. Namun, yang membuatku heran adalah perilaku orang-orang di sana. Mereka berjalan dengan pakaian mewah, tertawa dan bercanda seolah-olah tak ada masalah dalam hidup mereka. Wajah-wajah mereka bersinar dengan kebahagiaan, tapi ada juga kilatan kesombongan dalam mata mereka. Mereka hidup dalam kemewahan dan kepuasan, seperti tidak pernah mengenal susah payah dunia luar.

Aku berjalan melewati toko-toko mewah, melewati kerumunan yang menikmati anggur di bawah tenda-tenda berwarna cerah, dan aku merasa asing. Dunia ini terasa jauh dari kenyataan yang kukenal, di mana orang bertarung demi bertahan hidup.

Saat perutku mulai terasa lapar, aku memutuskan untuk mencari tempat makan. Pandanganku tertuju pada sebuah restoran yang tampak lebih sederhana dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Restoran itu dikelilingi oleh pepohonan rindang dan aroma roti yang baru dipanggang tercium hingga ke jalan. Aku melangkah masuk dengan sedikit ragu.

Saat pintu terbuka, seketika suasana dalam restoran itu berubah. Orang-orang yang sedang makan menoleh ke arahku, tatapan mereka penuh rasa ingin tahu sekaligus curiga. Mereka mungkin tidak terbiasa melihat seseorang seperti diriku—seorang petualang dengan pedang besar di punggung dan topeng yang menutupi sebagian wajahku. Hening menyelimuti ruangan sejenak, sampai seorang pelayan muda akhirnya memberanikan diri mendekatiku.

“Selamat datang… Tuan,” katanya pelan, suaranya bergetar sedikit. “Apakah Anda ingin makan?”

Aku mengangguk, dan pelayan itu segera mengantarkanku ke sebuah meja di sudut ruangan. Setelah memesan makanan, mataku tertuju pada sebuah roti yang tampak menarik. Roti itu terlihat sangat lezat, dengan lapisan tipis gula di atasnya dan aroma manis yang menguar dari dapur. Aku bertanya kepada pelayan tentang nama roti itu.

"Itu Namara," jawabnya. "Roti gurih yang diisi dengan krim manis dan dipanggang sempurna. Ini salah satu makanan penutup terbaik di sini."

Saat hidangan tiba, aku menatapnya sebentar sebelum menyentuh topeng di wajahku. Perlahan, aku melepaskannya, merasakan tatapan penasaran dari beberapa orang di sekitarku. Tanpa banyak berpikir, aku meletakkan topeng di meja dan mengambil potongan roti itu, menggigitnya dengan tenang. Rasanya manis dan lembut, berbeda dari apa pun yang pernah kumakan sebelumnya.

Setelah aku selesai makan, rasa ingin tahuku terhadap roti Namara membuatku meminta untuk bertemu dengan koki yang membuatnya. Pelayan tampak sedikit kaget, tapi akhirnya setuju untuk memanggil koki tersebut. Tak lama kemudian, seorang pria tua keluar dari dapur dengan senyum ramah di wajahnya.

“Jadi, kau suka Namara-ku?” tanyanya dengan nada bercanda.

Aku mengangguk, masih terkesan dengan rasanya. "Bagaimana kau bisa membuat sesuatu yang begitu lezat?" tanyaku, ingin tahu lebih banyak.

Koki itu tersenyum lebih lebar, tampak bangga. "Ini resep turun-temurun, tapi butuh waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakannya. Membuat roti itu seni, sama seperti berpetualang di dunia luar. Masing-masing memerlukan kesabaran, ketepatan, dan juga cinta."

Perkataannya membuatku berpikir. Di tengah perjalananku mencari tujuan baru, tiba-tiba ide baru muncul di benakku. Mungkin, di luar pertempuran dan perjalanan tanpa akhir, ada hal lain yang bisa kulakukan. "Ajari aku," kataku tiba-tiba.

Koki itu mengerutkan alis, tampak sedikit terkejut. “Kau ingin belajar membuat roti?”

Aku mengangguk, merasa bahwa ini mungkin jalan baru yang harus kuambil. “Ya. Aku ingin belajar.”

Koki itu tertawa kecil. “Baiklah, kalau begitu. Kau bisa tinggal dan bekerja di sini. Tapi kami sudah penuh. Kau bisa tinggal di gudang penyimpanan kalau kau tidak keberatan. Itu tempat terbaik yang tersisa untuk saat ini.”

Aku setuju tanpa ragu, meskipun sedikit terkejut. Saat aku dibawa ke gudang penyimpanan, tempat itu penuh dengan berbagai barang—karung tepung, bumbu-bumbu, dan peralatan dapur yang tak terpakai. Aku segera mulai membersihkannya, menyiapkan tempat tidur sederhana dari tumpukan karung. Meski tidak nyaman, itu lebih baik daripada tidur di luar, dan kini aku memiliki tujuan baru.

Sebelum tidur malam itu, aku keluar dari gudang, melihat pemandangan Arvandor di bawah sinar bulan. "Betapa banyak yang dia miliki," gumamku pelan, mengingat bangsawan yang mengakhiri hidupnya. "Namun dia memilih untuk mengakhiri semuanya. Padahal, masih banyak yang bisa ia lakukan."

Aku menatap ke langit, merenung. Hidup selalu menawarkan jalan yang berbeda. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku telah menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang tak ada hubungannya dengan pertempuran atau pencarian tanpa akhir—tapi dengan kehidupan yang lebih sederhana, lebih damai. Mungkin, aku telah menemukan tujuan baruku.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang