Chapter 14 : Beastman

10 3 0
                                    

Aku menyusup di antara semak-semak yang rimbun, ranting-rantingnya menyambar pakaian dan kulitku. Pikiranku masih berputar pada pertemuan kemarin dengan seorang Dwarf dan telur naga yang misterius. Hutan ini masih menyelimuti dengan sunyi yang menegangkan.

Dengan usaha keras, akhirnya aku berhasil melewati semak-semak itu. Udara segar menerpa wajahku saat pemandangan hutan yang lebih terbuka terbentang di depan mata. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, baru saja aku melangkah beberapa meter, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Swossh!

Tiba-tiba, sebuah tombak terbang dengan kecepatan yang mengerikan, hampir menyentuhku. Instingku bekerja cepat, tubuhku bergerak menghindar. Tombak itu menghantam tanah, meninggalkan jejak berbahaya. Sejenak, aku terdiam, jantungku berdebar kencang. 'Siapa yang melemparkan tombak ini? Apakah dia mengira aku hewan buruan?' pikirku, masih terkejut.

Aku memutuskan untuk mendekati tempat asal tombak itu. Baru beberapa langkah, sebuah tombak lagi melesat ke arahku. Kali ini, aku berhasil menangkapnya dengan cepat. Sadar bahwa ada seseorang yang mengincarku, aku segera melemparkan tombak itu ke tanah dan mengangkat kedua tanganku, berharap ini dapat menghentikan serangan lebih lanjut.

"Aku bukan musuh! Aku tidak berniat mencelakai kalian! Hentikan lemparan tombak ini!" teriakku.

Tak lama kemudian, dari balik pepohonan, seorang remaja laki-laki muncul. Wajahnya menampakkan ketegangan. Telinga seperti rubah menjulang di kepalanya, dan ekor coklat panjang melambai di belakang tubuhnya yang mirip manusia. Ini adalah seorang Beastman, makhluk yang hanya pernah aku dengar dalam cerita rakyat.

“Kau ini sebenarnya apa?” tanyanya, suaranya tajam dan penuh kecurigaan.

“Aku manusia,” jawabku dengan tenang.

Ekspresi wajahnya berubah—sedikit kecewa, mungkin juga marah. Rasanya jelas, manusia tidak memiliki reputasi baik di mata mereka. Bisa jadi karena perlakuan manusia yang sering menyerang desa-desa Beastman untuk menangkap mereka sebagai budak. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebencian di matanya.

“Manusia, ya? Apa yang kau lakukan di sini?” nada suaranya penuh kekesalan.

“Aku pengembara. Aku hanya lewat, dan aku tak berniat menyerang desamu,” jawabku jujur.

Beastman itu menatapku dengan tajam, seolah mengukur apakah aku mengatakan yang sebenarnya. “Ngomong-ngomong, sepanjang perjalananmu, apakah kau melihat seorang anak kecil dari ras kami?”

“Tidak, aku tidak melihatnya,” jawabku.

Wajahnya tampak semakin suram. Aku merasakan dorongan untuk tahu lebih banyak. “Ada apa? Apakah dia hilang?”

Beastman itu tampak ragu untuk menjawab, matanya penuh kecurigaan. “Apa gunanya aku memberitahumu?”

“Mungkin aku bisa membantu,” kataku dengan tegas, tanpa keraguan.

Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Maaf, tapi aku tak punya apa-apa untuk membayarmu.”

“Aku tidak meminta bayaran,” jawabku, mencoba meyakinkannya.

“Kenapa kau ingin membantuku tanpa bayaran?” tanyanya, bingung dengan niat baikku.

“Bukankah itu hal yang wajar? Jika seseorang dalam kesulitan, kita harus membantunya. Aku tahu kondisi rasmu, dan aku tidak butuh bayaran,” jawabku, berusaha tulus.

Beastman itu tampak bimbang, tetapi akhirnya dia mengalah. “Ikuti aku. Aku akan menceritakan semuanya sambil berjalan.”

Aku mengikuti langkahnya, mendengarkan dengan saksama ketika dia mulai bercerita. Dia memiliki seorang adik laki-laki bernama Zika, anak yang gemar berlatih memanah. Suatu hari, Zika tak sengaja menembakkan panah terlalu jauh ke dalam hutan dan pergi mencarinya. Namun, sejak saat itu, dia tidak pernah kembali.

“Aku sudah mencarinya ke mana-mana, tetapi tidak berhasil menemukannya,” kata Beastman itu dengan sedih.

Aku hanya bisa mendengarkan dengan diam, merasakan keputusasaannya. Setelah bercerita, dia berkata, “Terima kasih sudah mau membantuku. Aku sangat menghargainya. Aku akan membawamu ke desaku untuk mencari petunjuk lebih lanjut. Tapi…”

Dia berbalik dan menatapku dengan serius. “Warga di desaku sangat membenci manusia.”

“Aku memakai penutup kepala dan topeng. Mungkin aku tidak akan terlalu dicurigai. Kau hanya perlu meyakinkan mereka jika nanti ada yang bertanya,” kataku, mencoba menenangkan situasi.

“Baiklah,” jawabnya, sedikit lebih tenang.

Kami melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa saat, aku tersadar bahwa aku belum tahu namanya.

“Oh iya, aku belum tahu namamu,” kataku.

Dia menoleh dan berkata, “Namaku Zhoe.”

“Aku Triviat, senang berkenalan denganmu,” kataku sambil tersenyum. Kami terus berjalan, hingga akhirnya sampai di desa Beastman.

Prihatin. Itulah yang pertama kali terlintas dalam pikiranku ketika melihat desa ini. Kumuh dan penuh kesulitan. Rumah-rumah mereka hanya berupa tenda yang tampak tak layak. Desa ini mungkin pernah dijarah manusia, meninggalkan luka yang dalam.

Zhoe membawaku ke rumahnya, yang untungnya tak menarik perhatian penduduk lain. Dia menunjukkan tempat adiknya biasa berlatih memanah.

“Di sini dia biasa berlatih. Itu papan sasarannya. Sepertinya waktu itu, panahnya meleset dan masuk ke hutan, lalu dia pergi mencarinya,” kata Zhoe, menunjuk ke arah yang dimaksud.

Aku memperhatikan sekeliling, mencoba mencari petunjuk. Kami memutuskan untuk masuk ke dalam hutan, mencari dengan seksama, namun tidak menemukan apapun. Zhoe mengatakan bahwa dia sudah menyusuri hutan ini sebelumnya dan bertanya pada orang sekitar, tapi belum menemukan apapun.

Saat hari mulai sore, kami memutuskan untuk kembali dan beristirahat. Namun, dalam perjalanan pulang, sesuatu menarik perhatianku.

“Huh?”

Aku melihat sebuah pohon tua yang kering, dengan bekas goresan anak panah di batangnya. Aku segera memberitahu Zhoe, dan kami mendekati pohon tersebut.

“Kau benar, ini bekas goresan anak panah!” seru Zhoe.

Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh bekas itu, tetapi tiba-tiba...

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang