Chapter 15 : Monster Pohon

7 3 0
                                    

Aku menatap goresan di kulit pohon tua itu, bekas anak panah yang tertancap dalam dan kini hanya menyisakan lekukan samar. Adiknya Zhoe mungkin pernah berada di sini, pikirku. Tanda itu tidak bisa diabaikan. Semakin lama kami mencari, semakin terasa bahwa kami mendekati jawabannya.

Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, sebuah getaran aneh merambat dari tanah ke kakiku. Pohon tua itu bergerak. Akar-akar besar menggeliat di tanah, seperti cacing yang merayap mencari mangsa, dan dalam sekejap, pohon itu membuka rahangnya seperti makhluk buas yang siap melahapku.

Aku terlonjak mundur, jantungku berdegup kencang, berusaha menjauh dari rahang pohon yang menganga. "Zhoe, cepat ke sini!" teriakku panik.

Zhoe langsung berlari mendekat, tombaknya teracung dengan sigap. Mata kuningnya bersinar tajam saat ia menatap pohon itu. Bulu-bulu tebal di lengannya berdiri tegak, menandakan bahwa ia juga merasakan bahaya yang sama.

"Ada apa?" suaranya terdengar dalam, penuh kewaspadaan.

"Pohon ini... aku menemukan bekas anak panah di sini. Aku yakin Zika pernah ada di sini, tapi pohon ini hidup!" suaraku keluar terengah-engah, berusaha menenangkan diri tapi gagal sepenuhnya.

Zhoe mengerutkan dahi, ekspresinya keras. Dia melangkah lebih dekat ke pohon itu, meneliti goresan bekas anak panah di batang kayu tua itu. Lalu, seolah tersadar, dia menatapku. "Kalau begitu, bisa jadi adikku masih terjebak di dalamnya."

Kalimat itu membuat tenggorokanku tercekat. Jika Zika benar ada di dalam pohon ini, dia bisa saja telah terjebak selama berhari-hari, atau bahkan lebih lama. Tanpa berpikir panjang, kami memutuskan untuk bertindak.

"Kita harus mencari cara masuk," ujarku.

Zhoe mengangguk dan menyiapkan tombaknya. "Aku akan menahannya, kau masuk dan cari adikku."

Aku mendekati pohon itu lagi dengan hati-hati. Aku tahu bahwa menyentuhnya akan memicu sesuatu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Dengan napas tertahan, aku meletakkan tanganku di batang kasar itu.

Tiba-tiba, rahang pohon terbuka lebih lebar, akar-akar kayunya seperti gigi tajam yang siap melahap apa pun yang ada di depannya. Tapi Zhoe dengan cepat bertindak. Dia menghunjamkan tombaknya di antara rahang pohon, menahannya tetap terbuka.

"Tombakku cukup kuat," katanya dengan suara tegas. "Itu akan menahan rahangnya tetap terbuka."

Aku menatap Zhoe, lalu ke dalam lubang gelap yang terbuka di tengah pohon itu. Lubang itu seperti mulut yang tak berujung, mengarah ke kegelapan yang lebih dalam. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengangguk pada Zhoe. "Aku akan masuk. Siapkan tali. Jika aku tidak kembali dalam beberapa menit, kau tahu apa yang harus dilakukan."

Zhoe hanya mengangguk, tidak perlu kata-kata lebih lanjut.

Dengan hati yang dipenuhi kecemasan, aku melompat ke dalam kegelapan. Udara di dalam sana terasa berat dan lembap, seperti sedang memasuki perut bumi. Setiap langkah yang kuambil bergema pelan di lorong gelap itu, dan seiring aku melangkah lebih dalam, sebuah cahaya redup mulai terlihat di ujung lorong.

Akhirnya, aku melihat Zika. Dia duduk di sudut, bersandar pada akar besar yang menonjol dari dinding pohon. Tubuhnya berlumuran kotoran, dan meski tampak lemah, dia masih memegang busurnya dengan tangan gemetar.

"Zika!" Aku memanggilnya dengan nada lega, berharap dia masih cukup sadar untuk menjawab.

Dia mendongak perlahan, matanya buram. "Siapa kau?" suaranya serak, penuh kelelahan. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang masih penuh semangat bertahan.

"Aku diutus oleh kakakmu, Zhoe! Kami datang untuk menyelamatkanmu!" aku menjawab dengan cepat sambil bergegas mendekat.

Sebelum aku bisa lebih dekat, akar-akar di sekitar Zika mulai bergerak. Mereka mencuat dari tanah, mencoba membelitku. Aku mencabut pedangku dan menebas satu akar yang melesat ke arahku, tapi setiap kali aku menebas satu, dua akar lagi muncul menggantikannya.

Meski tampak lemas, Zika berusaha bangkit dan mengangkat busurnya. Dengan tangan gemetar, dia menarik tali busur dan melepaskan anak panah. Anak panah itu melesat dan menancap tepat di akar yang hampir membelit kakiku.

"Kita harus keluar dari sini... sekarang," katanya, suaranya serak tapi penuh tekad.

Aku mengangguk. Bersama, kami terus melawan akar-akar yang semakin liar. Setiap kali aku menebas satu akar, Zika melepaskan anak panah untuk menahan yang lain. Meskipun tenaganya hampir habis, dia tidak berhenti membantu.

"Zhoe! Tali, cepat!" Aku berteriak ke atas, berharap suaraku cukup keras untuk terdengar.

Beberapa detik kemudian, tali terlempar dari atas. Aku segera mengikatnya di pinggangku, lalu membantunya mengikat di Zika. Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku membantu Zika bangkit, meski dia tampak goyah dan lemas. Bersama-sama, kami mulai naik ke atas, satu per satu langkah. Akar-akar itu terus mengejar, mencoba menarik kami kembali, tapi dengan kekuatan terakhir, kami berhasil keluar dari rahang pohon itu.

Begitu di atas, Zhoe menarik kami ke tempat aman. Zika, meski lelah, segera memeluk kakaknya. Tubuhnya masih bergetar karena kelelahan, tapi dia tetap memegang busurnya erat-erat.

"Kak... aku baik-baik saja sekarang," katanya, suaranya pelan, hampir berbisik.

Zhoe menatap adiknya dengan mata penuh kasih. "Kau sudah berjuang keras, Zika. Aku tahu kau kuat."

Aku, yang masih terengah-engah setelah pertarungan melelahkan itu, perlahan melepas topengku untuk bisa bernapas lebih lega. Saat udara segar menyentuh wajahku, aku merasa sedikit lebih ringan. Tapi saat Zika melihat wajahku, ekspresinya berubah drastis.

Mata Zika menyipit tajam, bibirnya tertutup rapat. Seolah ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.

"Kau... manusia?" tanya Zika tiba-tiba, suaranya dingin dan penuh kebingungan.

Aku terdiam sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar. "Ya... aku manusia," jawabku perlahan, masih bingung dengan reaksi Zika.

Zika terdiam, matanya membesar seolah melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Raut wajahnya perlahan berubah-marah, kecewa, dan penuh kebencian, seakan kebenaran yang baru saja terungkap menghancurkan semua harapannya.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang