Chapter 19 : Kehilangan Bukan Akhir

4 2 0
                                    

Perjalanan menuju Arvandor terasa panjang, namun aku terbiasa dengan kesendirian dan langkah-langkah tanpa arah pasti. Angin berdesir, membawa dingin yang menggigit, sementara dedaunan berguguran di sepanjang jalan. Aku merasa tenang dalam keheningan ini, meski masih ada sesuatu yang menggantung di pikiranku—sebuah ketidakpastian yang belum kunjung menemukan jawaban.

Saat melewati hutan lebat di suatu sore, aku mendengar suara-suara samar di kejauhan. Suara langkah kuda, mungkin seorang pelancong lain. Namun, tak lama kemudian, suara yang lain menyusul—sebuah bunyi keras dari busur yang dilepaskan. Naluriku langsung bereaksi. Aku melihat di depanku seorang pria berpakaian bangsawan, tak menyadari bahwa dirinya sedang dalam bahaya.

Anak panah terbang cepat menuju dirinya, dan tanpa berpikir panjang, aku berlari dengan kecepatan penuh. Detik-detik terasa melambat saat aku berhasil mendorongnya ke samping, menyelamatkannya tepat waktu. Anak panah itu tertancap di tanah, hanya beberapa inci dari tempatnya berdiri sebelumnya.

Pria bangsawan itu terjatuh ke tanah, terkejut, sementara aku berdiri menghadap ke arah penyerang. Seorang pria dengan busur di tangan tampak tergesa-gesa saat menyadari bahwa serangannya gagal. Dia melepaskan beberapa anak panah lagi, namun dengan cepat aku meloloskan diri dan mendekatinya, membuatnya kabur ke hutan sebelum sempat mencoba lebih jauh.

Setelah semuanya tenang, aku kembali ke pria bangsawan itu, yang masih tampak kebingungan. Dia berdiri perlahan, membersihkan pakaiannya yang kotor, lalu menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak.

“Terima kasih...” katanya, suaranya tenang, namun ada sesuatu yang aneh dalam ucapannya. “Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawaku dari perampok itu.”

Perampok? Aku memiringkan kepalaku sedikit, merasa ada yang janggal dengan kata-katanya. Penyerang tadi jelas bukan hanya sekadar perampok biasa. Namun, aku memilih untuk tak menghiraukannya, mungkin bangsawan ini tak benar-benar menyadari apa yang terjadi.

“Kau baik-baik saja?” tanyaku, mencoba mengalihkan percakapan.

Bangsawan itu tersenyum kecil, lalu memperkenalkan dirinya, “Namaku Asher, dari keluarga Van’Elda. Dan kau?”

“Triviat,” jawabku singkat, masih menjaga jarak, meski aku sudah menolongnya.

Asher terlihat ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku… sebenarnya butuh bantuanmu lagi.”

Aku mengerutkan kening. “Bantuan apa?”

“Di bukit sana, salah satu kudaku terlepas. Itu kuda yang sangat mahal dan berharga bagiku. Jika kau membantuku menangkapnya, aku akan sangat berterima kasih,” katanya, tampak gugup.

Aku menatapnya sejenak, merasa ada yang aneh lagi. Namun, aku memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Lagi pula, ini hanya soal menangkap seekor kuda. “Baiklah, aku akan membantumu.”

Kami berangkat bersama, menunggangi kuda miliknya menuju bukit yang dia maksud. Di sepanjang perjalanan, Asher mulai bercerita tentang dirinya. Keluarganya, Van’Elda, adalah salah satu keluarga penyihir ternama. Mereka dihormati karena pengetahuan sihir yang luas dan warisan kekuatan yang mereka bawa. Namun, ada kesan kosong dalam cara dia bercerita, seolah-olah semua itu tak lagi berarti baginya.

Aku mendengarkannya dengan saksama, meski lagi-lagi, sesuatu terasa janggal. Kenapa dia begitu terobsesi dengan kuda itu? Dan kenapa dia terlihat begitu gelisah? Tapi aku tetap diam, memilih untuk fokus pada tugas yang ada di depan mata.

Ketika kami tiba di tepi bukit, Asher turun dari kudanya, diikuti olehku. Pemandangan di sana sungguh indah—lembah yang luas terbentang dengan sinar matahari yang memantulkan warna-warni di atas permukaan air. Asher berdiri di sana, memandangi lembah itu dengan pandangan yang jauh, seolah sedang mengingat sesuatu.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang