Chapter 21 : Pulang

9 2 0
                                    

Selama beberapa bulan terakhir, hidupku berubah total. Awalnya aku tak tahu apa-apa tentang membuat roti, tapi di restoran kecil ini, di bawah bimbingan seorang koki bernama Marlowe, aku perlahan-lahan belajar. Dari menguleni adonan, memanggang dengan suhu yang tepat, hingga menyempurnakan rasa dan tekstur, semuanya menjadi rutinitas sehari-hariku. Setiap hari aku berlatih dan mempelajari trik-trik baru. Kesabaranku diuji, tapi juga membuatku semakin mahir.

Di akhir bulan-bulan yang panjang ini, aku akhirnya bisa membuat roti desert khas restoran ini dengan sempurna. Marlowe, sang koki, yang selama ini terlihat dingin dan ketat, akhirnya mulai memperlihatkan senyuman kecilnya setiap kali melihat hasil kerjaku.

Suatu pagi, ketika kami duduk di meja dapur setelah menyelesaikan adonan terakhir, Marlowe menatapku dengan sorot mata yang tak biasanya.

"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanyanya, menyesap cangkir kopinya.

Aku menatap keluar jendela sejenak sebelum menjawab, "Aku akan pulang. Buka tempatku sendiri. Mungkin sebuah kafe kecil... dengan pemandangan seperti yang kuinginkan."

Marlowe tertawa pelan, suaranya menggema di dapur yang kosong. "Hah, kau benar-benar serius, ya. Yah, aku setuju dengan itu. Kau punya bakat. Lagipula, tak mungkin kau terus bersembunyi di belakang topeng di sini."

Aku hanya tersenyum tipis, sedikit lega mendengar persetujuannya. Setelah semua ini, aku tahu waktuku di sini sudah cukup.

Hari terakhirku di restoran itu dipenuhi ucapan terima kasih. Aku berpamitan pada semua orang yang bekerja di sana—para pelayan, juru masak lain, dan tentu saja, Marlowe. Mereka semua memberiku dukungan dan doa baik.

Saat matahari mulai condong ke barat, aku berjalan keluar dari restoran, menatapnya untuk terakhir kali. Sebelum beranjak, aku memalingkan kepala ke arah Marlowe yang berdiri di ambang pintu, melambai dengan senyuman yang penuh makna.

Aku menarik napas dalam, lalu melangkah menuju perjalanan pulang. Kini, tujuanku jelas—rumah yang menantiku, dan mimpi yang harus kuwujudkan.

Beberapa hari berlalu, dan akhirnya aku tiba kembali di rumah di atas bukit yang sekarang terasa seperti milikku sendiri. Namun, kali ini aku melihatnya dengan mata yang berbeda. Ladang, peternakan, pohon-pohon buah, semuanya kini bukan hanya sebagai bagian dari lanskap, tetapi sebagai peluang besar. Dengan pengalaman yang kumiliki setelah tinggal di Arvandor, ada begitu banyak hal yang bisa kulakukan di sini. Mimpi membuka sebuah kafe perlahan mulai membentuk rencana nyata dalam benakku.

Setelah beristirahat sebentar di beranda, aku memutuskan untuk mulai mencoba. Aku melangkah ke peternakan kecil, mendekati salah satu sapi, dan dengan cermat mulai memerah susunya. Pengalaman memerah susu di peternakan milik Marlowe membuat pekerjaan ini terasa familiar. Setelah selesai, aku mengambil segelas susu segar, menyesapnya perlahan. Rasanya lembut dan segar, begitu berbeda dari apa pun yang pernah kuminum. Aku menikmatinya dalam keheningan pagi.

Aku lalu berjalan ke pohon buah yang tumbuh di sekitar rumah, pohon apel liar yang tampaknya sudah lama ada di sini. Dengan tenang, aku memetik beberapa buah, menggigitnya langsung. Manis dan segar, apel itu seperti menghubungkanku lebih dalam dengan tempat ini. Saat aku duduk di bawah pohon, memandang ke arah perbukitan yang melengkung perlahan, pikiranku mulai berkelana.

Dimana aku akan membuka kafe kecilku? Ada begitu banyak kota yang telah kukunjungi—setiap kota memiliki daya tarik tersendiri. Namun, tak ada yang benar-benar terasa seperti rumah. Mataku tertuju pada desa atau kota kecil yang pernah kulihat dari kejauhan, saat pertama kali menemukan rumah ini. Mungkin itu adalah tempat yang tepat. Tidak terlalu jauh dari sini, cukup dekat untuk tetap merasa seperti aku memiliki koneksi ke rumah ini.

Aku mengambil keputusan. Ini adalah langkah pertamaku untuk merealisasikan mimpiku. Kubiarkan pikiran itu menenangkanku sambil bersiap menunggangi salah satu kuda yang tersedia di rumah ini. Kuda itu tampak sehat dan kuat, dan aku pun segera memacunya menuruni bukit yang hijau. Angin segar menghantam wajahku, rumput bergoyang di bawah sinar matahari, dan langit terbentang luas di atas. Setiap langkah kuda terasa seperti bagian dari kebebasan baru yang kutemukan.

Namun, saat aku hampir mencapai kaki bukit, pikiran damai itu tiba-tiba terhenti. Suara langkah-langkah kuda lain terdengar semakin dekat, menandakan kedatangan orang yang tak terduga. Aku menoleh, mencoba melihat siapa yang mendekat. Apa yang mereka inginkan?

Langkah kuda mendekat dengan mantap, hingga akhirnya berhenti tepat di hadapanku. Di sana, tiga sosok berdiri tegap. Yang pertama, seorang wanita berambut putih panjang. Rambutnya jatuh lembut di atas armor perak yang berkilauan di bawah sinar matahari. Meski tampak anggun, ada aura dingin yang mengelilinginya. Tatapan matanya setajam es, menembus setiap gerakanku seolah mampu membaca niatku hanya dari satu lirikan. Di sisinya, seorang Elf laki-laki dengan raut serius dan sorot mata penuh kecurigaan, serta seorang Beastman wanita yang terlihat siap bertarung kapan saja.

 Di sisinya, seorang Elf laki-laki dengan raut serius dan sorot mata penuh kecurigaan, serta seorang Beastman wanita yang terlihat siap bertarung kapan saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Wanita itu tidak berkata apa-apa pada awalnya. Hanya memandangku, seperti sedang menimbang seberapa besar ancaman yang kubawa. “Kau,” ucapnya akhirnya, suaranya datar, tanpa emosi, “mengapa kau menyembunyikan wajahmu?”

Aku tetap diam sejenak sebelum menjawab. “Topeng ini hanyalah bagian dari diriku. Sama seperti armor di tubuhmu.”

Ia tidak terlihat terkesan. Sebaliknya, ia mendekatkan kudanya sedikit ke arahku. “Di daerah ini, penampilan seperti itu bisa menjadi alasan untuk dicurigai. Kami sudah melihat banyak orang yang mencoba menyembunyikan identitasnya demi hal-hal yang tak baik. Apa kau salah satu dari mereka?”

Suaranya tajam, seperti pisau yang siap memotong apa pun yang dianggapnya tidak jujur. Aku tetap tenang, tidak menunjukkan tanda panik. “Aku hanya pengelana. Mencari tempat untuk beristirahat, itu saja.”

Beastman wanita menoleh ke Elf, seolah ingin berbicara, tapi wanita berambut putih mengangkat tangannya untuk menghentikan. Dia tetap memusatkan perhatiannya padaku. "Kau mungkin pengelana, tapi penampilanmu membuatmu lebih dari sekadar itu. Kami tak punya waktu untuk main-main. Apa tujuanmu di sini?"

Aku menghela napas pelan, sedikit kesal dengan interogasi ini. “Tujuanku hanya menuju kota. Tidak lebih.”

Dia memandangi kudaku sejenak, lalu kembali menatapku dengan tatapan dingin yang menusuk. “Baik. Kami tak akan menghalangimu.” Dia melirik Elf di sebelahnya, memberi isyarat kecil yang memerintahkan mereka untuk mundur. “Tapi ingat ini, pengelana,” suaranya lebih dingin, seperti peringatan terakhir. “Jika kau mencoba melakukan sesuatu yang mencurigakan di kota itu, kami akan tahu.”

Aku mengangguk, tidak ingin memperpanjang percakapan ini. “Terima kasih,” jawabku singkat.

Dia tidak merespons, hanya memandangku sekali lagi sebelum menarik tali kudanya dan melangkah mundur, memberi jalan. Beastman dan Elf mengikuti tanpa berkata apa-apa lagi.

Aku menaiki kudaku dan melanjutkan perjalanan, merasakan tatapan mereka yang terus memantauku sampai akhirnya aku meninggalkan pandangan mereka. Meski mereka telah membiarkanku pergi, ada rasa dingin yang tersisa dari pertemuan itu—seolah kehadiran wanita berambut putih tadi masih membekukan udara di sekitarku.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang