Chapter 24 : Akhir Yang Menjadi Awal

7 3 0
                                    

Beberapa hari telah berlalu sejak tokoku dibuka. Aroma roti yang baru dipanggang menyebar ke seluruh sudut desa kecil ini, menarik perhatian para pelanggan yang mulai berdatangan. Suatu pagi, aku melihat sekumpulan gadis dari akademi berbincang-bincang sambil menikmati roti dan susu yang kutawarkan. Mereka tampak ceria, namun di balik senyuman mereka, aku merasakan ketegangan di udara.

“Kenapa toko yang bagus seperti ini baru dibuka di saat-saat terakhir?” salah satu dari mereka bertanya, suaranya sedikit bergetar. Pertanyaan itu menggugah rasa ingin tahuku. Aku mendekat, berusaha mendengarkan percakapan mereka.

Mereka berbicara tentang desa ini yang mungkin tidak akan bertahan lama lagi. Sebuah kerajaan berencana untuk mengambil tanah ini. Aku merasa jantungku berdegup kencang. Kerajaan mana yang mereka maksud? Kenapa aku tidak mendengar tentang ini sebelumnya? Pikiranku melayang jauh, mengingat saat-saat ketika aku meninggalkan kerajaan Gatarta, tempat di mana aku dulu pernah menjadi anggota militer.

Tiba-tiba aku melihat sekelompok orang berkuda mendekat. Salah satu dari mereka, seorang wanita berambut putih, terlihat sangat fokus dan tegang, seolah mengawasi sekelilingnya dengan cermat. Meskipun aku merasa ada sesuatu yang familiar, aku tidak bisa langsung mengenali siapa dia.

“Lihat! Itu Lucia!” seru salah satu gadis pelangganku kepada temannya.

Mendengar nama itu, aku terkejut. Wanita berambut putih itu ternyata Lucia, sosok pertama yang kutemui sebelum aku datang ke kota ini. Dia mungkin adalah ksatria yang melindungi tempat ini Ketegangan di wajahnya membuatku merasa bahwa ancaman memang dekat, dan semakin memperkuat rasa kewaspadaanku terhadap situasi yang akan datang.

“Aku harus tahu lebih banyak,” gumamku pada diri sendiri. Dengan langkah cepat, aku pergi menuju rumah tetanggaku, seorang Beastman tua yang seringkali memiliki informasi berharga.

“Pak Tua,” panggilku saat aku mendekatinya, “kerajaan mana yang akan menyerang desa kita?”

Tatapannya yang penuh kebijaksanaan menyiratkan kesedihan. “Gatarta. Mereka mengirimkan surat kepada ratu kita,” jawabnya pelan. Hatiku serasa terhimpit. Gatarta—tempat yang kutinggalkan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

“Siapa yang akan memimpin pasukan? Komandan? Apakah itu komandan Dyrus?” pikirku. Rasa nostalgia menyelimuti pikiranku. “Sepertinya bukan. Satu tahun lalu, itu adalah masa jabatan terakhirnya. Jika aku masih berada di sana, mungkin akulah yang akan menjadi komandan saat ini. Tapi jika bukan aku, siapa?” Tiba-tiba, sosok seseorang yang kukenal, muncul dalam benakku.

“Bisa jadi Callan,” gumamku. “Aku harus memastikan.”

Dengan tekad, aku menuju istana. Namun, saat aku mendekati gerbang, seorang penjaga menghentikanku. “Siapa kau? Apa urusanmu di sini?”

“Aku ingin membicarakan tentang perang yang mungkin akan terjadi,” jawabku tegas. Dengan ragu, ia memandangku sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan membiarkanku masuk.

Istana itu tidak terlalu mewah, tetapi memiliki pesona tersendiri. Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan indah yang menggambarkan sejarah kerajaan. Aku berjalan menyusuri lorong hingga tiba di sebuah ruangan kecil yang menjadi tempat kerja ratu. Saat aku masuk, aku menemukan ratu berambut pirang yang sedang menatap jendela, seolah-olah mencari jawaban di luar sana.

“Ratu,” sapaku dengan nada hormat, “aku datang untuk membahas situasi yang mengancam desa kita.”

Dia berbalik, menatapku dengan mata biru yang tajam. “Siapa kau?” tanyanya, sedikit terkejut.

“Aku Triviat,” jawabku, mencoba menjelaskan. “Aku pernah menjadi bagian dari Gatarta. Aku tahu apa yang bisa terjadi jika perang pecah.”

“Triviat?” Dia mengernyit. “Aku tidak mengenalmu. Tapi jika kau tahu tentang Gatarta, mungkin ada yang bisa kau bantu.”

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang