Chapter 16 : Zika

3 2 0
                                    

Mata Zika menyipit tajam, bibirnya tertutup rapat. Seolah ada sesuatu yang menggelegak di dalam dirinya.

“Kau... manusia?” tanya Zika tiba-tiba, suaranya dingin dan penuh kebingungan.

Aku terdiam sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar. “Ya... aku manusia,” jawabku perlahan, masih bingung dengan reaksi Zika.

Zika terdiam, matanya membesar seolah melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Raut wajahnya perlahan berubah marah, kecewa, dan penuh kebencian, seakan kebenaran yang baru saja terungkap menghancurkan semua harapannya.

“Kamu... seperti semua manusia yang menghancurkan hutan kami,” kata Zika dengan suara yang menggema penuh dendam. “Mengapa kamu mengganggu tempat kami?”

Aku mencoba menjelaskan, “Aku tidak datang untuk mengganggu. Kami hanya ingin menemukanmu dan membawa kedamaian.”

Namun, Zika tidak memberikan kesempatan untuk menjelaskan lebih lanjut. “Kedamaian? Kedamaian yang kamu bawa hanya membawa kehancuran. Kami telah kehilangan banyak karena kehadiran manusia.”

Zhoe segera turun tangan, berusaha menenangkan adiknya. “Zika, dia di sini untuk membantu. Kita semua butuh kedamaian.”

Zika menatap Zhoe dengan mata penuh kemarahan. “Kau ingin mengkhianati ras kita, kakak? Dia tidak bisa dipercaya. Manusia tidak tahu cara menjaga hutan ini.”

Zika mengangkat busurnya, mengarahkannya ke arahku. Ketegangan memuncak ketika aku dan Zika berdiri berhadapan, siap untuk bertarung. Zhoe terlihat putus asa, tahu bahwa konflik ini bisa merusak hubungan kami.

“Aku tidak ingin bertarung,” kataku, mencoba menjaga jarak antara kami. “Tapi jika itu yang kau inginkan, aku tidak bisa menolaknya.”

Zika melangkah maju, mempersiapkan anak panahnya. “Kau akan menyesali keputusanmu.”

Dengan gerakan cepat, dia melepaskan anak panahnya. Instinctku muncul, dan meskipun aku berusaha untuk tidak melukai Zika, aku berhasil menghindar dari serangannya. Namun, saat anak panah itu terbang, aku merasakan bahwa Zika semakin terpuruk dalam kemarahannya.

“Zika, jangan!” teriak Zhoe, mencoba untuk menghentikannya. “Kita harus bersatu, bukan bertarung!”

Zika tidak menghiraukannya. Dalam pikirannya, dia melihatku sebagai musuh, seseorang yang harus dihadapi demi melindungi tempat yang dia cintai.

Aku berusaha tidak menggunakan kemampuan penuhkku, memilih untuk melindungi diri dengan keterampilan dasar, menghindar dan menjauh dari serangan yang dilancarkan Zika. Meski terdesak, aku tidak ingin melawan balik secara serius.

“Bertarunglah sekuat yang kau bisa,” katanya, nada suaranya mencerminkan kebencian yang mendalam. “Buktikan bahwa kau bukan musuh!”

Aku tahu bahwa jika aku mengeluarkan seluruh kemampuanku, pertempuran ini akan berakhir dengan cepat. Tapi mengalah adalah pilihan terbaik. Menghadapi Zika dengan kekuatan penuh hanya akan menghancurkan semangatnya lebih dalam.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayai manusia lagi,” katanya, suaranya melemah.

Kebingungan melanda pikiranku, seolah-olah lautan pilihan menghempaskanku tanpa henti. Aku merasa terjebak di persimpangan tak berujung, setiap opsi yang ada terasa berat di pundakku. Dengan suara yang bergetar, aku mengeluarkan kata-kata yang seolah tak mampu ku tahan lagi,

“Jika kau menginginkan ini, bunuh aku saja!” teriakku, merasa terdesak oleh situasi yang semakin tegang. “Kalau itu yang membuatmu merasa lebih baik, lakukanlah!”

Zika menatapku dengan mata penuh kemarahan, busurnya tetap mengarah ke arahku. “Kau pikir membunuhmu akan menyelesaikan semuanya? Itu tidak akan mengubah apa pun!”

“Aku tidak ingin menjadi bagian dari semua ini!” jawabku, nada suaraku penuh putus asa. “Aku sudah cukup melihat kekejaman. Bunuh aku jika itu yang kau inginkan!”

Zika terdiam sejenak, matanya berkilau dengan kebingungan dan kemarahan. “Aku tidak akan membunuhmu,” katanya dengan tegas. “Jika aku melakukannya, maka aku tidak ada bedanya dengan manusia. Kami bukan seperti mereka!”

Aku tercengang dengan jawabannya. Kenapa dia tidak membunuhku ketika dia bisa? Di saat itu, aku menyadari bahwa Zika memilih jalan yang berbeda, jalan yang lebih tinggi dari sekadar kekerasan.

Dengan menurunkan busurnya, Zika menatapku dengan penuh keyakinan. “Aku tidak akan membunuhmu. Karena jika aku melakukannya, aku akan kehilangan diriku sendiri.”

Aku terdiam, terperangkap dalam kata-kata Zika yang menggaung di pikiranku. “Jika aku melakukannya, aku akan kehilangan diriku sendiri.” Kata-kata itu terus berputar dalam benakku, mengingatkanku pada semua keputusan yang telah kuambil dan bagaimana jalan hidupku yang dipenuhi darah dan kekerasan telah membawa kehampaan.

“Zika...” suaraku bergetar saat aku berusaha mencari kata-kata yang tepat. Namun, sebelum aku bisa melanjutkan, Zhoe, kakak Zika, melangkah maju dengan ekspresi serius di wajahnya.

“Aku minta maaf,” Zhoe berkata, suaranya tegas. “Adikku mungkin sudah terpengaruh oleh semua yang terjadi. Dia tidak seharusnya mengarahkan kemarahannya padamu. Ini semua adalah kesalahanku juga.”

Aku terkejut mendengar permintaan maaf Zhoe. “Kau tidak perlu minta maaf,” jawabku cepat. “Aku yang seharusnya pergi. Aku sudah menyebabkan banyak masalah.”

“Tidak,” Zhoe bersikeras. “Kami mungkin adalah bagian dari konflik yang lebih besar, tetapi bukan berarti kami tidak bisa bertindak dengan cara yang benar. Zika masih muda, dan aku seharusnya melindunginya dari semua ini. Aku berharap kami bisa melakukan lebih banyak untuk membantu.”

Hatiku bergetar mendengar kata-kata Zhoe. Dia tampak sangat peduli pada adiknya, dan saat itu aku merasa berat untuk meninggalkan mereka. Namun, aku tahu, untuk melanjutkan, aku harus pergi. Ada banyak hal yang harus kutelusuri, dan rasa bersalahku mengikatku pada masa lalu.

“Zhoe, terima kasih atas segalanya,” kataku, berusaha mengungkapkan rasa terima kasihku. “Aku akan mencari cara untuk memperbaiki diri dan menyelesaikan semuanya.”

Zhoe mengangguk, dan aku melihat kilasan harapan dalam tatapannya. “Semoga kau menemukan apa yang kau cari. Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk kembali.”

Dengan itu, aku melangkah menjauh dari desa dan dari mereka. Setiap langkah terasa berat, tetapi aku tahu bahwa ini adalah jalan yang harus kuambil. Dalam hatiku, aku berdoa agar mereka menemukan jalan yang lebih baik.

Saat aku menjauh, rasanya seolah seberkas cahaya baru mulai menyinari jiwaku. Keputusan ini bukan hanya untuk Zika dan Zhoe, tetapi juga untukku. Sebuah kesempatan untuk mengubah jalan hidupku, meninggalkan semua yang menyakitkan dan mencari arti dari keberadaan ini.

Dengan napas dalam, aku terus berjalan ke arah yang tidak pasti, bertekad untuk menemukan diriku yang sebenarnya dan membawa perubahan yang lebih baik, bukan hanya untuk diriku, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarku.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang