Chapter 13 : Dwarf & Telur Naga

6 3 0
                                    

Pagi itu, langit mendung menutupi perjalanan panjangku yang kini sudah berlangsung selama dua bulan. Setelah berhasil menyelamatkan desa para elf beberapa minggu lalu, aku terus melangkah tanpa tujuan yang jelas, menikmati perjalanan yang seolah tanpa akhir, tanpa konflik yang berarti.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika aku tiba di kaki sebuah bukit. Suara pertempuran dari puncak bukit memecah keheningan, dan rasa penasaran pun mendorongku untuk mendakinya. Aku tak tahu apa yang akan kutemukan di atas sana, tapi dorongan untuk mencari tahu membuat langkahku semakin cepat.

Setelah mencapai puncak, aku segera bersembunyi di balik bebatuan, mengamati dengan hati-hati pertempuran yang sedang berlangsung di hadapanku. Aku belum tahu siapa yang terlibat dalam pertarungan itu, hingga aku mengintip dan melihat sekelompok petualang sedang bertarung melawan seekor naga raksasa. Napasku tertahan saat melihat naga itu mengeluarkan semburan api biru, mengancam para petualang yang mencoba mengalahkannya.

Aku segera menyadari bahwa petualang-petualang itu bukan sembarangan. Mereka pasti petualang tingkat tinggi dengan kemampuan yang sudah terasah. Menghadapi seekor naga, salah satu monster paling berbahaya, bukanlah tugas yang bisa dilakukan oleh orang biasa. Aku terus memperhatikan saat pertempuran semakin sengit, dan jelas terlihat bahwa mereka mulai kewalahan menghadapi kekuatan naga tersebut.

Tiba-tiba, pemimpin kelompok petualang itu, dengan gerakan yang penuh kepercayaan diri, melompat ke arah naga tanpa rasa takut sedikit pun. Naga itu mencoba menyerangnya dengan semburan api lagi, namun sang pemimpin menghindarinya dengan mudah. Dengan cepat, ia menebaskan pedangnya yang besar, membuat naga itu menjerit kesakitan.

Para anggota lainnya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka segera menyerang dengan sihir-sihir mereka, menghujani naga itu dengan serangan bertubi-tubi. Naga itu tak mampu bertahan dan akhirnya jatuh ke tanah, membuat para petualang bersorak kegirangan. Mereka telah berhasil mengalahkan salah satu monster terkuat, sebuah pencapaian besar bagi mereka. Level mereka naik, quest terselesaikan, dan semua usaha mereka kini terbayar lunas.

Setelah mereka pergi, meninggalkan bangkai naga yang masih tergeletak di sana, aku keluar dari tempat persembunyianku dan mendekati bangkai itu. Kulitnya dipenuhi luka dan darah, sebuah pemandangan yang brutal namun sekaligus mengingatkanku akan kekuatan yang baru saja dikalahkan. Aku menyentuh tubuh naga itu, merasakan dinginnya kulit yang telah mati, dan berdiri diam sejenak, memikirkan apa yang baru saja terjadi.

Tiba-tiba, mataku menangkap sesuatu. Sebuah gua besar tak jauh dari tempat naga itu jatuh. Aku segera menduga bahwa gua itu adalah sarangnya. Dengan hati-hati, aku melangkah menuju gua tersebut. Gemuruh petir mulai terdengar, tanda bahwa hujan akan segera turun. Aku memasuki gua itu, yang semakin gelap seiring dengan setiap langkah yang kuambil.

Dan tiba-tiba, aku berhenti, terkejut oleh sesuatu yang ada di hadapanku.

Ketika aku melihat ke depan, aku tak bisa menahan keterkejutanku. Di sana, di atas tumpukan batu, terdapat dua butir telur besar dengan motif sisik yang aneh. Tak perlu diragukan lagi, ini pasti telur dari naga yang baru saja dibunuh oleh para petualang. Naga yang menjadi induk dari telur-telur ini kini tak lagi ada, meninggalkan mereka sendirian di dunia yang keras ini.

Kebingungan pun mulai melanda pikiranku. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku pergi begitu saja, meninggalkan telur-telur ini tanpa induk, ataukah aku harus menghancurkannya? Pikiranku berputar-putar tanpa arah, mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Setelah berkutat dengan kebingungan itu cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan gua ini. Mungkin lebih baik jika aku membiarkan alam yang mengambil alih. Aku melangkah pergi, meninggalkan sarang naga itu di belakangku, namun meski aku berhasil menjauh cukup jauh, pikiran tentang telur-telur itu tetap menghantui. Rasa bersalah dan iba terus menghantamku, walaupun aku tahu bukan tugasku untuk menjaga mereka.

Hujan mulai turun saat aku berjalan. Meski basah kuyup, aku memilih untuk melanjutkan perjalanan tanpa mencari tempat berteduh. Namun, langkahku terhenti ketika melihat seorang kakek tua bersama keledainya. Gerobaknya tersangkut di antara pepohonan, membuatnya kesulitan untuk melanjutkan perjalanan. Aku mengenali ciri-ciri tubuhnya yang kecil, jelas bahwa dia adalah seorang Dwarf, pengrajin terampil dari pegunungan.

Aku mendekat dan menawarkan bantuan, yang awalnya membuatnya terkejut. Setelah beberapa usaha bersama, kami akhirnya berhasil mengeluarkan gerobak itu dari jeratan pepohonan. Hujan pun mulai reda, dan kami melanjutkan menyusun barang-barang yang jatuh dari gerobak itu.

"Terima kasih, nak. Jika bukan karena bantuanmu, mungkin aku masih terjebak di sini seharian," ujar kakek Dwarf itu dengan tulus.

Aku hanya tersenyum di balik topengku dan mengangguk. Setelah beberapa percakapan ringan, pikiranku kembali pada telur naga di gua. Penasaran dengan pendapat si kakek, aku akhirnya bertanya.

"Kakek, apa menurut Anda naga itu jahat? Maksudku, jika aku bertemu mereka, apakah aku harus membunuhnya?"

Kakek Dwarf itu tersenyum bijak. "Jika mereka mengusik atau membahayakanmu, kau berhak mempertahankan diri. Tapi jika tidak, biarkan saja mereka. Mereka juga makhluk hidup, sama seperti kita."

Jawabannya membuatku merasa lebih lega, namun mataku kemudian tertuju pada sebuah ember kayu besar di tanah. Kakek itu melihat pandanganku dan menjelaskan bahwa ember itu biasa digunakan untuk menimba air, namun karena ukurannya terlalu besar, dia berencana membuat yang baru.

"Jika kau membutuhkannya, kau boleh mengambilnya," tawarnya dengan senyum.

Aku berterima kasih padanya, dan setelah berpamitan, kami melanjutkan perjalanan masing-masing.

Saat sore hari tiba, aku berada di tepi sungai. Menggunakan ember pemberian kakek itu, aku menimba air bukan untuk diriku, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar. Setelah mengumpulkan air, aku juga memetik beberapa buah dari pohon koejawel yang tumbuh di dekat sungai. Lalu aku kembali ke tempat yang telah kutinggalkan pagi itu-sarang naga.

Bangkai naga yang telah dibunuh para petualang kini dikerubungi oleh hewan-hewan kecil. Aku tidak peduli dengan itu, fokusku adalah pada dua butir telur naga yang masih tergeletak di dalam gua. Dengan hati-hati, aku meletakkan ember berisi air dan beberapa buah koejawel di dekat telur-telur itu.

Aku tak tahu apakah naga-naga itu akan memakan buah-buahan ini saat mereka menetas. Tapi aku merasa lebih baik telah melakukan sesuatu untuk mereka, meski aku tahu tak mungkin aku bisa merawat mereka. Setelah itu, aku pergi, meninggalkan sarang naga dan melanjutkan perjalanan yang masih panjang.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang