Chapter 11 : Keramahan Di Desa Elf

12 2 3
                                    

Setelah menyetujui permintaan kepala desa, aku segera memanggil seluruh anggota pasukan keamanan untuk berkumpul dan membahas rencana menghadapi Giant yang kemungkinan besar akan menyerang desa. Kami berkumpul di balai desa, sebuah bangunan kayu besar yang terletak di tengah-tengah desa, di mana cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela-jendela besar, memberikan suasana hangat namun tegang.

Anggota pasukan keamanan, dengan wajah-wajah serius dan mata yang penuh kewaspadaan, mendengarkan dengan saksama ketika aku menjelaskan strategi dan taktik yang harus diambil. Diskusi berjalan intens, dengan berbagai saran dan masukan yang dipertimbangkan.

Setiap detail kecil dibahas dengan teliti, memastikan tidak ada yang terlewatkan. Rapat berlangsung hingga matahari hampir tenggelam, dan suasana mulai berubah menjadi lebih tenang ketika kami akhirnya merasa siap untuk menghadapi ancaman yang akan datang.

Setelah selesai menyusun rencana, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak bersama kepala desa, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa di udara. Kami berjalan menyusuri jalan setapak desa yang dikelilingi oleh rumah-rumah kayu dengan atap jerami, menyesap udara segar sore hari yang membawa aroma bunga dan dedaunan. Desa elf ini memang luar biasa indah, dengan pohon-pohon besar yang rimbun dan aliran sungai yang jernih mengalir di sepanjang desa.

Saat kami berjalan, matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya keemasan yang menerangi desa dengan cahaya yang lembut. Pandangan mataku tertuju pada sebuah pohon yang berbeda dari yang lain. Pohon itu memiliki buah-buah berwarna cerah yang menggantung menggoda. "Itu pohon apa?" tanyaku penasaran, sambil menunjuk ke arah pohon tersebut.

Kepala desa menoleh ke arah yang kutunjuk dan tersenyum kecil. "Ah, itu adalah pohon koejawel," jawabnya dengan nada santai. Aku mengangguk, meskipun aku belum pernah mendengar tentang pohon itu sebelumnya.

Rasa ingin tahuku semakin bertambah, dan aku bertanya lagi, "Oh, apakah buahnya bisa dimakan?" Kepala desa mengangguk, "Tentu saja, jika Anda mau, Anda bisa mengambilnya."

Sebelum aku sempat merespons, seorang pria elf berambut panjang mendekat dengan langkah cepat dan berbisik sesuatu kepada kepala desa. Raut wajah kepala desa berubah sejenak, mencerminkan keseriusan yang mendadak muncul. "Oh, begitu ya? Baiklah, aku akan ke sana sebentar lagi," jawab kepala desa kepada pria elf itu.

Kemudian, kepala desa menoleh padaku dengan ekspresi sedikit menyesal. "Maaf, Tuan, saya harus pergi sekarang karena ada sesuatu yang mendesak. Anda bisa berkeliling desa ini sendiri. Jika butuh bantuan, pasukan keamanan ada di mana-mana," ujarnya sambil tersenyum kecil sebelum berbalik dan pergi. Aku hanya mengangguk, menyadari bahwa tanggung jawabnya sebagai pemimpin desa sangat besar.

Setelah kepala desa pergi, aku kembali memandang pohon koejawel itu. Dengan izin yang sudah diberikan, aku mendekat dan mulai memetik beberapa buah dari pohon tersebut. Buahnya terasa berat dan segar di tanganku, dan aku merasakan aroma manis yang menggugah selera. Aku berjalan perlahan, mencari tempat nyaman untuk menikmati buah ini, akhirnya menemukan sebuah pohon besar dengan cabang yang cukup kuat untuk kutempati.

Aku memanjat pohon besar itu dengan mudah, berkat latihan bertahun-tahun sebagai seorang prajurit. Di atas cabang yang kokoh, aku duduk dan membuka topengku, merasakan angin sore yang sejuk di wajahku. Aku menggigit buah koejawel dan merasakan rasa manis yang menyegarkan mengalir di mulutku. Sambil menikmati buah tersebut, aku melihat langit yang berubah warna dari oranye keunguan, memberikan pemandangan yang luar biasa indah.

Momen ini terasa sangat damai, jauh dari hiruk pikuk dan ancaman yang mungkin datang. Namun, kedamaian itu terganggu ketika aku mendengar suara seorang gadis memanggil namaku.

"Triviat! Apa itu kau?" Aku kaget mendengar namaku dipanggil, dan dengan cepat memakai topengku kembali. Aku menoleh ke bawah dan melihat Mila, gadis elf yang pertama kali kutemui, berdiri dengan wajah penasaran. "Iya, ini aku," jawabku sambil menatapnya.

Mila tampak lega melihatku, namun matanya penuh dengan pertanyaan. "Sedang apa kau di atas sana?" tanyanya sambil mengerutkan alis. Aku tersenyum kecil, merasa sedikit malu. "Beristirahat," jawabku singkat, mencoba memberikan kesan tenang.

"Eh! Kau mau bermalam di atas sana?" tanyanya terkejut, matanya melebar. Aku sedikit ragu-ragu sebelum menjawab, "Mungkin."

Mila tampak khawatir dan menggelengkan kepalanya. "Malam di sini sangat dingin, lho!" katanya dengan nada serius. Aku mengangguk, menyadari kebenaran kata-katanya. "Tak apa, aku sudah terbiasa," jawabku, mencoba meyakinkannya meskipun aku sendiri merasa tidak yakin.

"Turunlah dan bermalamlah di rumahku saja," tawarnya dengan nada tulus. Aku merasa bimbang, tidur di rumah pasti lebih nyaman, tetapi menginap di rumah gadis yang baru saja kutemui membuatku merasa canggung dan ragu.

Mila melihat keraguan di wajahku dan melanjutkan, "Tenang saja, keluargaku sangat ramah kepada orang asing." Kata-katanya sedikit meredakan kegelisahanku.

'Keluarga?, Apa Mila tinggal bersama orang tuanya?' kataku didalam hati. Setelah berpikir sejenak, aku akhirnya memutuskan untuk menerima tawarannya. "Baiklah, aku akan ikut denganmu," jawabku. Mila tersenyum lebar dan mengangguk.

Kami berjalan bersama menuju rumahnya, dan aku merasa sedikit lebih tenang. Saat kami tiba di rumahnya, aku terkejut melihat pemandangan yang ada di depanku.

"Mama, apa dia manusia?" tanya seorang anak perempuan elf kecil dengan mata penuh rasa ingin tahu.

"Shh! Jangan bersikap tidak sopan kepada tamu," ujar Mila sambil mengelus kepala anak itu. Aku tersenyum melihat interaksi mereka.

"Anakmu?" tanyaku dengan nada penasaran. "Iya, namanya Varina, anak pertamaku," jawab Mila sambil tersenyum hangat. Tak lama kemudian, seorang pria elf datang dengan menggendong bayi.

"Aku pulang. Eh, Tuan Triviat?" katanya terkejut. "Selamat datang, Zaffa," ujar Mila. Ternyata pria elf yang kutemui saat pertama kali datang ke desa adalah suaminya Mila.

Aku kira Mila adalah seorang gadis lajang yang belum menikah. Ternyata, ia sudah berkeluarga. Aku sedikit terkejut dan merasa sedikit canggung.

"Apakah Anda akan menginap di sini?" tanya Zaffa dengan ramah. "Iya, maaf merepotkan," jawabku sambil membungkuk. Zaffa tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tak apa, sayalah yang harus berterima kasih karena Anda sudah mau membantu desa kami," ujarnya.

"Makan malam sudah siap!" seru Mila, mengundang kami semua ke meja makan. Kami duduk bersama, dan aku merasa sangat diterima oleh keluarga mereka. Makanan yang disajikan sangat lezat, dan aku menikmati setiap gigitan sambil mendengarkan cerita-cerita mereka tentang kehidupan di desa ini.

Malam itu, aku tidur nyenyak di kamar yang disediakan untukku. Tempat tidurnya sederhana, tetapi sangat nyaman. Setelah hari yang panjang dan penuh kejadian, aku merasa sangat lelah.

Aku terbangun saat fajar, karena mendengar suara kayu yang dipukulkan keras berkali-kali. Suara itu sangat keras dan mengganggu, membuatku segera bangun dari tempat tidur.

Aku keluar rumah dan melihat seorang anggota pasukan keamanan berlari sambil mengumumkan, "PARA GIANT DATANG! SEMUANYA HARAP PERSIAPKAN DIRI KALIAN!" Aku terkejut mendengar pemberitahuan itu, dan tanpa ragu aku segera bersiap untuk menghadapi serangan Giant yang akan datang. Adrenalin mengalir deras dalam tubuhku, dan aku tahu bahwa pertempuran besar akan segera dimulai.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang