Chapter 7 : Slime, Bunuh atau Tidak?

15 3 0
                                    

Siang hari yang cerah menyelimuti seluruh alam, dengan sinar matahari yang hangat namun tidak menyengat. Cuaca terasa seimbang; tidak terlalu panas, dan juga tidak terlalu dingin—sebuah hari yang sempurna untuk memulai petualangan baru. Setelah meninggalkan kerajaan Gatarta, tempat yang pertama kali kutuju adalah sebuah hutan yang cukup lebat, yang dikenal dengan nama Lembah Kematian.

Lembah Kematian adalah sebuah wilayah yang terkenal di kalangan para petualang. Nama ini bukanlah sekadar sebutan; tempat ini memang dikenal sebagai sarang berbagai monster, dari yang level rendah hingga yang memiliki kekuatan yang menakutkan. Di sinilah para petualang seringkali mencari tantangan, baik untuk menyelesaikan misi membunuh monster, maupun sekadar untuk meningkatkan status petualang mereka. Dari tingkatan C, mereka berambisi untuk naik ke B, kemudian A, dan seterusnya. Makin tinggi tingkatan yang mereka capai, semakin kuat pula mereka.

Ini menciptakan semangat kompetisi di antara para petualang, yang berlomba-lomba membuktikan kemampuan mereka dengan mengalahkan monster-monster yang berkeliaran di lembah ini.

Namun, tujuan kedatanganku ke Lembah Kematian ini berbeda. Monster memang menjadi alasan aku melangkah ke tempat ini, tetapi bukan untuk menyelesaikan quest, atau berburu mereka. Tujuanku yang sebenarnya murni hanya ingin mengamati keindahan yang tersembunyi di balik bayang-bayang hutan ini.

Saat aku melangkah masuk ke dalam hutan, semakin dalam aku melangkah, pencahayaan mulai meredup. Pepohonan yang menjulang tinggi dengan dedaunan yang lebat seakan menghalau sinar matahari, menciptakan suasana misterius di sekelilingku. Namun, tak lama kemudian, cahaya matahari mulai kembali menembus celah-celah pepohonan, seolah memberi tanda bahwa aku akan segera keluar dari hutan yang lebat ini.

Dan benar saja, setelah melewati beberapa semak-semak yang rimbun, pandanganku tertuju pada padang rumput hijau yang terbentang luas, memancarkan keindahan yang luar biasa. Semilir angin yang berhembus lembut membuat rambutku sedikit berterbangan, menambah kesan damai pada pemandangan yang ada di hadapanku. Tidak ada pohon-pohon tinggi yang menghalangi pandanganku; yang ada hanyalah rumput yang bergoyang lembut, seolah menari mengikuti irama angin.

Setelah beberapa saat terpukau oleh keindahan alam yang kulihat, pandanganku tiba-tiba teralihkan ketika aku menyadari keberadaan beberapa monster kecil yang berada di antara rumput-rumput tersebut. Mereka adalah Slime.

Sekilas, makhluk-makhluk ini terlihat seperti lendir berwarna cerah, tetapi sebenarnya, Slime adalah monster level rendah yang sering diburu oleh para petualang pemula untuk meningkatkan status level mereka.

Aku tahu dengan pasti bahwa Slime bukanlah monster yang berbahaya. Mereka adalah makhluk herbivora yang hanya memakan tumbuhan, tidak pernah menyerang manusia, apalagi memangsa mereka. Dengan kata lain, Slime adalah teman yang aman untuk diamati, bukan musuh yang perlu ditakuti.

Melihat mereka berinteraksi dengan lingkungan sekitar, melompat-lompat kecil di antara rerumputan, membuatku merasa tenang. Momen ini mengingatkanku akan keindahan sederhana yang sering kali terabaikan di tengah hiruk-pikuk dunia petualangan.

Dengan rasa ingin tahu yang membara, aku melangkah lebih dekat menuju sekumpulan Slime yang berwarna cerah itu. Mereka tampak tak berdaya, bergetar lembut dalam gerakan yang menggemaskan, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba.

Dalam hatiku, muncul keraguan. Aku menghunus pedangku, mengarahkannya ke arah mereka. Namun, saat melihat makhluk-makhluk kecil ini, aku teringat akan sifat mereka yang damai. Bukankah adalah tindakan yang tidak adil untuk menyerang yang tak berdaya?

Dengan hati yang bergetar, aku mengurungkan niat untuk menyerang. Pedang yang semula terangkat, kini kuturunkan kembali. Aku hanya ingin melihat dan memahami mereka, bukan menghabisi makhluk yang tidak berbahaya ini.

Setelah beberapa saat menikmati kehadiran mereka, aku memutuskan untuk pergi dari padang rumput yang damai ini.

Namun, saat aku hendak melangkah pergi, tiba-tiba muncul sosok seorang petualang laki-laki yang tampak terburu-buru. Di sampingnya, ada seorang gadis muda yang terlihat lelah, mengenakan pakaian sederhana yang menandakan ia adalah seorang budak.

Petualang itu terkejut melihat penampilanku yang misterius; jubah hitam yang membungkus tubuhku dan topeng yang menutupi wajahku membuatnya ragu sejenak. Namun, aku segera memperkenalkan diri.

"Aku manusia," kataku dengan suara yang tenang, berusaha menenangkan suasana. Setelah mendengarnya, tatapan petualang itu kembali cerah, dan ia melanjutkan langkahnya menuju padang rumput.

Dalam hatiku, aku mengamati petualang ini. Ia tampak seperti pemula, semangat membara untuk meningkatkan levelnya. Bersama budaknya, mereka segera melancarkan serangan ke arah Slime yang berada di rerumputan. Dalam sekejap, Slime yang ceria itu terjerat dalam pertarungan yang tidak seimbang.

Sekilas, melihat pemandangan itu membuatku merasakan campuran perasaan—ini adalah hal yang wajar bagi seorang petualang, namun ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku.

Aku berdiri di sana, menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan yang campur aduk. Sementara para petualang berjuang untuk meningkatkan status mereka, aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir tentang makna di balik tindakan ini. Apakah semua makhluk, sekecil apa pun, harus menjadi korban ambisi manusia? Namun, aku memilih untuk tidak ambil pusing dengan pertanyaan itu. Mungkin ini adalah bagian dari siklus kehidupan yang harus diterima.

Akhirnya, dengan langkah mantap, aku melanjutkan perjalanan. Meninggalkan padang rumput yang indah dan Slime yang tak bersalah, aku bertekad untuk menemukan petualangan baru. Seiring langkahku menjauh, suara pertarungan memudar, dan aku kembali terhanyut dalam pikiranku sendiri, merenungkan arti dari keberadaan dan tujuan di dunia ini.

Find A Way To Be HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang