DUA PULUH EMPAT

38 5 2
                                    

“ kebahagiaan datang  bersamaan dengan datangnya kehancuran”

°°°

Nathan memandangi dirinya di pantulan cermin. Tubuh yang penuh lebam, mata nya yang seperti mata panda, badan nya yang kurus serta pipi nya yang tirus. Sungguh sial nasib nya saat ini. Untung saja Geo tidak lagi memukul nya semenjak hari kepulangan nya dari Jogja.

Penyakit gue udah gak bisa di sembuhin. Males banget kalau harus kemoterapi lagi, sembuh juga gak. Harapan gue masih banyak, tugas gue belum selesai. Walaupun tugas gue belum selesai tapi gue udah gak ada, seenggaknya gue harus buat adek gue bahagia dulu sebelum gue pergi.

Nathan berdecak kesal saat melihat darah kembali mengalir dari hidung nya. Nathan tidak berniat untuk membersihkan nya, dia malah tertawa renyah.

" Lemah" satu kata yang ia tuju untuk dirinya sendiri.

Maya memasuki kamar Nathan, sebelum masuk ia mengetok pintu terlebih dahulu.

Nathan yang merasa ada seseorang masuk kedalam kamarnya, dengan cepat ia membersihkan darah yang sudah agak mengering di hidung nya.

Kemudian Nathan keluar dari toilet dan di kejutkan dengan kehadiran mama nya. Nathan sebisa mungkin menetralkan raut wajahnya, seperti biasa, Nathan selalu tersenyum.

Maya memandang intens anak nya itu. "Kok kamu kayak orang penyakitan, sayang?" Jujur saja Maya sangat khawatir dengan Nathan yang sangat memperihatinkan.

Nathan menggeleng lalu membawa mama nya duduk di tepi ranjangnya. Nathan harus membuat Maya menyayangi Aletta seperti menyayangi diri nya sendiri. Memang Maya tidak pernah berlaku kasar terhadap Aletta, namun Maya selalu tidak menganggap kehadiran Aletta. Maya selalu cuek terhadap Aletta.

Nathan menggenggam tangan Maya dengan erat. "Ma" lirihnya.

Maya mengerutkan keningnya. "Kenapa sayang?"

Nathan menatap serius Maya. "Ma, kenapa mama always cuek sama Aletta?" Akhirnya Nathan menanyakan hal ini walaupun dia sudah tau jawaban nya, tetapi ia ingin mendengar nya langsung dari mamanya.

Maya langsung mengubah ekspresi nya tidak suka. "Gara-gara dia, kamu selalu dimarahi sama papa kamu, coba aja anak itu tidak egois, Alana mungkin masih ada sampai saat ini. Dan kamu tidak akan di perlakukan kasar dengan papa kamu"

"Ma, kematian gak ada yang tau. Nathan gak menyalahkan Aletta atas perlakuan papa sama Nathan. Papa kayak gitu karena masih terpukul,ma. Coba mama bayangkan, jika waktu itu Alana adalah Aletta dan Aletta itu adalah Alana. Apa mama tetap akan menyalahkan Aletta?" ujar Nathan.

Maya terdiam. Ia tidak tau mau menjawab apa. Maya lebih memilih untuk diam.

Nathan menghela nafasnya. "Ma? Kenapa mama gak jawab pertanyaannya Nathan? Apa mama tetap akan menyalahkan Aletta yang notabenenya udah gak ada?"

Maya menggeleng keras. "Tidak"

Nathan tersenyum kecil. "Ma, asalkan mama tau, Aletta mungkin lebih memilih dirinya untuk berada di posisi Alana, daripada dia hidup tapi hampa. Aletta memang dapatin semua kasih sayang dari papa. Tapi mama? dia gak dapat kasih sayang dari mama, begitu juga dengan Nathan. Kita berdua sama-sama hampa,ma. kasih sayang dari belah pihak gak cukup buat kita, ma. Kita butuh kasih sayang dari kalian berdua." Semoga Maya ingin memaafkan Aletta dan menyayangi adiknya itu.

TIGERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang