Mobil yang mengangkut Marylou berhenti di sebuah rumah yang telah lama ditinggalinya. Pandangan mata Mary diarahkan menuju tiap sudut tiang penyangga rumah bergaya Mediteranian itu. Bersebelahan dengan rumah keluarga Bieber. Ada banyak hal yang dilewatkan oleh Mary semenjak dia pergi meninggalkan Kensington. Berbagai hal. Bahkan membuatnya seperti tahanan rumah yang tidak tahu apapun mengenai keindahan dunia.
Mary menginjakkan kakinya di atas aspal setelah pintu mobil dibuka oleh Jo. Pria itu telah menculiknya dari sang pengantin pria yang akan menikahinya, lalu membawanya menuju lapangan penerbangan khusus yang disewa Jo untuk menjemputnya, dan sekarang dia sudah sampai di depan pagar rumahnya. Bersama adiknya. Sudah lama Mary tak pernah menengok keadaan rumah itu. Bahkan dia tidak percaya bahwa rumahnya yang sebenarnya telah didaftarkan untuk dijual, kembali lagi ke tangannya.
"Sebenarnya aku sudah membeli rumah itu," kata Jo enteng membantu Caitlin mengeluarkan kopor-kopor mereka.
Mary mengernyit keheranan. Pria macam Jo memang sulit untuk ditebak. Wajahnya merengut melihat Jo yang mengangkut sendiri barang-barang bawaan Mary serta Caitlin tanpa bantuan siapapun. Jo memang ingin melakukan itu secara mandiri demi menebus waktu bersama Mary yang terbuang sia-sia. Ia ingin menghabiskan waktunya dengan wanita itu, melepas kerinduan yang sengaja disembunyikan di pojok hatinya.
"Kau memang aneh," Mary mendesah seraya bersedekap.
Sebagai responnya, Jo mencibir. Dia mengangkut kopor-kopor itu ke dalam rumah setelah membuka pintu gerbang yang dibantu oleh Caitlin. Tanpa memedulikan ekspresi Mary yang seperti dibakar hidup-hidup, Jo melenggang acuh bersama Caitlin masuk ke dalam rumah itu.
Mendesah putus asa, Mary melangkah malas mengekor di belakang. Sebelum dia masuk ke dalam helikopter yang mengangkutnya menuju Kensington, memang dia sudah mengganti gaun pengantinnya dengan pakaian lain. Tentu saja konyol jika dia mengenakan gaun pengantin kemana-mana dengan riasan wajah berantakan.
Rumah itu tetap sama. Tidak ada barang satu pun yang bergeser dari tempatnya. Jari-jari tangan Mary menyentuh piano yang sering dimainkan adiknya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman simpul bisa merasakan lagi lapisan cat pada body piano itu. Dia merindukan bunyi melodi yang dimainkan Caitlin tiap dia menggarap naskah filmnya. Mary benar-benar merindukan rumah itu.
Pandangan Mary ditumbukkan pada Jo yang menghembuskan napas lega seraya meletakkan kopor-kopor miliknya di depan sofa. Sedang di tempat lain, Caitlin menghilang di balik tembok menuju kamarnya sambil berseru lantang,
"My God I miss my room!"
Dengan gerakan rikuhnya, Mary menggosok tengkuknya menggunakan telapak tangan dan duduk di atas sofa berlengan panjang. Ada debaran aneh yang membuat lidahnya kelu sekedar mengucapkan,
"Terima kasih."
Hanya ucapan terima kasih, tapi wanita itu gugup tidak karuan. Jo menanggapi ucapan terima kasih Mary dengan kekehan pelan. Dia lantas duduk di sebelah Mary dengan kedua tangan yang direntangkan di atas sandaran sofa. Modus, menurut Mary.
"Aku merindukanmu, Mary," bisik Jo di sebelah telinga Mary.
Bola mata Mary yang dihiasi lensa berwarna abu-abu kebiruan membalas tatapan hangat Jo. Sudut-sudut bibirnya membentuk senyuman separo. Debaran itu masih berlanjut meskipun dia berusaha menarik napas dan menghembuskannya diam-diam selagi Jo tidak mengamati gerakan ringannya.
"Aku merindukan kucingku," Mary membalas spontan. "Sebaiknya kujemput lagi dia dari rumah Mrs. Frown."
Jo mendengus pelan. Dia tidak percaya bahwa sampai saat ini sikap Mary masih sama seperti dulu. Hey! Jangan salahkan Mary! Kau saja yang tidak pernah terbuka menyatakan perasaanmu padanya. Jadi, jangan heran jika Mary bersikap acuh tak acuh. Benak Jo berkata seperti itu berkali-kali dan dia tidak memungkiri pernyataan batinnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanficthis story is NOT mine