Joseph Bieber disibukkan dengan ponsel di tangannya, mengabari beberapa orang untuk menyiapkan sebuah pesawat pribadi, membawanya pulang ke Kensington dan memastikan Mary aman di sana dengan penjagaan sepupu-sepupunya. Ia membagi pandangan antara jendela kaca lebar di depannya dengan Marylou yang duduk di sofa berlengan panjang. Begitu selesai mengabari bagian penerbangan pribadi, Jo memasukkan ponselnya ke dalam saku celana linennya dan beranjak menuju sofa sambil menunggu pesawat pribadi mereka datang.
Mary mengamati gelagat Jo yang kelihatan panik. Dia tahu, penyerangan kemarin bukanlah sesuatu yang biasa. Mereka hampir meledak disebabkan oleh bom yang ditanam di tas Mary. Wanita itu menjelaskan apa yang terjadi sebelum dia menghampiri Jo di meja makan. Seorang pria menabraknya dengan sengaja, Jo berasumsi pria itulah yang menanamkan bom ke dalam tas Mary. Yang menjadi pertanyaan, mengapa dan siapa?
"Jangan khawatir." Jo menggenggam telapak tangan Mary lembut, lantas menarik wanita itu ke dalam pelukannya. "I will always protect you."
Mary mengerjapkan matanya beberapa kali. Dihelanya napas teratur dalam pelukan Jo. Tangannya perlahan-lahan dilingkarkan pada pinggang Jo. Dia dapat mendengar detak jantung Jo yang berderap cepat bagaikan pacuan kuda. Tak pernah sekali pun dia mengharapkan hal seperti ini terjadi. Namun, bukankah Jo pernah mengatakan padanya bahwa hidup bersama keluarga Bieber akan mendapatkan resiko besar? Sudah banyak wanita-wanita yang menjadi korban akibat kedekatan mereka dengan keluarga Bieber. Jo tidak ingin Mary menjadi yang selanjutnya. Dia akan menjaga wanita itu dengan baik. Bahkan jika perlu, menemaninya kemana pun dia pergi,menjaganya dua puluh empat jam.
"Aku takut," Mary berbisik lirih.
"Takut?" Mengulang pertanyaannya lagi, Jo menjauhkan tubuhnya dari Mary untuk berpandangan dengan sepasang mata abu-abu Mary di depannya. "Tidak usah takut, aku ada untukmu."
"Aku takut ini berlanjut menjadi sesuatu yang mengerikan," lanjut Mary. "Aku takut kau meninggalkanku. Aku takut kita terpisah."
"Tidak akan." Air muka Jo berubah mendengar nada sendu Mary yang diucapkan baru saja. Dia tidak pernah melihat Mary sesendu ini. Marylou yang dikenalnya sangat liar dan tak pernah takut pada apapun. "Aku akan terus bersamamu, Mary."
"Promise me."
"I do. Until I marry you."
Sudut-sudut bibir Marylou terangkat membentuk senyuman lega. Tidak ada apapun di dunia ini yang diinginkannya kecuali Jo. Hanya pria itu. Dia melanjutkan pelukannya pada Jo, membenamkan kepalanya pada dada pria itu dan mencium aroma maskulin yang amat disenanginya.
Jo mengusap rambut Mary. Pandangannya tampak menerawang teringat kembali kehilangan yang dialami keluarganya selama ini. Kematian kakeknya, kematian Ellen, kematian Cleopatra. Semua itu karena keluarganya.
Karena keluarganya.
***
Elsie's Point of View
Suara-suara selongsong peluru jatuh memantul di sepanjang dinding tempat berlatih. Selongsong yang dimuntahkan pistol di tanganku berjatuhan di atas lantai keramik, menimbulkan suara bising mengganggu.
Selama hampir satu jam lebih aku berlatih membidik dengan jarak tembak lebih jauh dari biasanya. Aku kembali menggesek hammer dan membidiknya dengan satu kelopak mata tertutup. Ini membuatku jenuh. Aku butuh latihan yang lebih serius, bukan hanya memuntahkan peluru berulang kali. Kuhempaskan pistol di tanganku ke atas meja, menghela napas panjang dan melepaskan earphone dari kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine