Elsie's Point of View
Aku tidak tahu—dan tidak ingat—apa yang terjadi padaku. Yang kurasakan saat ini hanyalah rasa sakit di beberapa bagian tubuhku. Kelopak mataku terbuka perlahan, langsung bertubrukan dengan cahaya lampu di atasku. Aku mengerjapkan mataku mengadaptasikan penglihatanku, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Baru kusadari aku berada di tempat yang sangat kubenci saat bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam indera penciumanku. Ini rumah sakit?
Aku menggelengkan kepala, melihat selang infus yang ditancapkan pada pergelangan tanganku. "What the fuck is this?" Dengan gusar, aku mencabutnya dari sana meninggalkan perih yang langsung tersamarkan. Kusibak selimut yang membentang di atas tubuhku, lantas menurunkan kedua kakiku diikuti suara seruan seseorang yang menghambur masuk ke dalam bangsal ini.
"Hey, apa yang kau lakukan!"
Oh, Kyler. Dia menerjang menghampiriku, menahanku di sana dengan sepasang alis bertaut menjadi satu.
"Tentu saja pergi dari tempat ini," balasku lebih sarkastis.
Kyler berdecak pelan, menggeleng-gelengkan kepalanya menyikapi watakku yang batu. Dia menahan bahuku di tempat. Bola mataku melirik tangannya yang masih berada di sekitar bahuku.
"Aku baru menyelamatkanmu dari sekelompok penjahat dan membawamu ke rumah sakit. Tapi dengan seenaknya kau memutuskan untuk pergi dari sini?" Dia mengertuk kepalaku pelan, membuatku mendengus dan refleks mengusap kepalaku. "Kau sudah tidak punya otak, Elsie."
"Like I really give a damn shit?" aku mendesah jengah. Kusentak kedua tangannya menyingkir dari bahuku, lantas menghujaninya dengan tatapan mengancam. "Minggir, aku mau pergi."
"Tidak, tunggu sampai keadaanmu pulih."
"Keadaanku sudah pulih, Kyler." Bola mataku mendelik lebih lebar. Aku menyatukan alisku, memberikan petisi keras melalui ekspresi yang tergambar di wajahku. Namun Kyler tetaplah Kyler yang enggan membiarkan aku berbuat bodoh dengan pergi dari sini mengabaikan kondisiku.
Aku baik-baik saja, dia yang terlalu berlebihan. Otak besarku membawa kembali ingatan detik-detik saat segerombolan orang mengejarku, lantas aku ditabrak mobil cukup kencang sampai membuatku terpental jatuh dan satu-satunya suara yang kudengar—juga sosok yang kulihat dari pandangan bunarku—adalah Kyler. Aku curiga dia memasang detektor di bagian tubuhku sehingga dengan mudah menemukanku di saat aku menghilang.
Belum sempat mulutku terbuka untuk membentaknya, pintu dijeblak kasar, menyentak kepalaku ke sana dan mendapati Justin yang muncul dengan wajah monotonnya. Dia melirik sekilas ke arah Kyler, lalu memberi kode padanya melalui gerakan samar kepalanya. Mendesah pelan, pada akhirnya Kyler melepas tangannya dari bahuku sebelum melenggang meninggalkan bangsal ini dan menutup pintu kembali, menyisakan aku dan Justin yang saling bertukar pandang.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Sampai kapan kau bertindak ceroboh, hm?" dia bertanya dengan nada meremehkannya. Kedua tangannya dilipat di depan dada meminta pertanggung jawabanku. Pertanggung jawaban seperti apa? Aku hanya ingin pergi menenangkan pikiranku setelah mengetahui bahwa Nathan terbunuh.
"Berhenti mendikteku," sergahku.
Dia menekan dahiku, seakan-akan sedang memeriksa apakah aku masih waras atau berubah menjadi gila. Lidahnya didecakkan beberapa kali, kemudian tangannya yang semula berada di dahiku beralih menyentuh daguku, menengadahkan kepalaku ke atas untuk berpandangan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Hayran Kurguthis story is NOT mine