Elsie's Point of View
Aku duduk di sini kurang lebih selama satu jam. Sendirian. Yang bisa kulakukan hanya diam. Otakku ikut diam seperti tubuhku, tidak mau berpikir apa-apa. Aku mengetukkan jari-jemariku pada utut. Gelisah. Keadaan di sekitarku benar-benar sepi, namun kau tidak menganggapnya suram seperti saat tiap mengunjungi tempat pemakaman keluargaku.
Dari arah utara lorong, aku melihat Justin berjalan dengan mata nyalang menghampiriku. Di belakang, disusul Cheryl. Keduanya tak menampakkan emosi jelas kecuali mata yang sama-sama memandang lekat kepadaku, sampai bisa kurasakan tulang-tulangku seakan disentuh oleh bongkahan es batu.
Begitu sampai di tempatku duduk, aku beranjak berdiri, lantas memeluknya erat. Dia mengusap punggungku, melirik Cheryl yang berhenti di samping pintu tempat Jeff ditangani di dalam sana. Tanganku bergetar samar, seolah seluruh syaraf motorikku sedang digoyang secara bersamaan. Bersandar pada dinding, Cheryl melipat tangannya di depan dada, menatap lurus ke depan; lebih tepatnya memandang Justin, masih dengan tatapan monoton.
"If he dies, I'm not just about to kill that fucking bitch," bisiknya tajam. "I'll kill you too, Bieber."
"For not trusting you? Sure, kill me." Justin melepas pelukannya padaku. Tangannya dilingkarkan di sekitar pundakku, membawaku lebih menempel dekat dengan tubuhnya sehingga aku tak perlu merasakan udara yang dingin lagi.
Buku-buku jariku mencengkeram jaketnya, membuat dia mengusap bahuku menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja di sini.
"Aku akan mengantarmu pulang," bisiknya di telingaku.
Aku menggeleng, keras kepala memaksa tetap di sini. Menengadah ke atas, mataku langsung bertemu dengan sepasang mata hazelnya. Dia mendudukkan aku di bangku tunggu, lantas melepas jaketnya, menanggalkan jaket itu untukku.
Tak berselang lama, Kyler muncul menghampiri kami dengan tatapan prihatin melihatku kuyu. Aku mengangkat tanganku ke atas sebelum dia membuka mulut memaksaku pergi dan istirahat. Jangankan dia, Justin saja sulit memaksaku pergi dari sini. Aku menoleh ke arahnya dengan mata yang amat sangat kuyu. Meskipun tubuh dan metabolisme memaksaku untuk menerima ajakan kedua pria itu mengantarku pulang—ke rumah Justin—, aku tetap bersikeras menolaknya dengan gelengan kepala.
"Keras kepala," Kyler menghembuskan napas frustrasi. "Kau bisa sakit kalau berada di sini."
"Dia benar," Justin ikut membujukku.
Baru saja aku membuka mulut berniat menyergah kasar, pintu bangsal dibuka, menampakkan dokter wanita muda dengan wajah ramahnya membagi pandangan satu per satu pada kami dan berhenti saat matanya menatap Justin.
"Dia masih hidup."
Seketika, aku menghembuskan napas lega. Thank God, dia tidak mati.
Masih di tempatnya tadi, Cheryl menarik tubuhnya dari dinding. Dia ingin menerjang masuk ke dalam, namun dokter dengan badgename Stella itu menahan bahunya.
"Untuk saat ini, tidak boleh ada yang masuk ke dalam," lanjutnya, membuat Cheryl mengernyitkan dahi kesal. Dia menepis tangan dokter Stella secara kasar, kemudian mengibas kerah jaketnya seakan-akan tangan dokter Stella mengandung kuman.
"Kau bisa tenang sekarang?" Justin berbisik di sampingku.
Kuanggukkan kepala lemas. Aku benar-benar membutuhkan istirahat. Mendengar kabar baik bahwa Jeff tidak mati sangat melegakan hatiku. Meskipun aku masih ingin di sini dan memastikan bahwa dia memang masih hidup, namun gelombang alfa otakku memerintahku untuk mengikuti kemana Justin membawaku. Kupandangi Kyler terakhir kali. Dia berdiri dalam diam, mengamatiku pergi dalam dekapan Justin. Sedang Cheryl beranjak dari tempatnya menuju tempat duduk. Dia tak begitu memedulikan eksistensi Kyler di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine