#18 Flatline

988 54 0
                                    

Nathan Cavren mengernyitkan dahinya melihat Marylou tengah berdiri seorang diri di balkon. Kepalanya digerakkan ke kanan-kiri, mengamati apakah ada Jo di sekitarnya. Namun keadaan di lorong maupun sudut-sudut lainnya tampak sepi.

Berdehem pelan, Nathan berhasil menarik perhatian Mary yang menoleh ke belakang, melihat pria itu berjalan menghampirinya. Nathan berdiri di sebelah Mary, mengamati raut wajah wanita itu.

"Kau kelihatan sedih," katanya tanpa basa-basi. "Memikirkan sesuatu?"

"Adikku," balas Marylou. Dia menghirup napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara malam yang basah, kemudian membuangnya pendek. "Kami belum bertemu semenjak dia pergi bersama kekasihnya."

"Sudah menghubungi?"

Mary mengangguk samar. "Tapi tetap saja. Aku belum puas jika kami tidak dipertemukan. Aku khawatir kalau seseorang menculiknya seperti waktu itu. Aku mengkhawatirkannya. Hanya dia—juga Jo—yang saat ini kumiliki."

Nathan menganggukkan kepalanya. "Aku bisa memahamimu." Tentu saja, sebagai seorang kakak, dia bisa merasakan bagaimana perasaan Mary saat ini. Mereka sama-sama mengkhawatirkan keselamatan adik-adik mereka. Dan seperti Mary, Nathan tak akan melepas pantauannya pada Elsie.

Sudut-sudut bibir Mary tertarik ke atas membentuk senyum simpul. Jari-jemarinya diketukkan pada birai balkon. "Kenapa kau masih berkeliaran tengah malam?"

Nathan mencebikkan bibirnya menanggapi pertanyaan bodoh seperti itu. "Kalau aku berkeliaran tengah malam, artinya aku tidak bisa tidur. Kau juga, kan?"

Marylou membuang napas pendek. Perhatiannya dialihkan menuju lurus ke depan. "Aku selalu menunggu Jo pulang dari pekerjaannya."

"You have so much love to him."

"Of course. Dia berhasil membuatku jatuh cinta padanya, bahkan menunggu terlalu lama hanya untuk mendengarnya mengucapkan kata-kata cinta." Mengingat kegigihannya sendiri—juga apa yang dilakukan Jo padanya, sampai dengan nekad menculiknya di hari pernikahannya—dia tertawa pelan. "Dia menyebalkan, tapi terkadang bisa sangat manis. Dan lucu."

Nathan tertawa pendek. "Seseorang seperti Joseph Bieber kau bilang lucu?" Telapak tangannya yang terkepal didekatkan pada bibirnya demi meredam suara tawanya. Mary mengernyit, tampak tidak suka.

"Kau dan dia sebelum ini saling bermusuhan, jadi kau tidak tahu bagaimana sifat Jo sebenarnya."

Mau tak mau Nathan sependapat dengan ucapan Mary. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk membenci keluarga Bieber, sampai kejadian penculikan adiknya mengubah persepsinya terhadap keluarga adikuasa yang menjadi rival keluarganya.

Mereka tidak lagi bicara. Nathan membiarkan wanita di sampingnya berdiri termenung di balkon selama menunggu Jo datang. Tanpa sepatah kata perpisahan, dia berbalik badan, meninggalkan Marylou sendirian di tempat itu.

***

Elsie's Point of View

"Lihat siapa yang baru datang!"

"Ah, kemarilah, Sayang! Ayo nikmati salju kali ini!"

"Kau perlu coklat panas?"

Samar-samar aku mendengar suara Mom dan Dad di pikiranku selama memejamkan mata. Suara mereka menggema, memantul di dinding kepalaku berkali-kali seperti suara mesin penggiling. Begitu membuka mata, aku melihat cahaya yang sedikit kabur, membuatku mengucek kedua mataku dan menyadari bahwa kali ini aku menjelma kembali menjadi gadis kecil, tengah berjalan menghampiri pohon natal yang menjulang tinggi dengan hiasan-hiasan yang sebelum ini kami buat bersama-sama. Aku menunduk, melihat gaun tidurku yang menyentuh batas lutut, lantas seseorang menggendongku ke atas sampai membuat kedua tanganku terkait di lehernya.

Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta ChenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang