#10 Can't Let Go

922 55 0
                                    

Elsie's Point of View

Kelopak mataku terbuka mendengar suara denting piano dari arah bawah. Aku mengangkat tubuhku, memasang pendengaran dengan baik memastikan. Siapa yang memainkan piano di tengah malam seperti ini? Tidak mungkin Grandma. Dia tidak suka bermain musik. Lantas, siapa? Kyler? Tidak, Kyler juga tidak suka bermain piano.

Lantaran penasaran, kuputuskan untuk turun ke bawah. Aku memakai sandal kamarku mengecek keadaan di bawah. Ekor mataku melirik pada jam di dinding yang jarum pendeknya menunjuk angka satu. Aku menghembuskan napas panjang, menggeleng-gelengkan kepala membayangkan yang tidak-tidak. Suara piano itu masih terdengar, bahkan saat aku mulai menyusuri koridor gelap rumahku dan turun ke bawah. Bibirku sedikit terbuka begitu sampai di tengah anak tangga. Jantungku mendadak berdebar kencang, seperti ditabuh oleh pasukan perang. Aku melihat Cleopatra tengah memainkan piano kesayangannya. Dia duduk di balik grand piano itu. Jari-jemari lentiknya bergerak perlahan menekan tuts-tuts. Lantas perhatiannya secara tiba-tiba beralih menuju ke arahku, bersamaan ketika tanganku refleks bergerak menyentuh permukaan bibirku.

"Cleo?" aku berbisik meyakinkan diriku. Aku menuruni anak tangga cepat-cepat menghampiri grand piano itu, meyakinkan diriku bahwa gadis yang duduk di sana adalah benar Cleopatra. Saudari kembarku.

Dia tersenyum manis madu untukku. Tatapan dan senyumnya tetap sama. Dan aku baru menyadari bahwa aku merindukan senyuman itu. Membalas senyum damainya, bibirku bergetar kecil ikut tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum diikuti mataku yang basah.

"I miss you," kataku setengah berbisik. Pita suaraku seperti tidak berfungsi ketika mengucapkan itu, sehingga hanya ada suara bisikan serak yang terdengar.

"Lihat, kau baru bisa menangis sekarang. Bukalah hatimu, Elsie." Dia berdiri dari tempat duduknya, berjalan mendekatiku dengan langkah ringan seperti berjalan di atas kapas. Tangannya digerakkan lamat-lamat menyentuh pundakku. Rasanya kebas. Aku seperti disentuh oleh udara hampa.

Aku mencoba menyentuh telapak tangannya. Tidak ada apa-apa di sana, seakan-akan dia sengaja menegaskan bahwa kami sudah tidak bisa lagi bersama. Aku tidak akan bisa bertemu dengannya, menyentuhnya, bercerita dengannya, mendengar petuahnya, mendengar ceritanya, melihat senyumnya, mendengar tawanya, mendengar permainan pianonya, aku baru sadar aku telah kehilangan dia sepenuhnya dan aku tak dapat merasakan apapun saat dia pergi.

"Aku tidak bisa," balasku keras kepala, menggeleng-gelengkan kepalaku. "If I'm weak, I can't win."

Dia maju lebih mendekat hingga tak menyisakan jarak di antara kami. Tangannya yang lain menyentuh tanganku. Jari-jari tangannya dikaitkan pada sela-sela jariku, lantas diangkat dan diamati baik-baik.

"Kau keras kepala." Dia mendesah pelan. "Sampai kapan kau mematikan seluruh panca inderamu? Bahkan, hatimu?"

"Sampai aku menang." Aku meremas tangannya, menegakkan kepalaku mengubah ekspresiku menjadi lebih tegas. "Sampai aku menang."

"Maka kau akan menerima banyak kehilangan."

Aku terhenyak kaget, mengangkat badanku secara tiba-tiba dengan deru napas dan baju yang sudah basah. Bahuku naik-turun seirama bunyi detak jantungku. Aku menoleh pada jam dinding; jarum pendeknya menunjukkan angka satu. Lalu aku mengedarkan tatapan ke setiap sudut kamar. Tidak ada yang berubah di tempat ini. Aku memastikan bahwa tadi itu hanyalah mimpi.

Kuusap rambutku ke belakang, mengatur pernapasanku beberapa kali sambil merasakan detak jantungku yang makin lama makin berdegup teratur. Kuputuskan untuk tidur saja daripada memikirkan mimpi itu. Akan ada banyak hal yang kupertaruhkan jika aku mengingat-ingat mimpi itu. Yang pertama, aku akan teringat bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang kucintai. Yang kedua, aku akan menjadi lemah. Yang ketiga, aku akan mudah dihancurkan.

Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta ChenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang