Berkali-kali ponsel Marylou bergetar dengan nama Joseph terpampang di display. Berkali-kali pula Mary mendesah kesal, bahkan kali ini ia membanting benda pipih malang tersebut masuk ke dalam keranjang pakaian kotor. Bunyi dering dan getarannya masih terdengar, membuat Mary mengerang putus asa, lantas meraih ponselnya dan memandangi layar datar tersebut dengan pandangan kosong. Bibirnya mengerucut, menimbang apakah dia harus mengangkat panggilan itu atau justru mematikannya.
Mematikannya? Atas dasar apa? Marah? Cemburu? Ayolah, Mary, kau bukanlah wynona yang akan menangis tersedu-sedu hanya karena seorang pria. Terlebih pria itu adalah Joseph Bieber, salah satu pewaris Bieber Company yang introvert dan beku bagaikan es di kutub utara. Dia tidak akan membuatmu patah hati, kan?
Yang menjadi persoalannya—juga menusuk-nusuk hatinya hingga berlubang dan meninggalkan rasa sakit tak terperihkan—adalah karena dia terlanjur menganggap Jo memiliki perasaan lebih padanya. Bahkan... pria itu menculiknya di hari pernikahannya! Alasan apalagi kalau bukan cinta?
"Hhh..." Mary mendesah, memejamkan kelopak matanya yang dipulas eyeshadow hitam, lalu mengangkat panggilan itu.
"God's sake, Mary. Aku mengkhawatirkanmu."
Haha, mengkhawatirkan, batin Mary tertawa getir mendengar dengusan frustrasi di seberang sana. Khawatir macam apa? Siapa Jo baginya? Hubungan mereka bahkan seperti kapal tak berpenghuni yang terdampar di lautan lepas. Terombang-ambing oleh ombak yang bergulungan ke sana-sini, membawanya ke tempat antah berantah tanpa tujuan. Bahkan tanpa jangkar.
"Hm," Mary menjawab enggan. "Lupakan soal di bar."
"Baguslah. Artinya kau akan melupakan kejadian waktu itu? Aku—"
"Lupakan kalau kita pernah bertemu." Menarik napas dalam-dalam, Mary memejamkan matanya sekali lagi seraya membenamkan barisan giginya pada bibir bawah.
"Apa maksudmu?"
"Are you stupid or are you stupid? Apakah ucapanku kurang jelas? Atau kau sekarang tuli? Jangan-jangan kau penderita afasia. Geez." Mary memutar bola matanya kesal. Kelihatannya dia tidak berkeinginan melanjutkan perbincangan itu, apalagi mengingat kedatangan Karen, mantan—entahlah, Mary kira mereka masih berhubungan—tunangan Jo yang memeluknya dari belakang sangat mesra.
Oke, dalam hal ini, Mary cukup egois. Tak dapat dipungkirinya bahwa dia amat sangat mencintai Jo, bahkan berharap pria eskimo sialan itu bersedia mengatakan 'aku mencintaimu, Mary' meski hanya satu kali seumur hidup. Yang Mary butuhkan hanyalah kepastian! Apakah Jo tidak bisa peka?!
"Begini, Nona yang memiliki banyak skandal..."
Mary mendengus mendengar panggilan Jo. Panggilan yang sering diberikan padanya saat mereka masih saling memalingkan muka benci.
"Coba lihat ke bawah balkonmu."
"Ngh." Lagi-lagi Mary mendesah kesal. Tidak dipedulikan perintah Jo, alih-alih dia duduk bersila di atas ranjangnya sambil mengamati buku-buku jarinya. Kuku yang baru dipoles kuteks berwarna merah itu tampak berkilau tertempa sinar matahari yang menerobos masuk melalui fentilasi udara.
"Aku serius, Mary. Lihatlah ke bawah."
Memutar bola matanya jengah, pada akhirnya Marylou beranjak malas dari atas ranjangnya. Tangannya membuka kasar kelambu kamarnya, lalu membuka pintu kaca sebelum berjalan enggan mendekati birai balkon. Bibirnya terbuka sedikit begitu dia melihat Jo berdiri di depan pagarnya, membawa balon warna-warni berbentuk hati dengan berbagai macam tulisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine