Itu bukanlah pertama kalinya Jo mengajak Marylou keluar. Meskipun, ya, bisa dibilang dia enggan mengaku bahwa tiap ajakannya pada Mary merupakan kencan yang sudah lama ingin dilakukannya dengan wanita itu. Dalih yang dikatakan pada Mary sebelum mengajaknya keluar hanyalah penyegaran pikiran akibat rasa suntuknya selama ini. Tapi kali ini berbeda dari hari-hari biasanya, Jo mulai memberanikan diri menggunakan kata 'kencan' pada Mary di hari dia datang ke rumah wanita muda itu.
"Kencan?" Mary mengulang satu kata yang terlontar mulus dari bibir Jo sembari menyembunyikan ekspresi gelinya. "Kau mengajakku kencan?" Dagunya diangkat sebagai interpretasi bahwa dia ingin tertawa sejadi-jadinya melihat gelagat rikuh Jo yang berulang kali mengelap tengkuknya yang dingin.
Jo enggan membalas pandangan Mary. Hell, Jo, dia Marylou, dia seorang wanita! Hadapi dia seperti kau menghadapi wanita-wanita di luar sana! Berbagai macam pikiran berselubung di dalam tengkorak kepala Jo, menyangkut pada salah satu sel otaknya mendapatkan tatapan mengintimidasi wanita di depannya. Belum pernah dia sekali pun bertingkah idiot di depan seorang wanita. Satu-satunya wanita yang berhasil melumpuhkan jaringan sel otaknya hanya Marylou Stewart. Wanita itu berhasil melakukannya dalam waktu sekejap bagaikan kedipan mata.
"Ya. Kita sudah lama tidak keluar, Mary." Pada akhirnya Jo memberanikan diri membalas tatapan skeptis Mary di depannya yang masih berdiri di balik pintu.
Sebelumnya Mary telah mengajak Jo untuk masuk ke dalam dan berbicara di ruang tamu daripada berdiri seperti orang tolol di depan rumahnya. Namun Jo menolak ajakannya, alih-alih lebih memilih berdiri bermenit-menit di depan pintunya hanya untuk mengajaknya kencan.
Sudut-sudut bibir Mary ditarik ke bawah membentuk cebikan masam diikuti anggukan kepalanya beberapa kali. Disandarkan tubuhnya pada kusen pintu dengan tangan dilipat di depan dada.
"Alright. Kapan kita pergi?"
"Kau yang menentukan jadwal, aku yang menentukan tempatnya."
Mary sejenak menimbang. Tak membutuhkan waktu yang lama baginya menganggukkan kepala menyetujui rencana itu. Detik selanjutnya dia melebarkan senyumnya sebagai tanda kesepakatan.
"Oke. Jemput aku besok sore," Mary membuka mulutnya mengambil keputusan singkat. Dua tangannya menepuk jins yang melekat pada pahanya satu kali saat dia beranjak dari sandarannya.
"Besok sore?" Sebelah alis Jo menukik naik kurang setuju. Padahal yang diharapkannya adalah jawaban Mary seperti 'jemput aku nanti malam' atau 'oke, sekarang kita pergi'. Sangat disayangkan jawaban Mary menghancurkan ekspektasi yang dibangunnya. Tapi sebaik-baiknya pula dia menutupi raut wajah kecewanya.
Oh... sepertinya Mary sengaja mengundur waktu kencannya lantaran dia ingin melihat reaksi Jo. Dia sengaja jual mahal tampaknya. Lihatlah keberadaan senyum simpul yang melengkung samar di bibirnya begitu dia melihat perubahan mimik wajah Jo. Sinar kemenangan seolah berpendar di kedua matanya.
"Aku ingin menghabiskan waktuku dengan kucing kesayanganku selama Caitlin berlibur dengan sepupumu dari garis Mallette itu."
Lagi-lagi Jo mendesah. Disunggingkan senyum lebar berlebihannya mendengar kalimat yang dikeluarkan Mary dengan nada monoton favoritnya.
"Aku tidak lebih berharga daripada kucingmu," bisiknya.
"Sudah kubilang, kan? Dia menemaniku sejak aku masih nol, Jo. Jangan terlalu mencemburui kucingku." Bola mata Mary diputar jengah. Ada golakan di dadanya yang nyaris membuatnya meledakkan tawa mendapatkan balasan lesu seperti itu, yang belum pernah dilihatnya dari seorang pria dingin introvet macam Joseph Bieber. "Lagipula kucingku betina."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine