Elsie's Point of View
Kalau tidak salah perhitungan, aku sudah berdiri di tempat pemakaman ini selama kurang lebih setengah jam setelah orang-orang yang menghadiri acara pemakaman satu per satu menghindar pergi. Termasuk ibuku yang harus disingkirkan dari tempat ini karena tak henti-hentinya menangis. Aku mengusap bahuku perlahan, menegakkan dagu memandang batu persegi panjang yang berdiri tegak tidak jauh dari pusara Dad. Dan tulisan yang terukir di sana, amat sangat tidak pernah menyenggol pikiranku. Dalam mimpi terburukku pun tidak.
REST IN PEACE CLEOPATRA CAVREN
Indera pendengaranku menangkap suara langkah kaki seseorang di belakangku, sontak membuat kepalaku menoleh ke belakang, melihat Jeff berjalan pelan melewatiku, lantas berhenti di depan batu persegi panjang itu untuk meletakkan sebuket bunga mawar merah. Dia berjongkok tanpa mengalihkan perhatiannya dari barisan huruf yang terukir pada lapisan batu. Sesuatu yang sebelumnya berada di dalam genggamannya diletakkan di samping buket mawar merah tadi. Dan barulah aku tahu benda apakah yang diletakkannya di sana. Sebuah kotak beludru merah yang kuyakini berisi cincin yang hendak diberikan padanya.
Aku mengerti bagaimana perasaannya sekarang.
"Don't be whinny," aku berkata datar. "Kesedihan hanya akan membuatmu lemah dan mudah dihancurkan oleh musuh."
Tidak ada balasan apapun kecuali bunyi desahan napas pendek. Dia menengadah membalas pandangan monotonku, tampak curiga melihat ekspresi yang kutampilkan saat ini. Ekspresi kosong. Seolah-olah tidak ada tinta yang dapat mengisinya.
"Elsie," dia membalas kalimatku, pada akhirnya, seraya beranjak berdiri berhadapan denganku. "Percayalah, aktingmu buruk sekali."
Sepasang alisku terangkat begitu mendengar nada mencemoohnya. Aku tertawa kecil selama beberapa saat, sebelum menghentikannya dan membalas, "Kalau begitu, ajarkan aku berakting yang baik, Mr. Bieber. Aku yakin kau adalah masternya. Seperti saat kau menutupi dengan baik kesedihanmu, ketika Ellen ditembak mati di depan matamu..." Tanganku bergerak memberikan interpretasi sebuah pistol yang ditembakkan. "Dan sekarang, saat Cleopatra mati sehari sebelum kau berniat menyematkan cincin itu di jarinya." Aku melipat tangan di depan dada, menyilangkan kakiku sebagai balasan sarkastisku. "Better I feel nothing. This makes me strong."
Enggan mendengar balasannya, aku berbalik badan meninggalkan Jeff berdiri mematung di tempat tanpa gerakan kecil. Bisa kurasakan tatapannya menusuk punggungku di belakang sana, namun aku tak terlalu memedulikan pandangan mengasihaninya. Justru, aku rasa dia yang perlu dikasihanku, bukan diriku. Dua kali hendak melamar orang yang dicintainya dan gagal. Gagal karena kematian tragis. Aku tidak yakin dia bisa menyikapinya sedemikian santai. Sebab aku mengenal Jeff lebih dari yang dia kira selama ini.
Dia tak akan tinggal diam.
Halaman rumahku ramai oleh bunyi desingan peluru yang dimuntahkan oleh dua pistol berbeda di tanganku. Olahraga ekstrim seperti ini adalah olahraga favoritku. Sudah lama aku tak menjamahnya, dan sekarang mungkin aku lebih sering menjamahnya untuk membalas kematian orang-orang di sekelilingku. Deretan nama teman-teman Carter sudah tersusun rapi di sebuah kertas yang kutempelkan pada dinding kamar. Mereka yang ikut hiking kemarin dan terlibat pembunuhan tak langsung adikku. Aku berjanji pada diriku sendiri akan memberikan balasan yang setimpal. Pembalasan yang sempurna.
"Elsie!"
Secara impulsif, tangan kananku mengayun ke samping, membuat moncong pistol yang kupegang menyudut di depan dahi Kyler, membuat bodyguard, sopir, sekaligus sahabatku itu berhenti dan mengangkat tangan. Aku memutar bola mata, masih mempertahankan moncong pistolku di depan dahinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine