Elsie's Point of View
Ada beberapa panggilan yang tak terjawab di ponselku, juga beberapa pesan masuk yang terabaikan saat aku bangun tidur. Mataku sedikit menyipit, mendapati nomor asing berentetan masuk ke dalam inboxku memanggil namaku, atau mengirim kata-kata acak yang tak kumengerti.
Dan hanya teman-teman bodohku yang selalu mengirim pesan seperti itu untukku. Lantaran penasaran, aku mengangkat badanku, menyibak rambutku ke samping dan memutuskan memanggil salah satu nomor asing itu. Sampai dering ke tiga, aku belum mendapatkan jawaban apapun. Aku mendengus kesal. Bola mataku terputar jengah tidak mendapatkan balasan. Sampai ketika aku hampir menekan tombol end, seseorang mengangkat panggilanku dan satu-satunya suara yang kudengar adalah teriakan melengking.
"Elsieeee!!!!!"
Spontan, aku menjauhkan ponselku dari telinga. Ada gelitikan aneh di perutku mengenal teriakan melengking siapa itu. Isabelle. Aku tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepalaku dan menyilangkan kaki.
"Isabelle Colleman, right?"
"Bingo. Kau masih mengingatku rupanya!"
"Tentu saja. Kau temanku yang sangat menggilai belanja." Aku tertawa lagi. Sungguh, mendengar suara Isabelle di seberang sana membuat perasaanku diaduk-aduk. Sahabatku ketika SMA, yang sudah tak pernah kudengar lagi kabarnya karena kami lama tidak melakukan kontak. Aku merindukan teman-temanku.
"Aku merindukanmu, Els. Amat sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu? Sudah lama aku tak mendengarnya. Ponselku hilang, jadi aku tidak bisa mengabarimu. Ini saja butuh perjuangan besar mendapatkan nomormu."
Aku terdiam sebentar. Kuhela napas panjang secara teratur, lantas menghembuskannya perlahan. "Tidak apa. Mendengar suaramu saja sudah membuatku senang." Aku tersenyum kecil, lantas melirik jam dinding yang jarum pendeknya menunjuk angka delapan. "Aku... baik-baik saja. Kau?"
Baik-baik saja. Haha. Tapi, aku memang merasa bahwa aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan perasaanku. Aku bahkan tidak bisa merasakan apapun kecuali dinginnya AC di kamarku.
"Aku baik-baik saja. Kau tahu? Sebentar lagi aku akan menikah!"
Kurasakan cairan lambungku naik sampai kerongkongan membuat mataku mendelik mendengar ucapannya. Dia? Mau menikah?? "Ya ampun! Lihat berapa umurmu, Isabelle!"
"Kenapa, Els? Aku sudah dua puluh tahun, jadi sudah dewasa." Dia terkikik pelan.
Ada gelenyar aneh di darahku mendengar penuturannya. Teman-temanku memang sudah dewasa. Sudah saatnya mereka menjalani kehidupan mereka yang sesungguhnya. Dan tak dapat kupungkiri, aku juga menginginkan kehidupan seperti itu.
Kehidupan yang normal. Di mana ada acara pertunangan, dinner bersama keluarga besar, upacara pernikahan, dan lain sebagainya. Aku bisa membayangkan kehidupan seperti itu, tapi dengan obyek berbeda; Isabelle. Dia pasti sangat bahagia mendapatkan impiannya.
"Congrats," kataku setengah berbisik. "Aku janji akan datang."
"Desember, Elsie. Aku akan memberitahumu tempat dan waktunya. Aku sudah tidak sabar, sungguh!"
Ya, ya, ya, dan kau baru meneleponku di saat yang tidak tepat. Meneleponku di hari-hari terburukku dan mengabarkan kau akan menikah? What the hell. Tapi setidaknya, aku senang jika kawan-kawanku menjajaki masa-masa dewasa seperti itu tanpa terganggu olehku. Maksudku, lihatlah semua orang yang berhubungan denganku. Mereka menderita, dikejar bahaya, dan bahkan... mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine