Masterpiece.
Tidak habis pikir, mengapa dia mengatakan hal seperti itu setelah apa yang dilakukan Justin padanya? Pertemuan pertama setelah beberapa waktu tidak mendengar kabar darinya. Dan sekarang, setelah dipertemukan sesuai dengan keinginannya, mengapa dia justru terlihat antipati? Bukan Elsie Cavren namanya jika dia tidak pandai menutupi perasaannya.
Seraya mendengarkan musik retro dari tape di dalam kamarnya, Elsie melepas perhiasan yang dikenakannya ke dalam kotak beludru besar. Begitu perhiasan-perhiasan itu tertata rapi di dalam kotak, pandangannya tertumbuk pada cermin di depannya. Apa yang dirasakannya saat ini setelah dipertemukan Justin, bersama kekasih barunya? Senang? Sedih? Terluka?
Tidak. Dia merasa hampa. Tangannya bergerak menyentuh dadanya. Tidak ada tanda-tanda debaran kencang maupun bunyi derak patah di sana. Tidak ada apapun. Hampa. Kosong. Mati rasa.
Itu lebih baik, baginya. Meskipun secara garis besar, perasaan macam itu tidaklah harfiah. Setidaknya, dia tahu apa yang harus dilakukan olehnya menghadapi berbagai pelik yang berhamburan di sekitarnya bagaikan kelereng jatuh. Dia pandai melakukan itu, dia pandai memanipulasi seperti ibunya. Oh, bukankah itu bagus? Bakat ibunya menurun padanya.
Memanipulasi.
Elsie melepas jepit rambutnya. Jari-jemarinya disematkan pada helaian rambutnya yang terurai jatuh di belakang punggung. Sekali lagi, tatapannya terpekur pada bayangannya sendiri. Kedua tangannya menempel pada tepian meja. Meskipun indera pendengarannya bekerja menerima bunyi musik retro, Skyfall, di dalam tape terdekat, pikirannya mengembara ke antah berantah. Ingatan implisitnya menarik satu rekaan di dalam otaknya. Rekaan ketika dia bertemu dengan Justin. Dimulai dari sebuah minuman yang entah sengaja atau tidak, tumpah mengenai gaunnya. Disusul keberadaan gadis yang diakui sebagai kekasih barunya. Apakah dia gila? Apakah hobinya mengelabuhi wanita-wanita seperti layaknya pria Casanova masih ada?
Rekaan itu berputar lagi, menjadi gambaran ketika kedua mata bening yang sempat dirindukannya tak berhenti menatapnya. Ada banyak emosi di dalam kedua mata datar itu, dan hanya Elsie yang dapat mendeteksinya. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman kecil, membawa ingatannya di lantai dansa. Bagaimana mungkin setelah lama tak dipertemukan tanpa kabar, mereka bertatap muka seperti pasangan yang tak pernah saling mengenal? Persetan soal perasaan. Untuk sekarang, dia tidak boleh menggunakan perasaan. Apapun akan dilakukannya demi mendapatkan apa yang diinginkannya.
Bola mata Elsie terputar ke atas. Dia mendesah pelan, lantas mengambil kapas dan membasahinya dengan pembersih. Sebelum tangannya menyentuh wajahnya, suara ketukan pelan terdengar dari luar.
"Enter."
Seorang pelayan membuka kenop pintu kamar Elsie dengan sebelah tangan membawa sebuket bunga mawar merah. Menelengkan kepalanya ke satu sisi, Elsie menelisik mawar yang berada di tangan pelayan wanita rumahnya. Tangannya disandarkan pada tepian meja, sedang tangan yang lain bertolak pinggang. Dia menegakkan dagunya, memberi kode pada pelayan rumahnya untuk mendekat melalui jari-jemarinya. Dengan patuh, pelayan paruh baya tersebut menundukkan kepala, berjalan perlahan takut-takut berhadapan dengan majikannya. Dia menyerahkan buket mawar itu pada Elsie, dan diterima gadis itu dengan baik. Sebelah tangan Elsie mengibas di udara memberi perintah. Pelayan tersebut menunduk lagi, lantas berbalik dan berlalu pergi keluar dari kamar Elsie.
Begitu pintu ditutup, Elsie memberikan perhatian lebih pada buket mawar di tangannya yang besar. Dia menghitung jumlah mawar itu, dan berniat akan membuangnya jika jumlah tangkainya tidak sama seperti yang diinginkannya. Ekspresinya mendadak berubah ketika jari tangannya berhenti pada tangkai terakhir. Ekor matanya digerakkan lamat-lamat, melirik lurus ke depan memikirkan pengirim anonim buket mawar itu. Hanya Justin yang hapal jumlah mawar yang sering dikirimkannya untuk gadis itu. Tiga belas tangkai mawar merah. Semuanya lengkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Redemption (Sequel of Perfect Revenge) by Loveyta Chen
Fanfictionthis story is NOT mine